Matan Hadits:
عَنْ أَبي هُرَيرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: (لاَ تَحَاسَدوا، وَلاَتَنَاجَشوا، وَلاَ تَبَاغَضوا، وَلاَ تَدَابَروا، وَلاَ يَبِع بَعضُكُم عَلَى بَيعِ بَعضٍ، وَكونوا عِبَادَ اللهِ إِخوَانَاً، المُسلِمُ أَخو المُسلم، لاَ يَظلِمهُ، وَلاَ يَخذُلُهُ، وَلا يكْذِبُهُ، وَلايَحْقِرُهُ، التَّقوَى هَاهُنَا – وَيُشيرُ إِلَى صَدرِهِ ثَلاَثَ مَراتٍ – بِحَسْبِ امرىء مِن الشَّرأَن يَحْقِرَ أَخَاهُ المُسلِمَ، كُلُّ المُسِلمِ عَلَى المُسلِمِ حَرَام دَمُهُ وَمَالُه وَعِرضُه) رواه مسلم
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Janganlah kalian saling dengki, saling menipu, saling membenci, saling membelakangi (cuek), dan janganlah kalian membeli barang yang sudah dibeli oleh saudara kalian, jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara, Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, janganlah dia menzaliminya, menelantarkannya, membohonginya, dan merendahkannya. Taqwa itu di sini –Beliau menunjuk ke dadanya tiga kali- cukuplah seorang telah disebut berbuat buruk dengan dia merendahkan saudaranya, setiap muslim atas muslim lainnya adalah haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya. (HR. Muslim)
Takhrij Hadits:
- Imam Muslim dalam Shahihnya No. 2564
- Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 772
- Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra 11276, 16906, juga Syu’abul Iman No. 6660
Kandungan Hadits Secara Global:
Hadits ini memiliki sangat banyak pelajaran, yang semuanya bermuara pada anjuran menjaga hak-hak sesama muslim yaitu berbuat baik dan menjaga ukhuwah. Caranya adalah dengan disampaikan berbagai larangan berprilaku buruk kepada saudara sesama muslim, di antaranya adalah:
- Tahaasadu (saling dengki/iri hati)
Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah menjelaskan:
لا تحاسدوا يقتضي النهي عن التحاسد وعن الحسد في كل شيء على ظاهره وعمومه إلا أنه أيضا عندي مخصوص بقوله صلى الله عليه وسلم لا حسد إلا في اثنتين رجل آتاه الله القرآن فهو يقوم به آناء الليل وآناء النهار ورجل آتاه الله مالا فهو ينفقه آناء الليل وآناء النهار هكذا رواه عبدالله بن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم.
Jangan kalian saling dengki, mencakup larangan dari saling dengki dan juga larangan sifat dengki terhadap segala hal secara zahir dan umum, kecuali pada hal-hal tertentu, saya juga memiliki hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Janganlah kamu dengki kecuali dalam dua hal, yaitu dengki kepada seorang laki-laki yang Allah telah memberikannya Al Quran lalu dia senantiasa membacanya baik sepanjang malam dan siang. Demikian juga kepada seorang laki-laki yang Allah memberikannya harta, lalu dia menginfakkannya sepanjang malam dan siang. (At Tamhid, 6/118)
Dalam hadits disebutkan:
وعن عبدِ اللَّهِ بنِ مسعودٍ رضي اللَّه عنه قال: قالَ رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: “لا حَسَدَ إِلاَّ في اثَنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً، فَسَلَّطَهُ على هَلكَتِهِ في الحَقِّ. ورَجُلٌ آتَاه اللَّهُ حِكْمَةً فُهو يَقضِي بِها وَيُعَلِّمُهَا”متفقٌ عليه وتقدم شرحه قريباً.
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Tidak ada hasad (iri) kecuali dalam dua orang: 1. Seseorang yang diberikan Allah harta, lalu dia menghabiskannya pada jalan kebenaran, dan 2. Seseorang yang Allah berikan hikmah (ilmu) lalu dia menggunakan dan mengajarkannya. (HR. Bukhari No. 73, 1409, 7141, 7316 dan Muslim No. 816)
- Tanaajasyu (saling menipu)
Yaitu menipu dalam konteks jual beli, dengan cara dia menawar barang dagangan dengan harga yang lebih tinggi agar orang lain yang punya keinginan terhadap barang tersebut tidak jadi membeli, padahal setelah itu dia sendiri tidak jadi membelinya. Tujuan dia menawar hanya untuk mencegah dan menyingkirkan orang lain. Bisa juga seorang pedagang yang menaikkan harga barang dengan tujuan agar si penawar tidak jadi membelinya.
Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari Rahimahullah berkata:
لا يزد بعضكم في ثمن سلعة لا يريد شراءها . ليخدع بذلك غيره ممن يرغب فيها
Janganlah sebagian kamu menambahkan harga barang yang memang kamu tidak ingin menjualnya, dalam rangka menipu orang lain yang sangat ingin membelinya. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 35)
Tentunya syariat juga sangat melarang kecurangan apa pun dalam jual beli (bisnis), selain contoh di atas.
- Tabaaghadu (saling benci)
Yaitu saling membenci sesama muslim, dengan alasan yang tidak dibenarkan. Bila mengalami hal ini, maka hendaknya cepat-cepat dicari cara untuk lahir perasaan ridha kepadanya.
Berkata Syaikh Ibnul Utsaimin Rahimahullah:
وإذا وقع في قلوبكم بغض لإخوانكم فاحرصوا على إزالته وقلعه من القلوب
Jika dihatimu ada kebencian kepada saudaramu maka seriuslah dalam menghilangkannya dan mencabutnya dari hati. (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 315)
Hal ini bisa dilakukan dengan cara husnuzhzhan, memberikan ‘udzur kepada saudara, dan lapang dada. Tetapi hal ini sulit terjadi tanpa diawali upaya saling mengenal (ta’aaruf), dan saling memahami (tafaahum).
Ada pun benci karena alasan yang dibenarkan; dilecehkannya Al Quran, As Sunnah, syariat Islam, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kelurga, para sahabatnya, benci terhadap kemungkaran, dan yang semisalnya, maka ini boleh bahkan dianjurkan. Ini disebut dengan Al Bughdhu fillah (benci karena Allah) ….
- Tadaabaru (saling membelakangi)
Yaitu saling tidak peduli dan cuek dengan keadaan saudaranya, serta saling memutuskan silaturrahim. Sehingga tidak saling sapa, membuang wajah, dan tidak mau member dan menjawab salam. Ini adalah perbuatan haram dan tercela, menjadi sebab lemahnya barisan kaum muslimin.
Allah Ta’ala berfirman:
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ
Maka Apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? mereka Itulah orang-orang yang dila’nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka. (QS. Muhammad (47): 22-23)
Makna tuli dan buta dalam ayat ini bukanlah makna haqiqi (sesungguhnya) tetapi majazi, bahwa walau mereka memiliki mata dan telinga tetapi dengan keduanya mereka tidak mampu melihat dan mendengar hal-hal yang bermanfaat bagi mereka.
Tertulis dalam Tafsir Al Muyassar:
أولئك الذين أبعدهم الله من رحمته، فجعلهم لا يسمعون ما ينفعهم ولا يبصرونه
Mereka itulah orang-orang yang dijauhkan oleh Allah dari rahmatNya, dan Dia jadikan mereka tidak bisa mendengar dan melihat apa-apa yang mendatangkan manfaat bagi mereka. (Tafsir Al Muyassar, 9/128)
- Larangan membeli barang yang sudah dibeli saudaranya
Larangan ini berlaku bagi kita semua, khususnya bagi si pembeli; tidak boleh dia membeli barang yang sudah di beli orang lain. Juga larangan bagi si penjual; tidak boleh dia menjual barang yang sudah dia putuskan dijual ke seseorang. Tetapi, jika belum ada keputusan, alias masih penawaran maka boleh saja dia menjualnya atau menawarkan kepada orang lain; dengan kata lain boleh seorang pembeli membeli barang yang masih taraf tawar menawar dan belum dijual (baik DP atau cash) kepada orang lain. Ini lebih tepat disebut jual beli cara muzaayadah (lelang), dan jumhur ulama membolehkannya. (selengkapnya lihat lampiran)
- Larangan menzalimi saudara sesama muslim
Banyak nash tentang larangan berbuat zalim, di antaranya:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا رَوَى عَنْ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَّهُ قَالَ يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا
Dari Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang apa yang Beliau riwayatkan dari Allah Tabaraka wa Ta’ala bahwa Dia berfirman:
Wahai hambaKu … Aku haramkan aniaya atas diri-Ku. Dan kujadikan ia larangan bagimu, maka janganlah saling menganiaya. (HR. Imam Muslim No. 2577, Al Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 490, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 11283, juga Syu’abul Iman No. 7088, Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 619, Al Bazar dalam Musnadnya No. 4053, Ath Thabarani dalam Musnad Asy Syamiyin No. 338, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 20272, Ibnu ‘Asakir dalam Mu’jamnya No. 870)
Yaitu Allah Ta’ala mengharamkan juga kepada manusia untuk berbuat zalim kepada diri sendiri dan orang lain, bahkan dilarang berbuat zalim kepada semua makhluk Allah Ta’ala.
