Allah Ta’ala menghendaki dakwah ini dilakukan dengan upaya manusiawi. Oleh karena itu seorang da’i hendaknya mampu memanfaatkan segala sarana dan menempuh proses dalam upaya dakwahnya. Perhatikanlah keteladanan yang diperlihatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; beliau melakukan upaya dakwah dengan menggunakan segala sarana yang ada di masanya. Beliau tidak berpikir, “Toh wahyu turun kepadaku. Tentu akan selalu ada jalan.”
Penerapan kaidah dakwah ini bisa kita lihat dalam rentetan peristiwa sirah nabawiyah. Contohnya, dalam Perang Uhud ketika sebagian sahabat yang menjadi pasukan pemanah melanggar komando Rasul; maka meskipun Rasulullah berada di sekitar mereka dan wahyu turun kepadanya, kegagalan tetap menimpa karena mereka tidak mengambil langkah yang seharusnya.
Ayat Al-Qur’an yang menerangkan kaidah ini adalah firman Allah Ta’ala,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah, 2: 286)
Taklif (pembebanan) dalam ayat di atas adalah perintah tertentu untuk melakukan sesuatu yang berat. Hal ini berhubungan dengan kesanggupan,yakni memiliki kaitan erat dengan kemampuan dan kesungguhan.
Ketika menafsirkan ayat ini Al-Qurtubi mengatakan bahwa ibadah apa pun yang dibebankan kepada seorang hamba, baik berupa ibadah hati maupun anggota tubuh, ia pasti memiliki kesanggupan untuk melakukannya, dan ibadah itu tentu dapat ia pahami serta sesuai dengan fitrahnya.
Pemahaman yang Keliru
Saat ini banyak orang yang keliru dalam memahami surat Al-Baqarah ayat 286 di atas. Sebagian orang memahami bahwa yang dimaksud dengan kesanggupan ayat ini adalah batas minimal dari apa yang dapat dilakukan oleh seseorang. Akhirnya ada seseorang yang hanya melakukan jerih payah sedikit saja, namun sudah berharap hasil yang besar, padahal dia belum melakukan upaya yang optimal sesuai kesanggupannya.
Para Sahabat Selalu Menggunakan Standar Kesanggupan
Apabila membaca perjalanan sejarah para sahabat, maka kita akan melihat bahwa kebanyakan para sahabat wafat di luar negeri mereka. Abu Ayyub Al-Anshari dimakamkan di Benteng Konstantinopel. Ummu Haram binti Mulhan dimakamkan di Cyprus. Uqbah bin Amir dimakamkan di Mesir. Bilal dimakamkan di Damaskus.
Para sahabat tersebut keluar ke segala penjuru dunia untuk mengibarkan bendera Islam meskipun harus mengorbankan harta berharga miliknya. Semua itu dilakukan karena dilandasi dengan keimanan terhadap firman Allah Ta’ala, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah, 2: 286)
Pasca Perang Uhud, para sahabat diberi komando untuk mengejar kaum musyrikin. Untuk aksi ini, yang boleh ikut serta hanya mereka yang kemarin mengikuti Perang Uhud. Mereka baru saja melepas penat, darah masih basah dan perih masih melekat di tubuh mereka. Usaid bin Hudhair yang saat itu bermaksud mengobati tujuh lukanya berkata, “Sam’an wa tha’atan untuk Allah dan Rasul-Nya.” Dengan segera ia mengambil senjatanya tanpa memperdulikan luka-lukanya. Saat itu dari Bani Salamah keluar empat puluh orang yang sedang mengalami cedera berat; ada Thufail bin Nu’man dengan tiga belas lukanya; Bakhrasy bin Ash-Shamah dengan sepuluh lukanya.
Ka’b bin Malik mengalami belasan luka, begitu juga Quthbah bin Amir ada sembilan luka. Mereka berkumpul bershaf menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Bi’r Abi ‘Anabah di Puncak Tsaniyah lengkap dengan pedang mereka. Ketika melihat kondisi mereka dengan darah yang masih basah dan luka yang masih merah, Nabi bersabda, “Ya Allah, sayangilah Bani Salamah.” Peristiwa tersebut terjadi sebelum Perang Hamra’ Al-Asad.
Semua itu menunjukkan bahwa kemauan yang kuat dapat mengalahkan rasa sakit dan rintangan. Demikian pula sebaliknya, kemauan yang lemah meskipun dibekali segala fasilitas materi, tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Batasan dan Standar Kesanggupan
Mungkin ada yang bertanya, “Apakah batasan dan standar kesanggupan dan kemampuan itu?” Jawaban dari pertanyaan tersebut diantaranya terkandung dalam ayat Al-Qur’an berikut ini:
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah, 9: 41)
Para sahabat dan tabi’in memahami ayat ini secara umum. Mujahid mengatakan, “Abu Ayub mengikuti Perang Badar bersama Rasulullah dan dia tidak pernah tertinggal dalam pertempuran-pertempuran kaum muslimin. Ia mengatakan, ‘Allah berfirman, ‘Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat.’ Maka aku selalu turut berperang baik dalam keadaan ringan maupun berat.”
Diriwayatkan dari Shafwan bin Amr, dia mengatakan, “Aku menjadi wali wilayah Homs. Aku bertemu dengan seorang yang sudah tua dari penduduk Damaskus yang alis matanya sudah terjatuh. Lelaki tua tersebut berada di atas kendaraannya bermaksud untuk berperang. Maka aku katakan, ‘Wahai paman, kamu mendapat izin untuk tidak ikut perang.’ Maka dia mengangkat kedua alisnya dan berkata, ‘Wahai ibnu akhi, aku akan turut berjuang baik dalam keadaan ringan maupun dalam keadaan berat. Ketahuilah, sesungguhnya orang yang paling dicintai oleh Allah maka akan diuji oleh-Nya.’”
Diriwayatkan dari Az-Zuhri bahwa Said bin Al-Musayyab pergi untuk turut berperang saat salah satu matanya telah hilang. Lalu dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya kamu sakit, kamu sudah cacat.” Maka Said bin Musayyab mengatakan, “Demi Allah, aku akan berjuang baik dalam keadaan ringan maupun berat. Apabila aku memang tidak mampu lagi membantu dalam jihad, paling tidak aku dapat menambah jumlah pasukan dan atau menjaga harta serta perbekalan.”
Dikatakan kepada Miqdad bin Al-Aswad ketika hendak turut berperang, “Kamu mendapatkan uzur.” Namun Miqdad mengatakan, “Allah menurunkan ayat kepada kami dalam surah Bara’ah, ‘Berangkatlah kamu dalam baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat.’”
Wallahu A’lam