Oleh: Adham Abu Selmiya
Pernyataan resmi Hamas terkait rencana Donald Trump untuk menghentikan perang di Gaza perlu dipahami sebagai bagian dari dinamika politik Palestina kontemporer. Pernyataan ini bukan sekadar reaksi spontan, melainkan sebuah sikap politik yang lahir dari konsultasi internal yang luas, koordinasi dengan faksi-faksi perlawanan, serta komunikasi dengan mediator regional maupun internasional. Hamas ingin menampilkan dirinya sebagai representasi konsensus nasional, bukan sekadar aktor tunggal.
1. Pendekatan Politik yang Rasional
Hamas tidak memposisikan rencana Trump dalam kerangka “ya” atau “tidak” secara kaku. Sebaliknya, mereka memperlakukannya sebagai bahan negosiasi. Ada poin-poin yang bisa dimanfaatkan, seperti penghentian perang, penarikan pasukan Israel, masuknya bantuan kemanusiaan, dan penolakan pengusiran. Sementara itu, isu-isu strategis yang berkaitan dengan hak-hak nasional ditempatkan dalam ranah konsensus Palestina. Sikap ini mencerminkan kalkulasi politik yang matang: menolak jebakan diplomasi, tetapi tetap membuka ruang manuver.
2. Sinkron dengan Suara Publik Palestina
Respons Hamas selaras dengan suasana umum di kalangan elite intelektual dan aktivis Palestina yang menuntut sikap cerdas: tidak menerima secara membabi buta, tetapi juga tidak menolak secara emosional. Bahasa yang digunakan tenang, diplomatis, dan penuh perhitungan. Hal ini menunjukkan kesadaran bahwa pertempuran saat ini bukan hanya berlangsung di medan militer, melainkan juga di ranah politik dan opini publik global.
3. Garis Merah yang Tegas
Meski bersikap fleksibel, Hamas tetap menegaskan empat garis merah yang tidak dapat diganggu gugat:
Pelucutan senjata perlawanan tidak akan pernah diterima, karena senjata dianggap instrumen sah perjuangan hingga penjajahan berakhir.
Kehadiran pasukan internasional atau kekuasaan asing di Gaza ditolak total karena bertentangan dengan kedaulatan rakyat Palestina.
Segala bentuk pemerintahan asing, langsung maupun tidak langsung, dianggap melanggar hak menentukan nasib sendiri.
Labelisasi “terorisme” terhadap perlawanan ditolak karena bertentangan dengan hukum internasional yang mengakui hak bangsa terjajah untuk melawan.
4. Membaca Konteks Regional dan Internasional
Hamas juga menempatkan pernyataannya dalam konteks regional dan internasional. Mereka merujuk pada sikap sejumlah negara yang hadir di Washington: Pakistan menyebut usulan Trump tidak sesuai dengan draf pertemuan, sementara Qatar dan Mesir menyatakan keberatan terhadap beberapa poin. Dengan demikian, Hamas ingin menunjukkan dirinya sebagai bagian dari arus penolakan yang lebih luas, sekaligus menegaskan bahwa rencana Amerika Serikat tidak mendapat legitimasi penuh, bahkan dari sebagian sekutunya.
5. Inti Pesan: Hentikan Agresi, Jaga Hak-Hak
Benang merah dari pernyataan Hamas adalah prioritas untuk menghentikan agresi Israel dan krisis kemanusiaan, sambil tetap menjaga hak-hak nasional Palestina. Rumusannya sederhana: apa yang menguatkan rakyat akan diterima, sedangkan apa yang melemahkan hak-hak dasar akan ditolak.
6. Penegasan Prinsip Nasional
Hamas kembali menegaskan bahwa Gaza adalah bagian tak terpisahkan dari Palestina. Pengelolaan Gaza harus sepenuhnya berada di tangan rakyat Palestina. Pengorbanan rakyat, ditegaskan Hamas, bukan untuk mengakhiri perjuangan, melainkan memastikan bahwa perjuangan tersebut berujung pada kemerdekaan.
Kesimpulan
Pernyataan Hamas dapat dibaca sebagai langkah politik yang cerdas:
Fleksibel dalam hal-hal yang bersifat kemanusiaan.
Tegas dalam isu-isu prinsipil.
Diplomatis dalam bahasa dan framing.
Dengan sikap ini, Hamas menampilkan diri bukan hanya sebagai kelompok bersenjata, melainkan juga sebagai aktor politik yang bertanggung jawab. Pesan ganda yang ingin disampaikan jelas: Hamas tidak akan menggadaikan hak-hak dasar Palestina, tetapi juga tidak akan membiarkan rakyatnya terus menderita tanpa arah politik.
Hamas menegaskan dirinya sebagai pejuang perlawanan yang rasional: keras dalam prinsip, tetapi lentur dalam diplomasi.
Sumber: HaloPalestina.com