Mendekati usia 40 tahun, dalam masa kematangan, Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam mulai lebih banyak memikirkan hakekat kehidupan, beliau banyak memikirkan kondisi masyarakat di sekitarnya yang menjadi penyembah berhala dan bergelimang dalam hawa nafsu.
Beliau melihat berbagai macam kepercayaan yang tumbuh di sekelilingnya—ada kepercayaan musyrikin, Hanifiyah, Yahudi, Nasrani, dan lain-lain—tapi beliau tidak mengetahui mana yang harus dipilihnya karena masing-masing kepercayaan itu berada dalam kondisi yang tidak menentu. Beliau melihat kaum musyrik yang bergelimang hawa nafsu; kaum Yahudi dan Nasrani yang terpecah belah dan kondisi dikejar-kejar; serta Hanifiyah yang hanya dianut oleh Zaid bin Amr bin Nufail seorang.
Hanifiyah adalah sebutan bagi orang yang mengikuti aqidah yang diajarkan Nabi Ibrahim, yakni tidak mau menyembah berhala. Pada saat itu di kalangan bangsa Arab hanya Zaid bin Amr bin Nufail sajalah yang menganutnya.
Di dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari disebutkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam—sebelum mendapatkan wahyu—sempat mengenal Zaid.
قَالَ مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ: أَخْبَرَنِي سَالِمٌ ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَاهُ يُحَدِّثُ ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَنَّهُ لَقِيَ زَيْدَ بْنَ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ أَسْفَلَ بَلْدَحٍ ، وَذَلِكَ قَبْلَ الْوَحْيِ ، فَقَدَّمَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُفْرَةً فِيهَا لَحْمٌ ، فَأَبَى أَنْ يَأْكُلَ ، وَقَالَ : ” لَا آكُلُ مِمَّا يَذْبَحُونَ عَلَى أَنْصَابِهِمْ ، أَنَا لَا آكُلُ إِلَّا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ ” ، رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
“Berkata Musa bin ‘Uqbah: ‘Salim mengabarkan kepadaku bahwa dia mendengar bapaknya berkata dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau pernah bertemu dengan Zaid bin Amr bin Nufail di bawah bukit Baldah, dan ini terjadi sebelum wahyu turun, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyuguhkan kepada Zaid hidangan daging, tapi Zaid menolak untuk memakannya seraya berkata: ‘Aku tidak makan sesembelihan yang mereka kurbankan kepada berhala mereka, aku tidak makan kecuali dari sesembelihan yang disebut nama Allah padanya.’”
Zaid memang dikenal oleh orang Quraisy pada saat itu sebagai orang yang tidak senang kepada kepercayaan dan adat kebiasaan orang-orang Arab, sebagaimana disampaikan oleh Asma binti Abu Bakar,
” لَقَدْ رَأَيْتُ زَيْدَ بْنَ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ قَائِمًا مُسْنِدًا ظَهْرَهُ إِلَى الْكَعْبَةِ ، يَقُولُ : يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ وَاللَّهِ مَا مِنْكُمْ أَحَدٌ عَلَى دِينِ إِبْرَاهِيمَ غَيْرِي ، وَكَانَ يُحْيِي الْمَوْءُودَةَ ، يَقُولُ لِلرَّجُلِ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَقْتُلَ ابْنَتَهُ : لا تَقْتُلْهَا ، أَنَا أَكْفِيكَ مُؤْنَتَهَا ، فَيَأْخُذُهَا ، فَإِذَا تَرَعْرَعَتْ قَالَ لأَبِيهَا : إِنْ شِئْتَ دَفَعْتُهَا إِلَيْكَ ، وَإِنْ شِئْتَ كَفَيْتُكَ مُؤْنَتَهَا
“Aku pernah melihat Zaid bin ‘Amru bin Nufail berdiri sambil menyandarkan punggungnya di Ka’bah seraya berseru; ‘Wahai sekalian kaum Quraisy, demi Allah, tak ada seorangpun dari kalian yang berada di atas agama Ibrahim selain aku.’ Zaid dahulu adalah orang yang mempertahankan hidup anak perempuan yang biasanya dikubur hidup-hidup, dan dia berkata kepada seseorang yang hendak membunuh putrinya; ‘Janganlah kamu membunuhnya karena aku yang akan mencukupi kebutuhan hidupnya’. Maka dia mengambil anak perempuan itu dan apabila anak perempuan itu sudah beranjak dewasa, Zaid berkata kepada bapak anak perempuan itu; ‘Jika kamu mau aku serahkan anak ini kepadamu, dan jika kamu mau aku bebaskan kamu dari kebutuhan hidupnya’”. (HR. Bukhari No.3541).