Perbuatan zalim akan berakibat buruk kepada pelakunya sendiri pada hari kiamat. Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Takutlah terhadap kezaliman, sesungguhnya kezaliman akan membawa kegelapan pada hari kiamat nanti. (HR. Muslim No. 2578)
Bahkan, syariat melarang kita condong dan mendukung kepada orang-orang zalim.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ
Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka. (QS. Huud: 113)
Masalah larangan berbuat zalim pernah kami bahas pada syarah hadits ke-24, silahkan merujuk!
- Larangan menelantarkan sesama muslim
Yaitu larangan membiarkan saudara sesama muslim mengalami kesulitan, dengan tanpa memberikan bantuan kepadanya. Dia tahu saudaranya butuh bantuan tapi dia diam saja, dia tahu saudaranya kelaparan dia tidak memberinya makanan, dia tahu saudaranya dalam keadaan tersesat tapi dia tidak memberinya petunjuk jalan, dia tahu saudaranya terancam aqidahnya tapi dia tidak melindunginya, dia tahu saudaranya dizalimi tapi dia tidak menolongnya, dan seterusnya.
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالَّذِي يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ
“Tidaklah beriman orang yang kekenyangan padahal tetangganya kelaparan.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 112, Ath Thabarani No. 12741, Abu Ya’la No. 2699)
Pada dasarnya sanad hadits ini dhaif. (Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Tahqiq Musnad Ahmad, 8/486), namun karena banyaknya hadits serupa yang saling menguatkan, maka hadits ini terangkat menjadi shahih lighairih, sebagaimana dikatakan Syaikh Al Albani. (Lihat Shahih At Targhib wat Tarhib No. 2562)
Lalu juga dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma dengan sanad yang berbeda, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ليس المؤمن الذي يشبع وجاره جائع إلى جنبه
“Tidaklah beriman orang yang kekenyangan padahal tetangga sebelahnya kelaparan.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 3238, Syaikh Al Albani menyatakan: hasan. Lihat Tahqiq Misykah Al Mashabih No. 4991)
Hadits-hadits menegaskan larangan menelantarkan tetangga yang kelaparan.
- Larangan berbohong
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
Ciri-ciri munafiq ada tiga: jika bicara dia berbohong, jika berjanji dia ingkar, dan jika diberi amanah dia berkhianat. (HR. Bukhari No. 33, 2682, 2749, 6095, Muslim No. 59)
Dari Abdullah bin Amr Radhiallahu ‘Anhuma, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
Ada empat hal yang barang siapa seseorang memilikinya maka dia munafiq sejati, dan barang siapa yang memiliki satu saja maka dia memiliki satu perangi kemunafikan sampai dia meninggalkan hal itu: jika diberi amanah dia berkhianat, jika bicara dia berbohong, jika berjanji dia melanggar, dan jika dia berbantahan maka buruk akhlaknya. (HR. Bukhari No. 34, 3178, Muslim No. 58)
- Larangan merendahkan sesama muslim
Yaitu terlarang memposisikan seorang muslim tidak pada posisi yang benar, sebab Allah Ta’ala telah meninggikan kedudukan dan derajatnya. Maka, tidak pantas mereka merendahkan orang yang Allah Ta’ala tinggikan keadaannya, yaitu orang-orang yang berkata isyhad bi anna muslim – lihatlah, sungguh saya adalah muslim!
