Oleh: Syaikh Yusuf Al-Qaradawi rahimahullah
Jaminan Masyarakat Muslim
Masyarakat Islami bertanggung jawab secara kolektif atas pelaksanaan syariat dan penerapan hukum-hukumnya dalam setiap urusan, termasuk yang berkaitan dengan orang-orang non-Muslim. Maka bila sebagian orang melalaikan atau menyimpang, menyeleweng atau melampaui batasnya, harus ada orang lain di antara anggota masyarakat yang mengembalikannya kepada jalan kebenaran, memerintahkannya kepada kebaikan dan mencegahnya dari kejahatan, serta berdiri di samping orang yang teraniaya dan dilanggar haknya walaupun ia adalah seorang yang berlainan agama dengannya.
Semua ini adakalanya terjadi tanpa si dzimmi (non-Muslim) merasa perlu mengadu kepada siapa pun. Tapi adakalanya ia mengadukan kezaliman yang menimpanya dan ia pun akan mendapati orang yang mendengarkan keluhannya lalu mengambilkan haknya dari orang yang menzaliminya; betapapun tinggi jabatan dan kedudukannya di antara manusia. la dapat mengajukan pengaduannya kepada wali negeri atau hakim setempat dan ia akan memperoleh keadilan dan perlindungan. Jika tidak, ia dapat mengadu kepada yang lebih tinggi kedudukannya, kepada Khalifah dan Amirul Mukminin, sehingga ia beroleh jaminan dan keadilan. Kalaupun urusannya itu antara dia dan khalifah sendiri, ia akan memperoleh jaminan dari peradilan yang adil dan mandiri, yang berhak mengadili tertuduh yang mana pun, termasuk pemimpin tertinggi negara, yaitu khalifah! Ada Iagi jaminan lainnya, yaitu dari para fuqaha yang merupakan penjaga kemurnian syariat dan pembimbing pendapat umum.
Masih ada Iagi jaminan lebih luas dan lebih meliputi, yaitu dalam “hati nurani Islami” secara umum yang dibentuk oleh akidah Islamiyah, pendidikan Islami dan tradisi-tradisi Islami.
Sejarah Islam penuh dengan peristiwa-peristiwa yang menunjukkan komitmen masyarakat Islam terhadap perlindungan Ahludz-Dzimmah dari segala bentuk kezaliman yang melanggar hak-hak mereka yang telah ditetapkan, atau kebebasan-kebebasan mereka yang telah dijamin. Jika kezaliman datangnya dari seorang pribadi Muslim terhadap seorang Dzimmi, maka penguasa setempat akan memberinya keadilan dan menghilangkan kezaliman dari dirinya segera setelah diajukan keluhan, ataupun setelah sampai ke pengetahuan si penguasa dengan cara apa pun.
Kisah Seorang Pendeta Nasrani
Seorang pendeta Nasrani pernah mengadukan seorang komandan tentara kepada Ahmad bin Thulun, wali negeri waktu itu. Menurut si pendeta, komandan itu telah bertindak zalim terhadapnya dan mengambil sejumlah uangnya tanpa alasan yang dibenarkan.
Segera Ahmad bin Thulun memanggil komandan itu, memarahinya lalu menghukumnya serta mengambil kembali uang tersebut dan menyerahkannya kepada si pendeta sambil berkata: “Sekiranya Anda menuduhnya dalam sejumlah uang yang jauh lebih besar, niscaya kami pun akan mewajibkan ia mengembalikannya.” la selalu membuka pintunya bagi setiap keluhan yang diajukan oleh Ahludz-Dzimmah walaupun orang yang menjadi sasar• an keluhan itu adalah jenderal ataupun pejabat tinggi negara.
Bila kezaliman itu berasal dari wali negeri atau dari keluarga dan para pengikutnya sendiri, maka imam dan khalifah kaum Musliminlah yang melaksanakan penghukumannya serta pengembalian segala hak kepada pemiliknya.
