Dalam perjalanan iman seorang muslim, ada satu kedudukan yang begitu istimewa di sisi Allah Ta’ala, yaitu kedudukan sebagai wali Allah. Pembahasan tentang wali Allah sering kali dipahami dengan beragam persepsi. Ada yang membayangkannya sebagai tokoh penuh karamah yang jauh dari kehidupan sehari-hari, ada pula yang menganggap wali hanya segelintir orang pilihan. Padahal, Al-Qur’an dan Sunnah menjelaskan dengan jelas siapa sebenarnya wali Allah itu.
Allah menegaskan dalam firman-Nya:
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63)
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. (Mereka adalah) orang-orang yang beriman dan mereka senantiasa bertakwa.”
(QS. Yunus: 62–63)
Ayat ini begitu terang. Wali Allah bukanlah sebutan eksklusif bagi orang yang memiliki keajaiban atau karamah, tetapi bagi siapa saja yang beriman dan menjaga ketakwaannya.
Perlindungan Allah untuk Wali-Nya
Dalam sebuah hadis qudsi yang masyhur, Rasulullah ﷺ menyampaikan sabda Allah Ta’ala:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللَّهَ قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ
“Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan perang kepadanya …” (HR. Bukhari no. 6502)
Betapa mulia kedudukan wali Allah. Allah sendiri yang turun tangan membela mereka. Tidak heran jika para nabi dan syuhada pun merasa iri terhadap kedudukan ini di akhirat kelak.
Umar bin Khattab meriwayatkan, Rasulullah ﷺ pernah bersabda bahwa ada segolongan hamba Allah yang bukan nabi dan bukan syuhada, tetapi kedudukan mereka begitu tinggi hingga para nabi dan syuhada pun iri kepada mereka. Para sahabat penasaran dan bertanya, “Siapakah mereka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab:
إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللهِ عِبَادًا، مَا هُمْ بِأَنْبِيَاءَ وَلَا شُهَدَاءَ، يَغْبِطُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ وَالشُّهَدَاءُ لِمَكَانِهِمْ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ … هُمْ قَوْمٌ تَحَابُّوا بِرُوحِ اللهِ عَلَى غَيْرِ أَرْحَامٍ بَيْنَهُمْ، وَلَا أَمْوَالٍ يَتَعَاطَوْنَهَا، فَوَاللهِ إِنَّ وُجُوهَهُمْ لَنُورٌ، وَإِنَّهُمْ لَعَلَى نُورٍ، لَا يَخَافُونَ إِذَا خَافَ النَّاسُ، وَلَا يَحْزَنُونَ إِذَا حَزِنَ النَّاسُ
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat suatu kaum, yang bukan nabi dan bukan pula syuhada. Namun para nabi dan syuhada pun iri kepada mereka karena kedudukan mereka di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Mereka adalah kaum yang saling mencintai karena ruh Allah, bukan karena hubungan kekerabatan dan bukan pula karena harta benda. Demi Allah, wajah mereka bercahaya, dan mereka berada di atas cahaya. Mereka tidak takut ketika manusia merasa takut, dan tidak bersedih ketika manusia bersedih.” (HR. al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, no. 8585)
Siapa Wali Allah Itu?
Secara bahasa, wali berarti penolong (النصير) dan kekasih (الخليل). Ia juga bisa bermakna teman dekat, orang yang mengurus urusan, atau pemimpin.
Sementara secara istilah, para ulama tafsir menegaskan bahwa wali Allah adalah orang-orang beriman yang senantiasa menjaga ketakwaan mereka. Ibnu Katsir menulis:
يُخْبِرُ تَعَالَى أَنَّ أَوْلِيَاءَهُ هُمُ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ كَمَا فَسَّرَهُمْ رَبُّهُمْ، فَكُلُّ مَنْ كَانَ تَقِيًّا كَانَ لِلَّهِ وَلِيًّا
“Allah Ta’ala mengabarkan bahwa para wali adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, sebagaimana dijelaskan oleh Rabb mereka. Maka setiap orang yang bertakwa, dialah wali Allah.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 7/99)
Dengan kata lain, status wali bukanlah label yang hanya dimiliki orang tertentu. Siapa pun yang beriman dan bertakwa, sejauh mana pun levelnya, ia termasuk dalam golongan wali Allah.