Maka tidak dibenarkan mengolok-olok mereka dan memanggil mereka dengan panggilan yang buruk dan fasik , karena Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al Hujurat (49): 11)
Ibnu Abi Syaibah menyebutkan:
حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيْلٍ ، عَنِ الْعَلاَءِ بْنِ الْمُسَيَّبِ ، عَنْ أَبِيهِ ، قَالَ : لاَ تَقُلْ لِصَاحِبِكَ يَا حِمَارُ , يَا كَلْبُ , يَا خِنْزِيرُ , فَيَقُولَ لَكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ : أَتَرَانِي خُلِقْت كَلْبًا ، أَوْ حِمَارًا ، أَوْ خِنْزِيرًا ؟.
Berkata kepada kami Ibnu Fudhail, dari Al ‘Ala bin Al Musayyib, dari ayahnya, dia berkata: “Jangan kau berkata kepada sahabatmu wahai keledai, wahai anjing, wahai babi, niscaya akan dikatakan kepadamu pada hari kiamat nanti: “Apakah kau melihatKu telah menciptakan anjing, atau keledai, atau babi?” (Al Mushannaf No. 26624)[1]
- Penegasan tentang persaudaraan sesama muslim, dan dilarang saling mengganggu darah, harta, dan kehormatan.
Ini sudah sering kita bahas, baik dalam Syarah hadits No. 8, 14, dan lainnya.
- Penjelasan bahwa taqwa itu letaknya di hati
Hati adalah letaknya taqwa, sekaligus letak baik dan buruk. Jika baik dan taqwa maka baguslah amal perbuatan lahiriahnya, jika hati itu buruk maka buruk pula perbuatan lahiriyahnya. Ini sudah kita bahas dalam Syarah No. 6, silahkan merujuk pula.
Makna Kata dan Kalimat
عَنْ أَبي هُرَيرَةَ رضي الله عنه قَالَ : dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata
Tentang Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu lihat syarah No. 9.
قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
لاَ تَحَاسَدوا : Janganlah kalian saling dengki
Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri berkata:
أي لا يتمنى بعضكم زوال نعمة بعض سواء أرادها لنفسه أو لا
Yaitu janganlah kalian mengharapkan hilangnya nikmat yang ada pada saudara kalian, sama saja apakah kalian juga menginginkan nikmat itu atau tidak. (Tuhfah Al Ahwadzi, 6/55)
Apa itu hasad? Berkata Syaikh Ibnul Utsaimin Rahimahullah Ta’ala:
قال بعض أهل العلم:الحسد تمني زوال نعمة الله عزّ وجل على الغير، أي أن يتمنى أن يزيل نعمته على الآخر،سواء كانت النعمة مالاً أو جاهاً أو علماً أو غير ذلك
Sebagian ulama menjelaskan: Hasad adalah mengharapkan hilangnya nikmat Allah ‘Azza wa Jalla yang ada pada orang lain, yaitu mengharapkan hilangnya nikmatNya atas orang lain, sama saja baik itu nikmat harta, kedudukan, ilmu, atau selain itu. (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 315)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan:
فالحاسد المبغض للنعمة على من أنعم الله عليه
Orang yang hasad adalah orang yang begitu benci terhadap nikmat yang Allah berikan kepada seseorang. (Imam Ibnu Taimiyah, Amradhul Qalbi wa Syifa’uha, Hal. 19. Cet. 2, 1399H. Salafiyah)
Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
قال العلماء الحسد قسمان حقيقي ومجازي فالحقيقي تمنى زوال النعمة عن صاحبها وهذا حرام بإجماع الأمة مع النصوص الصحيحة وأما المجازي فهو الغبطة وهو أن يتمنى مثل النعمة التي على غيره من غير زوالها عن صاحبها فإن كانت من أمور الدنيا كانت مباحة وان كانت طاعة فهي مستحبة والمراد بالحديث لا غبطة محبوبة إلا في هاتين الخصلتين
Berkata para ulama: hasad itu ada dua macam; hakiki dan majazi. Hasad yang hakiki (yang sebenarnya) adalah mengharapkan hilangnya kenikmatan dari pemiliknya, dan ini haram berdasarkan ijma’ umat dan nash-nash (teks agama) yang shahih. Ada pun hasad majazi (kiasan) adalah ghibthah, yaitu seorang yang mengharapkan mendapatkan kenikmatan yang ada pada selainnya tanpa menginginkan nikmat itu hilang dari pemiliknya. Jika hal itu termasuk urusan dunia maka boleh saja, jika hal itu masuk dalam hal ketaatan maka itu dianjurkan. Maksud hadits ini adalah tidak ada ghibthah yang disukai kecuali pada dua hal ini. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/97)
وَلاَتَنَاجَشوا : dan janganlah saling menipu
Imam Ibnu ‘Allan menjelaskan:
أي لا ينجش بعضكم على بعض بأن يزيد في السلعة لا لرغبة فيها بل ليخدع غيره وهو حرام إجماعاً على العالم بالنهي سواء كان بمواطأة البائع أم لا، لأنه غش وخداع وهما محرّمان
Yaitu janganlah kalian saling menipu dengan cara membeli harga barang dengan harga tinggi padahal sebenarnya tidak menginginkan barang itu, tetapi untuk menipu saudaranya. Ini adalah haram menurut ijma bagi orang yang telah mengetahui itu, sama saja apakah dilakukan dengan kesepakatan atau tidak, karena hal ini masuk kategori menipu dan memalsukan, dan keduanya haram. (Dalilul Falihin, 2/286)
وَلاَ تَبَاغَضوا : jangan saling membenci
Yaitu jangan saling memancing dan melakukan perbuatan yang lahirnya kebencian sesama kalian.
