Hizbullah mengumumkan pada hari Rabu bahwa mereka akan menganggap keputusan pemerintah Lebanon untuk melucuti senjatanya seolah-olah tidak ada. Gerakan tersebut juga menuduh pemerintah Lebanon telah melakukan kesalahan besar dengan keputusannya tersebut.
Pernyataan sikap tersebut disampaikan setelah sehari sebelumnya pemerintah Lebanon menugaskan militer untuk segera menyusun rencana pelucutan senjata Hizbullah sebelum akhir tahun. Keputusan tersebut dianggap oleh musuh-musuh Hizbullah sebagai keputusan bersejarah.
Di bawah tekanan Amerika Serikat dan kekhawatiran akan semakin meluasnya serangan Israel ke Lebanon, Perdana Menteri Nawaf Salam mengumumkan pada hari Selasa bahwa militer Lebanon telah ditugaskan untuk mengembangkan rencana implementasi peraturan yang membatasi kepemilikan senjata hanya di bawah kendali pihak-pihak yang tercantum dalam deklarasi peraturan penghentian permusuhan. Rencana tersebut kemudian akan dibahas kembali di Dewan Menteri sebelum tanggal 31 bulan ini untuk diputuskan.
Pada hari Rabu, Hizbullah menuduh pemerintahan Nawaf Salam melakukan kesalahan besar dengan mengambil keputusan yang akan melucuti senjata perlawanan Lebanon terhadap penjajah Israel. Gerakan menyatakan bahwa “keputusan tersebut merupakan langkah untuk menyerah dan pelanggaran nyata terhadap dasar-dasar kedaulatan Lebanon.”
Hizbullah menambahkan, “Keputusan ini akan melemahkan kedaulatan Lebanon dan memberikan Israel kebebasan untuk mengutak-atik keamanan, geografi, politik, dan masa depan Lebanon. Oleh karena itu, kami akan menganggap keputusan ini seolah-olah tidak ada.”
Pada hari Selasa (05/08/25), Pemerintah Lebanon memasukkan keputusannya sebagai bagian dari implementasi perjanjian gencatan senjata yang ditengahi AS yang mengakhiri perang antara Hizbullah dan Israel pada tanggal 27 November dan menetapkan bahwa kepemilikan senjata akan dibatasi hanya pada pasukan keamanan dan militer Lebanon yang sah.
Namun, meskipun ada perjanjian gencatan senjata, Israel terus melakukan serangan di beberapa wilayah Lebanon, terutama di selatan dan Lembah Bekaa, serta mempertahankan pasukannya di lima lokasi di Lebanon yang dekat dengan perbatasannya.
Pada hari Rabu (06/08/25) Israel kembali melancarkan serangkaian serangan udara ke Lebanon selatan. Serangan tersebut menewaskan satu orang dan melukai beberapa lainnya, menurut otoritas Lebanon.
Militer Israel mengatakan dalam sebuah pernyataannya bahwa mereka akan terus menyerang target-target Hizbullah di Lebanon selatan, “termasuk gudang senjata, peluncur rudal, dan infrastruktur Hizbullah yang digunakan untuk menyimpan peralatan yang ditujukan untuk membangun kembali infrastrukturnya di wilayah tersebut.”
Dalam pernyataannya pada hari Rabu, Hizbullah mengatakan bahwa keputusan pelucutan senjata tersebut merupakan “murni perintah utusan Amerika”. Gerakan juga menganggap bahwa keputusan tersebut “sepenuhnya melayani kepentingan Israel dan membuat Lebanon rentan terhadap serangan penjajah Israel tanpa mampu melakukan pencegahan apapun.”
Menteri Kesehatan Rakan Nasser al-Din, yang berafiliasi dengan Hizbullah, dan Menteri Lingkungan Hidup Tamara al-Zein dari Gerakan Amal yang berkoalisi dengan Hizbullah mengundurkan diri dari sidang kabinet hari Selasa. Langkah ini digambarkan oleh Hizbullah tersebut sebagai “sebuah ekspresi penolakan” terhadap keputusan pemerintah dan “keputusan untuk menjadikan Lebanon di bawah pengawasan Amerika dan penjajah Israel.”
Keputusan pelucutan senjata Hizbullah merupakan keputusan penting yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak Perjanjian Thaif, yang mengakhiri perang saudara di negara itu (1975-1990). Berdasarkan perjanjian tersebut, milisi yang berpartisipasi dalam perang harus menyerahkan semua senjata mereka kepada negara, kecuali Hizbullah yang menahan senjatanya dengan alasan perlawanan terhadap Israel.
Lawan-lawan Hizbullah memuji keputusan pemerintah.
Partai Pasukan Lebanon, yang dipimpin oleh pemimpin Kristen Samir Geagea, mengatakan dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu bahwa “keputusan bersejarah yang diambil oleh Dewan Menteri kemarin seharusnya diambil 35 tahun yang lalu,” ketika perang saudara berakhir.
Partai Kristen Kataeb, yang menentang Hizbullah, juga menganggap keputusan pemerintah tersebut sebagai “keputusan bersejarah yang menempatkan Lebanon di jalur yang benar untuk untuk memulihkan kedaulatannya.”
Iran dukung penolakan Hizbullah.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi mengatakan pada hari Rabu bahwa Iran mendukung sekutunya Hizbullah dalam keputusannya, setelah kelompok itu menolak rencana pemerintah Lebanon untuk melucuti senjatanya .
“Keputusan apa pun terkait masalah ini pada akhirnya akan berada di tangan Hizbullah,” ujar Araqchi dalam sebuah wawancara yang disiarkan televisi. “Kami tetap mendukungnya dari jauh, meskipun kami tidak akan ikut campur dalam keputusannya,” lanjutnya. Araqchi juga menambahkan bahwa Hizbullah telah membangun kembali kemampuannya setelah kemunduran yang dialaminya dalam perang tahun lalu dengan Israel.
Isu pelucutan senjata Hizbullah yang kekuatannya melemah paska perang dengan Israel menjadi isu paling panas di Lebanon dalam beberapa pekan terakhir. Dan penolakan Hizbullah atas keputusan tersebut ditakutkan akan kembali menyeret negara tersebut dalam perang saudara panjang seperti yang pernah terjadi sebelumnya.
Sumber: Swissinfo & Al-arabiya.