Memilah Skala Prioritas dalam Berdakwah
Ketika kita memasuki fase percepatan dalam dakwah ini, maka kesungguhan dalam berdakwah dengan kecerdasan yang tepat menjadi pilihan utama. Lalu dari manakah kita harus memulai dakwah? Berikut point-point skala prioritas dalam berdakwah:
Pertama, mulailah dari yang terdekat sebelum yang jauh
Dakwah tentunya tidak terbatas dengan jarak antara yang dekat dengan yang jauh. Namun tetap ada skala prioritas di sana. Mereka yang dekat dengan kita, seperti kerabat, tetangga, partner kerja merupakan orang-orang yang membutuhkan sentuhan dakwah lebih dahulu, tentunya tanpa menafikan orang-orang yang hidupnya berjauhan jarak dengan kita.
Mereka yang dekat dengan kita diutamakan, karena mereka tentunya orang yang sudah kita kenal dengan baik, sehingga kita tak perlu disibukkan lagi melakukan pendekatan dan menulusuri latar belakang dari masing-masing mereka. Mereka pun juga mengenal dengan baik kepribadian kita.
Berdakwah dengan yang terdekat lebih dahulu ini difirmankan oleh Allah Ta’ala dalam QS. Asy-Syuara’: 214, ketika awal kali Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk pertamakali diperintahkan berdakwah,
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ
“Dan peringatkanlah keluargamu dan kerabat-kerabatmu”.
Imam Ar-Razzy kemudian menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, “Kemudian Rasululullah diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk mendakwahi kerabat terdekat, karena itu merupakan tahapan pertama dalam dakwah; ‘mendakwahi’ diri sendiri terlebih dahulu baru kemudian kerabat terdekat.
Kedua, mulailah dari yang muda sebelum yang tua
Usia muda merupakan masa dimana kepribadian seseorang dan pemikirannya belum banyak terkontaminasi. Berinteraksi dengan mereka tentu lebih mudah dari pada berinteraksi dengan mereka yang tua. Mereka yang tua tentu sudah memiliki cara pandang hidup yang mapan, bisa jadi kesibukan mereka dengan urusan keduniawian, sibuk mengejar materi.
Sedangkan mereka yang berusia muda, tentu lebih mudah dalam menerima dakwah dan mudah dalam membentuk karakternya, sehingga tidak terlalu membutuhkan banyak waktu untuk membina dan meluruskan pola fikir mereka.
Kisah Nabi Musa ‘alaihis salam dalam QS. Yunus: 83 menjelaskan,
فَمَا آمَنَ لِمُوسَىٰ إِلَّا ذُرِّيَّةٌ مِنْ قَوْمِهِ عَلَىٰ خَوْفٍ مِنْ فِرْعَوْنَ وَمَلَئِهِمْ أَنْ يَفْتِنَهُمْ ۚ وَإِنَّ فِرْعَوْنَ لَعَالٍ فِي الْأَرْضِ وَإِنَّهُ لَمِنَ الْمُسْرِفِينَ
”Maka tidak ada yang beriman kepada Musa, melainkan pemuda-pemuda dari kaumnya (Musa) dalam keadaan takut bahwa Firaun dan pemuka-pemuka kaumnya akan menyiksa mereka. Sesungguhnya Firaun itu berbuat sewenang-wenang di muka bumi. Dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang melampaui batas.”
Ayat ini menerangkan bagaimana mereka yang muda menjadi pengikut setia Nabi Musa ‘alaihis salam. Namun tentunya ayat ini bukan mengartikan tertutupnya peluang mendakwahi mereka yang tua, namun lebih kepada potensi yang dimiliki oleh mereka yang masih berusia muda, baik secara pemikiran yang masih bersih dan potensinya yang mampu mempercepat perkembangan dakwah. Dan yang perlu diingat adalah, bahwa mereka yang masih berusia muda saat ini, kelak akan menjadi pemegang generasi selanjutnya, dan baiknya perkembangan mereka di masa muda akan menentukan masa depan dari umat ini.
Ketiga, mulailah dengan mereka yang rendah hati
Hal ini dikarenakan mereka yang rendah hati, lebih siap dalam menerima kebenaran, sedang mereka yang tinggi hati atau sombong, memiliki karakter menolak kebenaran dan memandang remeh orang lain.