Imam Ibnu ‘Allan mengatakan:
أي لا يبغض بعضكم بعضاً: أي لا تتعاطوا أسباب البغض لأنه قهري كالحبّ لا قدرة للإنسان على اكتسابه ولا يملك التصرف فيه
Yaitu kalian membenci satu sama lain, yakni janganlah kalian memperlebar lahirnya sebab-sebab kebencian, sebab perasaan benci itu seperti cinta, tidak ada kekuasaan bagi manusia untuk mengatur dan tidak pula berkuasa untuk menudukkannya. (Dalilul Falihin, 2/287)
وَلاَ تَدَابَروا : jangan saling membelakangi (cuek)
Yaitu jangan mendiamkan, tidak peduli, dan acuh terhadap saudara kalian.
Syaikh Ismail Al Anshari menjelaskan:
لا يعط أحد منكم أخاه دبره حين يلقاه مقاطعة له
Janganlah kalian membelakangi saudaramu ketika kalian menjumpainya, hal itu bisa memutuskan hubungan dengannya. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 35)
Imam Al Munawi mengatakan:
أي لا تقاطعوا أو لا تغتابوا
Janganlah kamu memutuskan silaturrahim dan jangan saling menggunjing. (At Taisir, 2/944)
Sengaja memutuskan silaturrahim dan memboikot sesama muslim tanpa alasan yang benar merupakan perbuatan yang sangat dibenci syariat.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الجَنَّةَ قَاطِعٌ . قَالَ سفيان في روايته : يَعْنِي : قَاطِع رَحِم . مُتَّفَقٌ عَلَيهِ
“Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan.” Berkata Sufyan Ats Tsauri dalam riwayatnya: yaitu memutuskan hubungan kekerabatan. (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا تَرْتَفِعُ صَلَاتُهُمْ فَوْقَ رُءُوسِهِمْ شِبْرًا رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَأَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ
“Ada tiga manusia yang Shalat mereka tidaklah naik melebihi kepala mereka walau sejengkal: yakni seorang yang mengimami sebuah kaum tetapi kaum itu membencinya, seorang isteri yang tidur sementara suaminya sedang marah padanya, dan dua orang bersaudara yang saling memutuskan silaturahim.” (HR. Ibnu Majah No. 971, Imam Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi mengatakan sanadnya shahih dan semua rijalnya tsiqat (kredibel). Lihat Hasyiyah As Sindi ‘ala Ibni Majah, 2/338. Syaikh Al Albani mengatakan hasan. Lihat Misykah Al Mashabih, 1/249/1128. Imam Al ‘Iraqi juga mengatakan hasan. Lihat Tuhfah Al Ahwadzi, 2/289. Syaikh Ala’uddin bin Qalij bin Abdillah Al Hanafi mengatakan sanad hadits ini laa ba’sa bihi (tidak apa-apa). Abu Hatim berkata: Aku belum melihat ada orang yang mengingkarinya. Dalam sanadnya terdapat ‘Ubaidah, berkata Ibnu Namir: dia tidak apa-apa. Ad Daruquthni berkata: baik-baik saja mengambil ‘ibrah darinya. Abu Hatim mengatakan: menurutku haditsnya tidak apa-apa. Sanadnya juga terdapat Al Qasim. Menurut Al ‘Ijili dan lainnya dia tsiqah (kredibel), Lihat dalam Syarh Sunan Ibni Majah No. 172, karya Syaikh Ala’uddin Al Hanafi. Al Maktabah Al Misykat)
Imam Al Munawi Rahimahullah memberikan penjelasan:
( وأخوان ) من نسب أو دين ( متصارمان ) أي متهاجران متقاطعان في غير ذات الله تعالى
(Akhwaani – dua orang bersaudara) baik dari saudara karena nasab atau agama (mutashaarimaani) yaitu saling memboikot (hajr) dan memutuskan hubungan bukan karena Allah Ta’ala. (At Taisir bisy Syarhil Jaami’ Ash Shaghiir, 1/969)
Hal ini adalah jika terjadi karena urusan dunia, seperti merebutkan warisan, persaingan bisnis, dan semisalnya, yang membuat mereka memutuskan silaturrahim.