Kondisi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kebingungan melihat keadaan di sekelilingnya itu disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an,
وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى
“Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.” (Q.S. Ad-Dhuha: 7)
Pada saat seperti itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mengalami mimpi yang benar. Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam kemudian tertarik banyak melakukan tahannuf (memegang teguh agama) atau tahannuts (pengabdian) dengan cara menyepi di Gua Hira, sekitar 5 km sebelah utara Makkah di ketinggian 200 M, 20 M di bawah puncaknya. Beliau melakukan hal ini kadang-kadang dalam 10 hari 10 malam, 20 hari 20 malam, atau dalam sebulan.
Ibnu Hajar mengatakan, “Baihaqi menyatakan bahwa mimpi yang benar berlangsung selama 6 bulan. Oleh itu, permulaan mimpi yang benar yang merupakan petanda awal kenabian terjadi pada bulan beliau dilahirkan, yaitu Rabiul Awal. Peristiwa itu terjadi setelah umur beliau genap 40 tahun. Namun, wahyu pertama yang turun kepada beliau dalam keadaan sedar (tidak tidur), terjadi pada bulan Ramadhan.” (Lihat Fath al-Bary, jil I, hlm. 27.)
Setelah 6 bulan berlalu, turunlah wahyu yang pertama. Wahyu pertama tersebut adalah QS. Al-Alaq, ayat 1-5. Peristiwa turunnya wahyu pertama ini dikisahkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sebagai berikut,
أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مِنَ الْوَحْىِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فِى النَّوْمِ ، فَكَانَ لاَ يَرَى رُؤْيَا إِلاَّ جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ ، ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ الْخَلاَءُ ، وَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ – وَهُوَ التَّعَبُّدُ – اللَّيَالِىَ ذَوَاتِ الْعَدَدِ قَبْلَ أَنْ يَنْزِعَ إِلَى أَهْلِهِ ، وَيَتَزَوَّدُ لِذَلِكَ ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى خَدِيجَةَ ، فَيَتَزَوَّدُ لِمِثْلِهَا ، حَتَّى جَاءَهُ الْحَقُّ وَهُوَ فِى غَارِ حِرَاءٍ ، فَجَاءَهُ الْمَلَكُ فَقَالَ اقْرَأْ . قَالَ « مَا أَنَا بِقَارِئٍ » . قَالَ « فَأَخَذَنِى فَغَطَّنِى حَتَّى بَلَغَ مِنِّى الْجَهْدَ ، ثُمَّ أَرْسَلَنِى فَقَالَ اقْرَأْ . قُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ . فَأَخَذَنِى فَغَطَّنِى الثَّانِيَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّى الْجَهْدَ ، ثُمَّ أَرْسَلَنِى فَقَالَ اقْرَأْ . فَقُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ . فَأَخَذَنِى فَغَطَّنِى الثَّالِثَةَ ، ثُمَّ أَرْسَلَنِى فَقَالَ ( اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِى خَلَقَ * خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ * اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأَكْرَمُ ) » .
“Pertama turunnya wahyu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah melalui mimpi yang benar waktu beliau tidur. Biasanya mimpi itu terlihat jelas oleh beliau, seperti jelasnya cuaca pagi. Semenjak itu hati beliau tertarik untuk mengasingkan diri ke Gua Hira. Di situ beliau beribadah beberapa malam, tidak pulang ke rumah istrinya. Untuk itu beliau membawa perbekalan secukupnya. Setelah perbekalan habis, beliau kembali kepada Khadijah, untuk mengambil lagi perbekalan secukupnya. Kemudian beliau kembali ke Gua Hira, hingga suatu ketika datang kepadanya kebenaran (wahyu), yaitu sewaktu beliau masih berada di Gua Hira. Malaikat datang kepadanya, lalu berkata, ‘Bacalah’ Nabi menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca’. Nabi menceritakan, ‘Maka aku ditarik dan dipeluknya hingga aku kepayahan. Lalu aku dilepaskannya dan disuruh membaca. Malaikat berkata ‘Bacalah’. Aku menjawab ‘Aku tidak bisa membaca.’ Maka aku ditarik dan dipeluknya hingga aku kepayahan. Lalu aku dilepaskannya dan disuruh membaca. ‘Bacalah’. kujawab ‘Aku tidak bisa membaca.’ Maka aku ditarik dan dipeluknya untuk kali ketiga kalinya. Kemudian aku dilepaskan seraya ia berkata, ‘Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menjadikan. Yang menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Demi Tuhanmu yang Maha Mulia.’”
فَرَجَعَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَرْجُفُ فُؤَادُهُ ، فَدَخَلَ عَلَى خَدِيجَةَ بِنْتِ خُوَيْلِدٍ رضى الله عنها فَقَالَ « زَمِّلُونِى زَمِّلُونِى » . فَزَمَّلُوهُ حَتَّى ذَهَبَ عَنْهُ الرَّوْعُ ، فَقَالَ لِخَدِيجَةَ وَأَخْبَرَهَا الْخَبَرَ « لَقَدْ خَشِيتُ عَلَى نَفْسِى » . فَقَالَتْ خَدِيجَةُ كَلاَّ وَاللَّهِ مَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا ، إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ ، وَتَحْمِلُ الْكَلَّ ، وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ ، وَتَقْرِى الضَّيْفَ ، وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ .
“Setelah itu Nabi pulang ke rumah Khadijah binti Khuwailid, lalu berkata, ‘Selimuti aku, selimuti aku!’ Khadijah menyelimutinya hingga hilang rasa takutnya. Kata Nabi kepada Khadijah binti Khuwailid (setelah mennceritakan semua kejadian yang dialami Nabi), ‘Sesungguhnya aku cemas atas diriku.’ Khadijah menjawab, ‘Jangan takut, demi Allah, Tuhan tidak akan membinasakan engkau. Engkau selalu menyambung tali persaudaraan, membantu orang yang sengsara, mengusahakan barang keperluan yang belum ada, memuliakan tamu, menolong orang yang kesusahan karena menegakkan kebenaran.’
فَانْطَلَقَتْ بِهِ خَدِيجَةُ حَتَّى أَتَتْ بِهِ وَرَقَةَ بْنَ نَوْفَلِ بْنِ أَسَدِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى ابْنَ عَمِّ خَدِيجَةَ – وَكَانَ امْرَأً تَنَصَّرَ فِى الْجَاهِلِيَّةِ ، وَكَانَ يَكْتُبُ الْكِتَابَ الْعِبْرَانِىَّ ، فَيَكْتُبُ مِنَ الإِنْجِيلِ بِالْعِبْرَانِيَّةِ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكْتُبَ ، وَكَانَ شَيْخًا كَبِيرًا قَدْ عَمِىَ – فَقَالَتْ لَهُ خَدِيجَةُ يَا ابْنَ عَمِّ اسْمَعْ مِنَ ابْنِ أَخِيكَ . فَقَالَ لَهُ وَرَقَةُ يَا ابْنَ أَخِى مَاذَا تَرَى فَأَخْبَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – خَبَرَ مَا رَأَى . فَقَالَ لَهُ وَرَقَةُ هَذَا النَّامُوسُ الَّذِى نَزَّلَ اللَّهُ عَلَى مُوسَى – صلى الله عليه وسلم – يَا لَيْتَنِى فِيهَا جَذَعًا ، لَيْتَنِى أَكُونُ حَيًّا إِذْ يُخْرِجُكَ قَوْمُكَ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَوَمُخْرِجِىَّ هُمْ » . قَالَ نَعَمْ ، لَمْ يَأْتِ رَجُلٌ قَطُّ بِمِثْلِ مَا جِئْتَ بِهِ إِلاَّ عُودِىَ ، وَإِنْ يُدْرِكْنِى يَوْمُكَ أَنْصُرْكَ نَصْرًا مُؤَزَّرًا . ثُمَّ لَمْ يَنْشَبْ وَرَقَةُ أَنْ تُوُفِّىَ وَفَتَرَ الْوَحْىُ
“Setelah itu Khadijah pergi bersama Nabi menemui Waraqah bin naufal bin Asad bin Abdul Uzza, yaitu anak paman Khadijah, yang telah memeluk agama Nasrani pada masa jahiliyah. Ia pandai menulis buku dalam bahasa ibrani. Maka disalinnya Kitab Injil dari bahasa Ibrani seberapa yang dikehendaki Allah dapat disalin. Usianya kini telah lanjut dan matanya telah buta.”
“Khadijah berkata kepada Waraqah, ‘Wahai anak pamanku. Dengarkan kabar dari anak saudaramu ini.’ Waraqah bertanya kepada Nabi, ‘Wahai anak saudaraku. Apa yang terjadi atas dirimu?’ Nabi menceritakan kepadanya semua peristiwa yang telah dialaminya. Waraqah berkata, ‘Inilah Namus yang pernah diutus Allah kepada Nabi Musa. Duhai, semoga saya masih hidup ketika kamu diusir oleh kaummu.’ Nabi bertanya, ‘Apakah mereka akan mengusir aku?’ Waraqah menjawab, ‘Ya, betul. Belum ada seorang pun yang diberi wahyu seperti engkau yang tidak dimusuhi orang. Jika aku masih mendapati hari itu niscaya aku akan menolongmu sekuat-kuatnya.’ Tidak berapa lama kemudian Waraqah meninggal dunia dan wahyu pun terputus untuk sementara.” (H.R. Bukhari).