Kisah Seorang Kristen Koptik di Masa Umar bin Khattab
Di antara peristiwa-peristiwa yang terkenal ialah kisah seorang Qibthi (seorang Kristen Koptik) dan Amr bin Ash, Wali Negeri Mesir. Seorang putra Amr mencambuk seorang putra Qibthi sambil berkata: “Aku adalah putra orang-orang termulia!” Segera Qibthi tersebut pergi ke Madinah dan mengadukan halnya kepada Khalifah Umar bin Khattab. Maka dipanggillah Amr bin Ash dan putranya, dan setelah mereka menghadap, khalifah menyerahkan sebuah cambuk kepada putra Qibthi seraya berkata: “Cambuklah si putra orang-orang termulia!” Setelah orang itu mencambuknya, Umar menoleh kepadanya dan berkata, “Pukullah pula kepala botak Amr, sebab dengan kekuasaannyalah Anda telah dipukul.” Qibthi tersebut berkata: “Saya hanya memukul siapa yang telah memukulku.” Kemudian Umar menoleh kepada Amr seraya mengucapkan kalimatnya yang terkenal: “Hai Amr, sejak kapankah kalian memperbudak manusia, sedangkan mereka itu telah dilahirkan oleh ibu-ibu mereka sebagai orang-orang merdeka?”
Di antara yang patut dicatat dari kisah ini ialah bahwa orang-orang di masa itu telah begitu menyadari kehormatan dan harkat kemanusiaan mereka di bawah naungan Islam, sedemikian sehingga sekali tamparan yang dilakukan terhadap seseorang tanpa alasan yang dibenarkan segera membuatnya menyatakan protes dan tidak membiarkannya berlalu begitu saja. Padahal beribu-ribu kejadian seperti itu, atau bahkan yang lebih besar dari itu, pada masa pemerintahan orang-orang Romawi dan selain mereka, tak membuat seseorang pun menggerakkan kepala karenanya. Hanya karena adanya kesadaran seseorang akan hak dan kehormatan dirinya di bawah naungan Negara Islam itulah yang telah mendorong orang-orang teraniaya berani menerjang segala kesulitan, menempuh perjalanan panjang yang amat melelahkan dari Mesir ke Madinah seraya percaya sepe. nuhnya bahwa haknya takkan tersia-siakan dan bah. wa keluhannya pasti memperoleh telinga yang men. dengarkan dengan saksama.
Seandainya persoalan si Dzimmi itu tidak Sampai ke khalifah ataupun seandainya sang khalifah sendiri berwatak seperti pejabatnya, niscaya opini umum masyarakat Islam yang diwakili oleh para fuqaha mereka dan oleh orang-orang yang benar-benar tulus dalam menerapkan ajaran-ajaran Islam, pasti berdiri di samping orang-orang Dzimmi yang teraniaya untuk mendukungnya. Di antara contoh-contohnya yang menonjol ialah sikap al-Imam al-Auza’i terhadap wali negeri pemerintahan Abbasiyah di zamannya, yakni ketika kaum Ahludz-Dzimmah diusir dari Jabal Libanon disebabkan ulah sekelompok dari kalangan mereka sendiri yang memberontak terhadap petugas kharaj. Kebetulan si pejabat itu adalah salah seorang kerabat Khalifah bernama Saleh bin Ali bin Abdullah bin Abbas. Maka al-Auza’i mengirimkan sepucuk surat yang panjang kepadanya, di antaranya berbunyi: “Bagaimana sekelompok masyarakat di hukum semuanya atas dosa beberapa orang dari mereka, sehingga mereka semua diusir dari rumah-rumah dan harta benda mereka? Bukankah hukum Allah ialah ‘babuasanya seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain?’ (Q.S. 3:38) Dan bukankah yang demikian itulah yang paling patut dilaksanakan dan dijadikan teladan? Sungguh, di antara pesan-pesan yang paling berhak dipelihara dan diikuti ialah pesan Rasulullah saw. yaitu ketika beliau bersabda: “Barangsiapa bertindak aniaya terhadap seorang Dzimmi atau membebaninya lebih dari kemampuannya, maka akulah yang akan menjadi pembela Dzimmi tersebut di hari kiamat.” ‘
(Pada akhir suratnya itu al-Auza’i menulis): “Mereka itu bukanlah hamba sahaya, sehingga Anda dapat memindahkan mereka begitu saja dari suatu kota ke kota lainnya, tetapi mereka itu adalah orang-orang merdeka yang terikat dengan dzimmah kaum Muslimin.”[1]
Sejarah kaum Muslimin tidak pernah mengenal adanya kezaliman terhadap Ahludz-Dzimmah yang dapat berlangsung lama. Hal ini disebabkan opini umum yang selalu disertai oleh para fuqaha, senantiasa bersikap menentang kaum tiran dan para penyeleweng sehingga kebenaran kembali dimenangkan.