Namun, jika memutuskan hubungan karena faktor kepentingan agama, seperti memutuskan hubungan terhadap ahli bid’ah dan ahli maksiat, dalam rangka memberikan pelajaran kepada mereka, maka ini tidak apa-apa. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat pernah memboikot tiga sahabat nabi yang tidak ikut perang tabuk, yaitu Ka‘ab bin Malik, Murarah bin Ar Rabi‘ dan Hilal bin Umaiyah. Para sahabat mendiamkannya, tidak menegurnya, tidak mengajaknya bercakap-cakap, bahkan tidak menjawab salamnya. Ini berlangsung sampai lima puluh hari lamanya. Hingga akhirnya mereka bertaubat dan Allah Ta’ala menerima taubat mereka dengan turunnya ayat:
“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan Anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka nyaris berpaling (tergelincir), namun kemudian Allah menerima taubat mereka. Sesunguhnya Allah Mahaya Penyayang terhadap mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubatnya) sehingga bumi yang luas ini mereka rasakan amat sempit, dan jiwa mereka pun dirasa sempit oleh mereka, kemudian mereka menyadari bahwa tidak ada temapt lari dari (siksaan) Allah selain kepada-Nya, kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap bertaubat. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hari orang-orang yang beriman, tetapi bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang selalu benar“.(QS At-Taubah(9):117-119).
وَلاَ يَبِع بَعضُكُم عَلَى بَيعِ بَعضٍ : dan janganlah kalian membeli barang yang sudah dibeli oleh saudara kalian
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy Syaikh mengatakan:
وهو مثلا أن يقول لمن أراد أن يشتري سلعة بعشرة أن يعطيك مثلها بتسعة، أو لمن أراد أن يبيع سلعة بعشرة أنا آخذها منك بإحدى عشر. وأشباه ذلك؛ يعني أنه يغريه بألا يشتري من أخيه، أو أن يبيع عليه، ففي هاتين الصورتين حصل بيع على بيع المسلم، وهنا حرم النبي – صلى الله عليه وسلم – ذلك بقوله
Hal ini misalnya, seorang yang berkata kepada orang yang hendak membeli sebuah barang seharga sepuluh: Aku akan memberikan kepadamu yang semisalnya seharga sembilan. Atau kepaa orang yang hendak membeli barang tersebut sepuluh, aku akan membelinya darimu seharga sebelas. Dan yang serupa dengan itu adalah memperdayainya dengan tidak jadi membelinya dari saudaranya itu, atau tidak jadi menjual kepadanya, maka pada dua gambaran ini Nampak seseorang membeli barang yang sudah dibeli saudaranya sesama muslim. Maka, ini diharamkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan sabdanya itu. (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 275)
وَكونوا عِبَادَ اللهِ إِخوَانَاً : jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara
Syaikh Ismail Al Anshari Rahimahullah mengatakan:
أي تعاملوا معاملة الأخوة في المودة ، والرفق والشفقة والملاطفة ، والتعاون في الخير ، ونحو ذلك مع صفاء القلوب
Yaitu bergaul-lah dengan pergaulan yang dinaungi perasaan mawaddah (cinta kasih), lembut, sayang, ramah, saling menolong dalam kebaikan, dan yang semisalnya, yang dilakukan dengan hati yang tulus. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 35)
Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri mengutip dari Imam Al Qurthubi, katanya:
كونوا كإخوان النسب في الشفقة والرحمة والمحبة والمواساة والمعاونة والنصيحة
Jadilah kalian seperti saudara senasab dalam kasih, sayang, cinta, pemberian, pertolongan, dan nasihat. (Tuhfah Al Ahwadzi, 6/55)
المُسلِمُ أَخو المُسلم : Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya
Yakni karena kesamaan aqidahlah mereka menjadi bersaudara, walau berbeda, suku, bahasa, warna kulit, dan bangsa. Kesamaan aqidah adalah dasar persaudaraan terkuat dan teragung, di atas dasar persaudaraan yang lainnya.