Kalau kita menelaah sirah nabawiyah, maka akan kita dapati bahwa para pengikut Rasul banyak yang terdiri dari kelompok orang kaya yang pandai bersyukur dan rendah hati, dan orang fakir yang penyabar dan tidak sombong. Mendakwahi mereka yang rendah hati tentu akan memberikan kegemilangan bagi dakwah ini, tentunya tanpa menafikan juga mendakwahi mereka yang sombong.
Keempat, mulailah dengan para cendekiawan
Mereka yang terpelajar, atau kaum cendekiawan memiliki pengaruh lebih besar di tengah masyarakat, disamping itu mereka juga memiliki kemampuan cepat untuk memilih mana ideologi yang cerdas dan tepat bagi mereka. Siapapun yang memilih kepemahaman Islamnya dengan penuh kesadaran, tentu ia akan memiliki keistiqomahan dengan pilihannya itu.
Kelima, mulailah dengan mereka yang belum memiliki loyalitas kepada kelompok tertentu
Karena mereka yang belum memiliki loyalitas kepada ideologi tertentu memiliki peluang untuk diajak dalam gerakan dakwah. Sedangkan mereka yang sudah memiliki loyalitas terhadap ideologi tertentu tentunya lebih berat untuk didakwahi. Dan itu akan menguras tenaga yang lebih besar. Namun apabila hal itu sukses dilakukan, ia mungkin bisa memberi kontribusi dengan pengalaman sebelumnya kepada dakwah, namun kemungkinan seperti ini masih sangat kecil terjadi.
Keenam, mulailah dengan mendakwahi teman satu kantor atau satu profesi
Interaksi kita yang baik dengan partner satu profesi menjadi keunggulan tersendiri dalam melakukan dakwah, karena kita akan lebih nyaman mendekati mereka dan mereka pun lebih siap mendengarkan kita. Seorang dokter tentunya lebih tersentuh ketika ia mendakwahi rekannya yang berprofesi dokter pula, ketimbang ia mendakwahi seorang insinyur misalnya. Begitupula dengan seorang pengacara, tentunya ia bisa lebih mudah mendakwahi seorang pengacara ketimbang seorang dosen atau profesi lainnya.
Ketujuh, hendaknya memilih mad’u yang tepat sesuai dengan kebutuhan dakwah
Dalam berdakwah ada masa di mana dakwah ditargetkan untuk cepat melakukan perluasan sayap dakwah, ada pula kalanya fokus dalam suatu bidang, seperti konsenterasi dakwah dalam politik, pendidikan atau ekonomi. Dan adapula kalanya berjangka.
Pada masa dakwah fase Makkah berlangsung, agama Islam kala itu banyak dianut oleh masyarakat bawah; fakir, miskin dan orang lemah, pada waktu yang sama sudah turun titah dari Allah Ta’ala untuk mendeklarasikan dakwah secara terang-terangan, maka dalam kondisi seperti ini, umat Islam kala itu sangat membutuhkan sosok yang kuat dan berpengaruh, maka Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berdo’a,
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامَ بِأَحَبِّ هَذَيْنِ الرَّجُلَيْنِ إِلَيْكَ بِأَبِي جَهْلٍ أَوْ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ
“Ya Allah, muliakanlah Islam dengan dua orang yang paling Engkau cintai; dengan Umar bin Al-Khathab atau dengan Abu Jahal bin Hisyam.” (HR At-Tirmidzi).
Doa tersebut diijabah oleh Allah Ta’ala dengan membukakan pintu hidayah bagi Umar bin Khattab. Maka hadirlah Umar sebagai penguat bangunan dakwah di era Makkah, dan sosok seperti Umar-lah yang memang dibutuhkan dakwah kala itu. Begitupula kita saat ini, dimana titik lemah bangunan dakwah kita sekarang, dan orang seperti apa yang kita butuhkan untuk menutupi kelemahan itu? Maka orang itulah yang menjadi skala prioritas kita untuk segera didakwahi. Wallahu a’lam
1 comment
KAIDAH 7?