Karakter Para Wali
Imam al-Mawardi dalam tafsir an-Nukat wal-‘Uyun menyebutkan bahwa wali Allah memiliki beberapa ciri:
أَحَدُهَا: أَنَّهُمْ أَهْلُ وَلَايَتِهِ وَالْمُسْتَحِقُّونَ لِكَرَامَتِهِ، قَالَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ. الثَّانِي: هُمُ {الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ}. الثَّالِثُ: هُمُ الرَّاضُونَ بِالْقَضَاءِ، وَالصَّابِرُونَ عَلَى الْبَلَاءِ، وَالشَّاكِرُونَ عَلَى النَّعْمَاءِ. الرَّابِعُ: هُمُ الَّذِينَ تُوَالَتْ أَفْعَالُهُمْ عَلَى مُوَافَقَةِ الْحَقِّ. الْخَامِسُ: هُمُ الْمُتَحَابُّونَ فِي اللهِ تَعَالَى
Mereka adalah orang-orang yang termasuk dalam wilayah (kedekatan) Allah dan yang berhak mendapatkan kemuliaan-Nya. Demikian dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Sa‘id bin Jubair.
Mereka adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, sebagaimana firman Allah: {الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ}.
Mereka adalah orang-orang yang ridha dengan ketentuan Allah, sabar dalam menghadapi cobaan, dan bersyukur atas nikmat.
Mereka adalah orang-orang yang perbuatan mereka senantiasa sesuai dengan kebenaran.
Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah Ta‘ala.
(Tafsir an-Nukat wal-‘Uyun, 2/175)
Gambaran itu sejalan dengan ucapan Ali bin Abi Thalib. Beliau berkata:
أَوْلِيَاءُ اللَّهِ قَوْمٌ صُفْرُ الْوُجُوهِ مِنَ السَّهَرِ، عُمْشُ الْعُيُونِ مِنَ الْعِبَرِ، خُمْصُ الْبُطُونِ مِنَ الْجُوعِ، يُبْسُ الشِّفَاهِ مِنَ الذُّوِيِّ
“Para wali Allah itu wajahnya pucat karena banyak berjaga malam, mata mereka basah oleh tangisan, perut mereka kosong karena lapar, dan bibir mereka kering karena zuhud.”
(Tafsir al-Qurthubi, 8/358)
Mencintai Wali Allah
Kedudukan wali Allah yang mulia membuat kita diperintahkan untuk mencintai mereka. Imam Hasan al-Banna menegaskan dalam Ushul al-Isyrin:
وَمَحَبَّةُ الصَّالِحِينَ وَاحْتِرَامُهُمْ وَالثَّنَاءُ عَلَيْهِمْ بِمَا عُرِفَ مِنْ طِيبِ أَعْمَالِهِمْ قُرْبَةٌ إِلَى اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، وَالأَوْلِيَاءُ هُمُ الْمَذْكُورُونَ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: (الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ)، وَالْكَرَامَةُ ثَابِتَةٌ بِشَرَائِطِهَا الشَّرْعِيَّةِ، مَعَ اعْتِقَادِ أَنَّهُمْ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ لاَ يَمْلِكُونَ لأَنْفُسِهِمْ نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا فِي حَيَاتِهِمْ أَوْ بَعْدَ مَمَاتِهِمْ، فَضْلاً عَنْ أَنْ يَهَبُوا شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ لِغَيْرِهِمْ
“Mencintai orang-orang shalih, menghormati mereka, dan memuji amal-amal baik mereka adalah bentuk taqarrub kepada Allah. Para wali adalah mereka yang disebut dalam firman Allah: (الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ). Karamah memang benar adanya dengan syarat-syarat syariat. Tetapi harus diyakini bahwa para wali tidak memiliki kemampuan memberi manfaat atau mudharat bagi diri mereka sendiri, baik semasa hidup maupun setelah wafat, apalagi bagi orang lain.”
Penutup
Hakikat wali Allah bukanlah sesuatu yang misterius. Al-Qur’an menjelaskan dengan gamblang: mereka adalah orang-orang beriman yang bertakwa. Kedudukan mereka mulia, hingga Allah melindungi mereka dengan perlindungan langsung. Mereka adalah hamba-hamba yang hidupnya penuh iman, sabar dalam cobaan, ridha terhadap takdir, serta saling mencintai karena Allah.
Maka, siapa saja di antara kita yang berusaha istiqamah dalam iman dan takwa, sejatinya ia sedang menapaki jalan menuju kedudukan sebagai wali Allah.