Imam Al Munawi menjelaskan:
أي يجمعهما دين واحد والاخوة الدينية أعظم من الحقيقية لان ثمرة هذه دنيوية وتلك أخروية
Yaitu keduanya disatukan oleh agama yang satu. Persaudaraan karena agama adalah lebih mulia dibanding persaudaraan hakiki (senasab), karena buahnya adalah dunia, sedangkan persaudaraan karena agama buahnya adalah akhirat. (At Taisir, 2/883)
لاَ يَظلِمهُ: janganlah dia menzaliminya
Yaitu janganlah dia menganiaya, berbuat jahat, dan merampas hak saudaranya, baik kepada harta, darah, dan kehormatannya.
Syaikh Ismail Al Anshari menjelaskan:
لا يدخل عليه ضررا في نفسه ، أو دينه ، أو عرضه ، أو ماله بغير إذن شرعي
Janganlah menimpakan kemudharatan kepada dirinya, atau agamanya, atau kehormatannya, atau hartanya, dengan tanpa izin dari syariat. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No.35)
Namun jika dia melakukan pelanggaran terhadap syariat, maka dia boleh diambil harta, bahkan nyawanya, tergantung tindak kejahatan yang dilakukannya.
وَلاَ يَخذُلُهُ : janganlah dia menelantarkannya
Yaitu tolonglah dia dan jangan telentarkan dia bersama kesulitan yang dihadapinya, padahal kita tahu dan mampu memberikan bantuan kepadanya.
Syaikh Ismail Al Anshari menjelaskan:
لا يترك نصرته المشروعة ، لأن من حق حقوق أخوة الإسلام : التناصر
Janganlah tidak memberikan pertolongan yang memang disyariatkan untuk diberikan kepadanya, karena di antara hak persaudaraan Islam adalah At Tanaashur (tolong menolong). (Ibid)
وَلا يكْذِبُهُ : janganlah membohonginya
Syaikh Ismail Al Anshari menjelaskan:
لا يخبره بأمر خلاف الواقع
Janganlah memberikan kabar kepadanya tentang suatu hal yang berbeda dengan kenyataannya. (Ibid)
Imam Ibnu Allan menjelaskan:
أي يخبره خبراً كاذباً
Yaitu mengabarkannya dengan kabar yang dusta. (Dalilul Falihin, 2/284)
وَلايَحْقِرُهُ : janganlah merendahkannya
Imam An Nawawi menjelaskan:
أي لا يحتقره فلا ينكر عليه ولا يستصغره
Yaitu janganlah merendahkannya, dan jangan mengingkarinya, dan jangan mengecilkannya. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16/120)
Syaikh Utsaimin menjelaskan dengan penjelasan yang bagus:
ولا يحقره ولا يستصغره حتى وإن كان أكبر منه سنا وإن كان أكثر منه مالا وإن كان أغزر منه علما فلا يحقره واحتقار الناس من الكبر والعياذ بالله قال النبي صلى الله عليه وسلم الكبر بطر الحق وغمط الناس بطر الحق يعني رده وغمط الناس يعني احتقارهم وازدراءهم فالمسلم يرى أخاه بعين الإكبار ويحترمه ويعظمه
Jangan merendahkan dan meremehkannya, walaupun dia lebih tua darinya, lebih kaya, dan jauh lebih berilmu darinya. Maka, janganlah merendahkan, sebab merendahkan manusia adalah kesombongan –wal ‘iyadzubillah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: sombong itu adalah batharul haq dan ghamthun naas. Batharul haq artinya menolak kebenaran, dan ghamthun naas artinya merendahkan dan menghinanya. Maka, seorang muslim hendaknya memandang saudaranya dengan mata yang membesarkan, dan penghormatan, dan pemuliaan. (Syarh Riyadhush Shalihin, Hal. 268)
التَّقوَى هَاهُنَا – وَيُشيرُ إِلَى صَدرِهِ ثَلاَثَ مَراتٍ : Taqwa itu di sini –Beliau menunjuk ke dadanya tiga kali
Yakni taqwa itu letaknya di hati, yakni yang menjadi dasar taqwa. Namun, mesti ditindaklanjuti dengan amal nyata baik lisan atau perbuatan. Sebab terbesar di banyak nash Al Quran dan As Sunnah, bahwa taqwa itu juga diaplikasikan dalam amal.
