Bukanlah hal yang lazim bagi seorang perdana menteri suatu negara untuk beberapa kali mengunjungi negara lain yang jaraknya ribuan kilometer dalam rentang waktu yang singkat. Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu melawan kebiasaan ini dengan kunjungan ketiganya ke Washington hanya dalam waktu enam bulan untuk bertemu dengan Presiden AS Donald Trump . Ini adalah tahap terakhir dalam upayanya untuk memperkuat pengaruh politiknya di tengah iklim regional yang tidak stabil serta tantangan domestik yang semakin meningkat.
Kunjungan Netanyahu kali ini terjadi di tengah perubahan cepat dalam lanskap geopolitik Timur Tengah, terutama paska serangan militer Israel dan kemudian Amerika terhadap beberapa lokasi di Iran, diikuti oleh respons rudal Iran menargetkan sejumlah titik di Israel yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kunjungan tersebut juga bertepatan dengan indikasi menggembirakan dari Washington mengenai kemungkinan tercapainya gencatan senjata di Jalur Gaza . Beberapa hari lalu, Trump mengumumkan bahwa Israel telah menyetujui usulan AS untuk gencatan senjata selama dua bulan, dan ia menggambarkan tanggapan Hamas terhadap “usulan akhir” tersebut sebagai hal yang cukup positif.
“Mungkin akan ada kesepakatan di Gaza minggu depan,” kata Trump di atas Air Force One Sabtu lalu. “Saya sangat optimis, tetapi seperti yang Anda ketahui, segala sesuatunya bisa berubah dari hari ke hari.”
Memastikan Kepentingan
Berbicara kepada wartawan sebelum menaiki pesawatnya ke Washington, Netanyahu mengatakan bahwa serangan Israel dan AS ke Iran “melahirkan komitmen besar dan juga peluang besar. Komitmen mendasarnya adalah untuk mempertahankan capaian tersebut dan bersiap sepenuhnya untuk mencegah Iran melanjutkan upayanya untuk mendapatkan senjata nuklir yang ditujukan untuk menghancurkan kita.”
Ia melanjutkan, “Bahkan ada juga peluang besar, yaitu memperluas lingkaran perdamaian melampaui apa yang kita kira mungkin. Kita telah mengubah wajah Timur Tengah, dan kita memiliki peluang untuk mengubahnya lebih jauh lagi dan menciptakan masa depan yang sejahtera bagi Negara Israel, rakyatnya, dan seluruh kawasan.”
David Mack, mantan Asisten Menteri Luar Negeri dan anggota saat ini di Dewan Atlantik di Washington, mengatakan bahwa Netanyahu memiliki tujuan yang jelas untuk kunjungan ketiganya ke Gedung Putih di masa jabatan kedua Trump .
Mack menjelaskan bahwa Netanyahu “sangat ingin menunjukkan pengaruhnya yang berkelanjutan terhadap Trump dan para pemimpin senior Partai Republik di Kongres kepada mitra koalisinya dan mayoritas Knesset, untuk melawan tekanan Amerika terhadap Israel.”
Mack menambahkan bahwa Netanyahu mengandalkan pertemuan ini “untuk memastikan kelangsungan politiknya, karena kegagalan kunjungan ini dapat membuka pintu bagi pemilihan umum baru, yang dapat mengembalikannya ke pengadilan untuk menghadapi tuduhan korupsi yang belum ditutup.”
Netanyahu berharap dapat menyelamatkan masa depan politiknya dari persidangan atas tuduhan korupsi.
Beberapa Tujuan Lain Netanyahu
Profesor Osama Khalil, kepala Program Studi Internasional di Universitas Syracuse di New York, yakin bahwa tujuan Netanyahu tidak berubah. Ia mengatakan bahwa “Netanyahu berusaha untuk menyelamatkan masa depan politiknya dengan melemahkan upaya penyelidikan korupsi yang sedang berlangsung terhadapnya, yang kemungkinan akan berujung pada hukuman dan penahanan.”
Ia menambahkan, “Netanyahu memanfaatkan dukungan berkelanjutan Trump kepadanya di media sosial, khususnya terkait serangannya terhadap Jaksa Agung Israel, untuk menunjukkan bahwa ia masih menikmati dukungan Washington, meskipun popularitasnya terus menurun di Israel.”
Menurut Khalil, Netanyahu juga berupaya “untuk mengamankan komitmen Amerika yang berkelanjutan untuk mendukung proyek Israel Raya, melalui pendanaan dan persenjataan, serta melalui pengerahan pasukan Amerika untuk memastikan terlaksananya semua tujuan Israel.”
Mencaplok Gaza Dan Tepi Barat
Terkait penerimaan Netanyahu atas usulan gencatan senjata Trump, Mantan Duta Besar AS David Mack meyakini bahwa “Netanyahu bertaruh pada kemampuannya untuk mengendalikan jalannya negosiasi dengan Hamas agar bisa memuaskan mitra garis kerasnya di pemerintahan, khususnya terkait dengan perluasan pemukiman baru Yahudi di Tepi Barat, serta kemungkinan membangun permukiman baru di Gaza.”
Mack menjelaskan bahwa mencapai kesepakatan yang mencakup pemulangan sandera yang masih hidup dan yang sudah meninggal “akan mengurangi tekanan dari rakyat, media, dan militer terhadapnya di Israel, serta memberinya ruang untuk manuver politik di fase berikutnya.”
Sementara itu, Profesor Khalil berpendapat bahwa Netanyahu “tidak berkeinginan untuk menandatangani perjanjian gencatan senjata permanen, seperti yang dilakukannya pada putaran sebelumnya. Ia akan terus mengangkat isu-isu remeh dan mengklaim bahwa isu-isu tersebut merupakan hambatan besar, hingga ujungnya mencapai kesepakatan permanen tidak mungkin dilakukan.”
Khalil memperingatkan bahwa “Netanyahu akan melanggar gencatan senjata kapan pun ia anggap waktunya tepat. Tujuan utamanya adalah mengusir warga Palestina dari Gaza dan Tepi Barat serta mencaplok kedua wilayah itu dengan persetujuan Amerika.”
Sumber: Al Jazeera