Setelah itu wahyu beberapa saat tidak turun, namun kemudian turunlah wahyu yang kedua, yakni QS. Al-Mudatsir 1-5, sebagaimana disebutkan dalam hadits Bukhari berikut.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ سَمِعْتُ أَبَا سَلَمَةَ قَالَ أَخْبَرَنِي جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ عَنْ فَتْرَةِ الْوَحْيِ فَبَيْنَا أَنَا أَمْشِي سَمِعْتُ صَوْتًا مِنْ السَّمَاءِ فَرَفَعْتُ بَصَرِي قِبَلَ السَّمَاءِ فَإِذَا الْمَلَكُ الَّذِي جَاءَنِي بِحِرَاءٍ قَاعِدٌ عَلَى كُرْسِيٍّ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ فَجَئِثْتُ مِنْهُ حَتَّى هَوَيْتُ إِلَى الْأَرْضِ فَجِئْتُ أَهْلِي فَقُلْتُ زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي فَزَمَّلُونِي فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ قُمْ فَأَنْذِرْ إِلَى قَوْلِهِ فَاهْجُرْ. قَالَ أَبُو سَلَمَةَ وَالرِّجْزَ الْأَوْثَانَ ثُمَّ حَمِيَ الْوَحْيُ وَتَتَابَعَ
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Uqail dan Ibnu Syihab berkata; Aku mendengar Abu Salamah berkata; Telah mengabarkan kepadaku Jabir bin Abdullah bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan tentang awalnya wahyu turun pada beliau. Beliau berkisah: ‘Ketika aku tengah berjalan, tiba-tiba aku mendengar suara yang berasal dari langit, maka aku pun mengangkat pandanganku ke arah langit, ternyata di atas terdapat Malaikat yang sebelumnya mendatangiku di gua Hira’ tengah duduk di atas kursi antara langit dan bumi. Aku merasa ketakutan hingga aku jatuh tersungkur ke tanah. Lalu aku pun segera menemui keluargaku seraya berkata, ‘Selimutilah aku, selimutilah aku.’ Maka keluargaku pun segera menyelimutiku. Akhirnya Allah Ta’ala menurunkan ayat: ‘Yaa ayyuhal muddatstsir qum fa ‘andzir (Wahai orang yang berselimut, bangkitlah, dan berilah peringatan).’” Hingga firman-Nya: “fahjur.” Abu Salamah berkata; Ar Rijz artinya adalah berhala-berhala. Setelah itu, turunlah wahyu secara berturut-turut.”
Surat Al-Mudatsir ini merupakan perintah kepada Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallamuntuk memulai dakwah: mengagungkan Allah, menyucikan jiwa, dan meninggalkan tradisi penyembahan berhala.
Sejak saat itulah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan sembunyi-sembunyi dan memulainya pada rekan-rekan dan teman-teman dekat.
Ibrah
- Seorang muslim hendaknya memiliki perhatian dan kepedulian terhadap problematika yang terjadi di sekitarnya.
- Seorang da’i amat berhajat terhadap manhaj(pedoman) dan taujih (arahan) rabbaniyah. Dengan adanya manhaj dan taujih rabbani itulah dakwah menjadi bertenaga. Zaid Amr bin Nufail dan Waraqah bin Naufal tidak bisa bergerak lebih banyak karena mereka tidak dibimbing langsung oleh wahyu dalam gerak dakwahnya.
- Perbaikan masyarakat harus diawali dengan perbaikan diri dan pengokohan maknawiyah para da’inya. Sebelum diangkat menjadi Nabi, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallamtelah dipersiapkan oleh Allah untuk melakukan penggemblengan diri sendiri terlebih dahulu.
- Wahyu yang pertama diturunkan mengisyaratkan bahwa seorang da’i harus selangkah lebih maju dari objek dakwahnya. Kalimat ’Iqra!’ (bacalah!) mengandung perintah agar seorang da’i memiliki pengetahuan yang luas dengan mengacu pada bimbingan wahyu Allah.
- Wahyu yang kedua menegaskan tentang pentingnya seorang da’i mempersiapkan dirinya. Senantiasa siaga untuk berdakwah, mengagungkan Allah, membersihkan jiwa dan raganya, serta bersabar menghadapi cobaan.
Maraji’:
Fiqhus Sirah, Syaikh Muhammad Al-Ghazaly
Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Jilid I, K.H. Moenawar Chalil
Peristiwa Ramadhan: Muhammad Menerima Wahyu Pertama, www.fimadani.com
Nuurul Yaqin Fi Siirati Sayyidil Mursalin, Syaikh Muhammad Al-Khudhari Beik