Sebagai contoh ayat-ayat berikut:
1.Alif laam miin. 2. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. 4. dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. 5. mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Al Baqarah (2): 1-5)
Dalam ayat-ayat ini terlihat orang bertaqwa itu juga melakukan amal shalih yang nyata, seperti shalat dan bersedekah.
بِحَسْبِ امرىء مِن الشَّرأَن يَحْقِرَ أَخَاهُ المُسلِمَ : cukuplah seorang telah disebut berbuat buruk dengan dia merendahkan saudaranya
Imam Ibnu Allan menjelaskan makna Asy Syar (buruk) dalam kalimat ini:
في أخلاقه ومعاشه ومعاده
Yakni buruk pada akhlaknya, penghidupannya, dan tempat kembalinya (akhirat). (Dalilul Falihin, 2/285)
Kenapa merendahkan saudaranya disebut keburukan? Beliau juga menjelaskan:
لأن الله إذا لم يحتقره إذ أحسن تقويم خلقه وسخر له ما في السموات والأرض كله لأجله
Karena Allah Ta’ala tidak pernah merendahkannya, dia menciptakannya dalam bentuk yang terbaik, dan karena manusialah Dia menundukkan apa-apa yang ada di langit dan bumi semuanya untuk mereka. (Ibid)
Maka, adalah tercela merendahkan manusia karena fisiknya. Ini sering terjadi di antara manusia satu terhadap lainnya.
Lalu dia melanjutkan:
وجعل الأنبياء الذين هم أفضل المخلوقين من جنسه كان احتقاره احتقاراً لما عظمه الله وشرّفه، وهو من أعظم الذنوب والجرائم، قال : «لا يدخل الجنة من في قلبه مثقال ذرّة من كبر» وقد فسره في الحديث بقوله: «الكبر بطر الحق وغمط الناس» أي احتقارهم ومنه أن لا يبدأه بالسلام احتقاراً له ولا يرده عليه
Dia menjadikan para Nabi –dan mereka adalah makhluk paling utama- yang berasal dari jenis manusia, jadi merendahkannya sama juga merendahkan apa-apa yang telah Allah agungkan dan muliakan, dan itu termasuk dosa dan kejahatan yang besar. Beliau bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang di hatinya ada sombong walau sebesar atom.” Beliau telah menafsarikan hadits ini dengan sabdanya: “Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” Yaitu merendahkan mereka, di antaranya dengan cara tidak memulai salam kepadnaya dalam rangka merendahkannya dan tidak mau menjawab salam untuknya. (Ibid)
كُلُّ المُسِلمِ عَلَى المُسلِمِ حَرَام دَمُهُ وَمَالُه وَعِرضُه : setiap muslim atas muslim lainnya adalah haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.
Yakni haram menumpahkan darah sesama muslim yakni menyakiti fisik dari luka hingga membunuhnya, kecuali ada hak Islam seperti rajam dan qishash.
Haram mengambil hartanya secara tidak hak, kecuali ada hak Islam yang dia langgar seperti tidak mau bayar zakat padahal dia sudah layak untuk berzakat. Maka boleh diampul paksa darinya. Ini sudah dibahas pada Syarah hadits ke-3.
Haram juga mencemar kehormatannya dengan memfitnah dan menggunjingnya, kecuali ada uzur syar’i seperti keperluan penyelidikan, konsultasi, dan nasihat.
Wallahu A’lam
Catatan Kaki:
[1] Tetapi menyebut orang-orang yang ingkar dan kafir dengan nama hewan adalah boleh sebagaimana ayat:
أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Mereka itu bagaikan binatang ternak bahkan lebih sesat lagi, mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al A’raf (7): 179)
Allah Ta’ala memanggil kaum Bani Israil yang ingkar dengan sebutan kera yang hina:
وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِين
Dan Sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu , lalu Kami berfirman kepada mereka: “Jadilah kamu kera yang hina”.(QS. Al Baqarah (2): 65)