Walid bin Abdul Malik (seorang khalifah dari Bani Umayyah —penerj.) mengambil alih gereja St. John dari kaum Nasrani dan memasukkannya ke dalam masjid. Namun ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, kaum Nasrani mengadukan kepadanya perbuatan Walid itu. Khalifah segera mengirim surat kepada petugasnya agar mengembalikan kepada mereka bagian yang telah ditambahkan Pada masjid tersebut. Akhirnya mereka berdamai dengan si petugas dan bersedia menerima ganti rugi yang memuaskan mereka.
Walid bin Yazid (juga seorang khalifah Bani Umayyah) pernah mengusir Ahludz-Dzimmah dari Siprus dan mengirim mereka ke Syam disebabkan khawatir datangnya serbuan orang-orang Rum. Kendatipun ia, menurut pendapatnya, melakukan hal itu untuk melindungi negara dan demi kewaspadaan, namun para fuqaha dan kaum Muslimin marah kepadanya dan menganggapnya sebagai perbuatan tidak patut. Ketika Yazid (putra Walid) menjadi khalifah dan mengembalikan Ahludz-Dzimmah itu ke Siprus, kaum Muslimin memuji tindakannya itu yang mereka anggap sesuai dengan keadilan. Menurut ahli sejarah al-Baladzuri, tindakannya itu digolongkan ke dalam jasa-jasa terpuji Yazid bin Walid.
Di antara kebanggaan-kebanggaan tatanan Islami ialah kekuasaan penuh dan kebebasan yang dilimpahkannya kepada pranata peradilan. Dalam lingkungan peradilan İslami yang sebenarnya, setiap orang yang dizalimi atau dirampas haknya, apa pun agama atau rasnya, memperoleh jaminan dan ketenteramari sepenuhnya agar Ia memperoleh kemenangan atas si zalim dan mendapatkan kembali haknya dari si perampas walaupun itu adalah Amirul Mukminin sendiri dengan segala kewibawaan dan kekuasaannya.
Dalam sejarah peradilan Islami terdapat banyak contoh dan peristiwa di mana seorang penguasa atau khalifah berdiri di hadapan hakim sebagai penuntut atau yang dituntut. Dalam banyak peristiwa tersebut, keputusan justru merugikan sang khalifah dan menguntungkan seorang atau lebih, dari rakyat jelata yang tak memiliki kekuasaan ataupun kekuatan. Di sini kami cukup memberikan satu contoh saja yang ada kaitannya dengan uraian kami di atas.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Kalah di Pengadilan oleh Seorang Nasrani
Amirul Mukminin Ali bin Talib r.a. pernah kehilangan sebuah baju perang. Di suatu saat ia menemukannya pada seorang Nasrani lalu keduanya mengajukan perkara tersebut di hadapan hakim Syuraih. Ali berkata kepadanya: “Baju perang ini adalah milikku, tak pernah kujual dan tak pernah kuberikan kepada orang lain.” Hakim lalu bertanya kepada Si Nasrani tentang ucapan Amirul Mukminin. Jawabnya, “Baju itu benar-benar milikku walupun aku tidak menuduh Amirul Mukminin telah berdusta.” Hakim Syuraih menoleh ke arah Ali seraya bertanya: “Adakah Anda mempunyai bukti wahai Amirul Mukminin?” Ali pun tertawa, kemudian berkata: “Syuraih telah berkata benar. Aku tak mempunyai bukti apa pun.” Mendengar itu Syuraih memutuskan baju itu tetap menjadi milik si Nasrani, sebab dialah yang menguasainya kini dan tak ada suatu bukti yang bertentangan dengan itu. Orang itu pun mengambil kembali baju tersebut lalu beranjak pergi. Namun setelah beberapa langkah, ia segera kembali dan berkata, “Sungguh aku beraksi bahwa ini adalah hukum para Nabi! Amirul Mukminin membawaku ke hadapan Hakim dalam pemerintahannya lalu ia memenangkan aku, dan mengalahkannya! Aku bersaksİ bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya. Baju perang ini memang milikmu wahai Amirul Mukminin. Aku pernah mengikutimu ketika Anda menuju Shiffin, dan baju ini terjatuh dari untamu yang berwarna kelabu.” Ali r.a. segera menjawab: “Kini, karena Anda masuk Islam, baju itu kuhadiahkan kepadamu.”[2]
Itulah peristiwa yang tak memerlukan komentar apa pun.
Catatan Kaki:
[1] Lihat: Futuhul Buldan, Al-Baladzuri, hal. 222; dan Abu Ubaid, Al-Amwal, hal. 170-171.
[2] Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, jilid VIII, hal. 4-5