Ia bukan pahlawan perang yang paling banyak menebas musuh, bukan pula ahli fikih yang paling banyak meriwayatkan hadis. Ia adalah seorang pedagang yang sangat sukses, yang harta kekayaannya menjadi legenda di Madinah, namun hatinya tetap terikat pada akhirat.
Masuk Islam di Usia Muda, Orang Kedelapan yang Beriman
Sebelum Islam, namanya Abdu Amr atau Abdul Ka’bah. Ketika cahaya tauhid menyapa hatinya ia langsung menyatakan syahadat. Ia adalah orang kedelapan yang masuk Islam. Ibunya, asy-Syifa’ binti Auf, juga termasuk sahabiyah yang berhijrah dan termasuk perawi hadis.
Dari hari itu, hidupnya tidak pernah sama lagi. Ia ikut hijrah dua kali ke Habasyah, lalu hijrah ke Madinah. Di sana Rasulullah mempersaudarakannya dengan Sa’ad bin ar-Rabi’ al-Anshari, seorang hartawan Anshar. Sa’ad yang mulia itu berkata kepadanya:
«لَكَ نِصْفُ مَالِي، وَانْظُرْ أَيَّ زَوْجَتَيَّ هُوَ أَعْجَبُ إِلَيْكَ فَأُطَلِّقْهَا فَتَنْكِحْهَا»
“Aku berikan separuh hartaku kepadamu. Lihat istriku yang mana yang kau sukai, akan kuceraikan dia untukmu.”
Abdurrahman menjawab dengan kalimat yang kemudian menjadi pepatah:
«لَا حَاجَةَ لِي فِي ذَلِكَ، بَارَكَ اللَّهُ لَكَ فِي أَهْلِكَ وَمَالِكَ، هَلْ مِنْ سُوقٍ فِيهِ تِجَارَةٌ؟»
“Aku tidak butuh itu. Semoga Allah berkahi keluarga dan hartamu. Tunjukkan saja pasar tempat orang berdagang.”
Hari itu juga ia pergi ke pasar Bani Qainuqa’, membawa keju dan minyak samin. Tidak lama kemudian ia sudah kaya raya. Ketika menikah dengan wanita Anshar, Rasulullah ﷺ bersabda:
«أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ»
“Adakan walimah, walaupun hanya dengan seekor kambing.” (HR. al-Bukhari)
Di Surga Bersama Sembilan Sahabat Terbaik
Suatu hari Rasulullah ﷺ menyebut sepuluh nama yang dijamin masuk surga:
«أَبُو بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ، وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ، وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ، وَعَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ، وَطَلْحَةُ فِي الْجَنَّةِ، وَالزُّبَيْرُ فِي الْجَنَّةِ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي الْجَنَّةِ، وَسَعْدٌ فِي الْجَنَّةِ، وَسَعِيدٌ فِي الْجَنَّةِ، وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِي الْجَنَّةِ»
(HR. at-Tirmidzi)
Nabi Pernah Bermakmum kepadanya
Di Perang Tabuk, Rasulullah ﷺ tertinggal satu rakaat shalat Subuh karena hajat. Para sahabat menunjuk Abdurrahman sebagai imam. Ketika Nabi datang, beliau langsung bermakmum kepadanya hingga salam.
Pedagang Kaya yang Tak Pernah Lupa Akhirat
Ketika wafat tahun 32 H (652 M), hartanya luar biasa:
- 1.000 unta
- 3.000 kambing
- 100 kuda
- Ladang di Jurf yang pengairannya saja memerlukan 20 unta
Thalhah bin Ubaidillah pernah berkata: “Penduduk Madinah terbagi tiga: sepertiga berutang kepada Abdurrahman, sepertiga utangnya dilunasi oleh Abdurrahman, dan sepertiga lagi diberi hadiah olehnya.” (Siyar A’lam an-Nubala’, 1/88)
Ia pernah menjual sebidang tanah seharga 400.000 dinar dan membagikannya kepada para istri Nabi ﷺ serta veteran Badar (masing-masing 400 dinar). Kepada jalan Allah ia wasiatkan 50.000 dinar.
Ketika Makanan Terasa Pahit
Suatu hari hidangan mewah disuguhkan di depannya. Ia menatapnya, lalu menangis:
“Mus’ab bin Umair—yang lebih baik dariku—syahid, dikafani hanya sehelai kain. Jika kepalanya ditutup, kakinya terbuka. Hamzah—paman Rasulullah—juga syahid tanpa kain kafan yang cukup. Sekarang kita diberi dunia berlimpah. Aku takut pahala kebaikan kita telah disegerakan di dunia.”
Lalu ia meninggalkan makanan itu tanpa menyentuhnya. (HR. al-Bukhari)
Menolak Tahta dengan Doa yang Menggetarkan
Suatu saat Utsman radhiyallahu ‘anhu memanggil Humran dan memintanya menulis surat wasiat pengangkatan Abdurrahman sebagai khalifah pengganti. Begitu mendengar kabar itu, Abdurrahman bergegas ke masjid, berdiri di antara makam dan mimbar Rasulullah ﷺ, lalu berdoa:
«اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ عُثْمَانُ قَدْ عَزَمَ عَلَى تَوْلِيَتِي أَمْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ فَاقْبِضْنِي إِلَيْكَ قَبْلَ أَنْ تَقْبِضَهُ»
“Ya Allah, jika Utsman benar-benar berniat mengangkatku mengurusi umat ini, wafatkanlah aku sebelum Engkau wafatkan dia.”
Enam bulan kemudian, Abdurrahman wafat lebih dulu. Utsman yang menshalatkannya di Baqi’.
Di samping jenazahnya, Sa’ad bin Abi Waqqash berkata: “Engkau bagiku seperti gunung!”
Ali bin Abi Thalib menangis: “Pergilah wahai putra Auf, engkau telah mengambil yang jernih dari dunia dan meninggalkan yang keruh.”
Akhir Perjalanan
Abdurrahman bin Auf wafat tahun 32 H / 652 M dalam usia 75 tahun. Dimakamkan di Baqi’, dishalatkan oleh Khalifah Utsman bin Affan. Ia pergi dengan meninggalkan teladan yang sangat langka: Orang kaya yang hatinya tetap miskin di hadapan Allah.
«إِنَّ الْبَذَاذَةَ مِنَ الْإِيمَانِ»
“Kesederhanaan adalah bagian dari iman.” (HR. Abu Dawud)
Dan Abdurrahman bin Auf adalah bukti hidup dari sabda itu.
(Diringkas dari “Ensiklopedi Sahabat Nabi” karya Mahmud Al-Mashri)





