Oleh: Hepi Andi Bastoni
Abdullah adalah putra kesayangan Abdul Muththalib. Setelah selamat dari (nadzar) penyembelihan dan Abdul Muththalib menggantinya dengan seratus unta, dia menikahkannya dengan wanita terhormat nasabnya di Makkah. Dialah Aminah binti Wahb binti Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab.
Tidak berapa lama, Abdullah meninggal dunia saat Aminah mengandung janin Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu, Abdullah dimakamkan di Madinah, di sebuah lembah an-Nabighah tak jauh dari paman-pamannya Bani Adiyy bin an-Najjar. Saat itu dia pergi ke Syam lalu menjumpai ajalnya di Madinah saat kepulangannya, meninggalkan benih yang suci.
Pernikahan Abdullah dan Aminah bukanlah awal dari keberadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pernah ditanyakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apa permulaan dari perkaramu ini?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku adalah buah dari doa ayahku Ibrahim, kabar gembira yang dibawa Isa, dan ibuku bermimpi bahwa ada cahaya keluar dari dirinya dan menerangi istana-istana Syam.”[1]
Adapun doa Nabi Ibrahim seperti dikisahkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya, “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah (as-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana,” (QS al-Baqarah: 129).
Ditambah lagi dengan kabar gembira yang disampaikan Nabi Isa, seperti yang ditunjukkan Allah ketika menceritakan tentang Isa, “… dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)….” (QS ash-Shaff: 6).
Didukung juga oleh pernyataan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ibuku bermimpi seakan cahaya keluar darinya yang menerangi istana-istana Syam.” Ibnu Rajab mengatakan, “Keluarnya cahaya ini saat menyusuinya adalah isyarat akan cahaya yang dibawanya sebagai petunjuk bagi seluruh penduduk bumi, dengan cahaya itu lenyaplah kegelapan syirik, seperti firman Allah SWT, “……sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap-gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seijin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (QS al-Maidah: 15-16).
Ibnu Katsir berkata, “Penyebutan Syam secara khusus dengan kemunculan cahayanya adalah isyarat akan kestabilan agamanya dan keberadaan tetapnya di wilayah Syam, sehingga pada akhirnya Syam menjadi pusat Islam dan kaum muslimin. Di tempat itu pula Nabi Isa akan turun, saat turun di Damaskus di Menara Timur yang putih. Karenanya sebuah hadits dalam dua kitab Shahih Bukhari dan Muslim menyatakan, “Segolongan umatku senantiasa tampak dalam kebenaran, tidak terpengaruh dengan orang-orang yang menghinakan mereka dan orang-orang yang menyalahi mereka, hingga datang keputusan Allah sementara mereka seperti itu.” Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan, “dan mereka berada di Syam.”[2]
Kelahiran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Masa Pertumbuhannya
Senin, 2 Rabiul Awwal, menurut riwayat lainnya 8 Rabiul Awal, ada riwayat lainnya mengatakan; sepuluh, ada lagi dua belas. Tanggal 12 riwayat yang banyak, pada Tahun peristiwa Gajah, lahirlah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kelahiran beliau di tengah-tengah Bani Hasyim, rumah yang selanjutnya disebut Rumah Muhammad bin Yusuf, saudara dari al-Hajjaj bin Yusuf. Rumah itu kini difungsikan sebagai Maktabah Makkah al-Mukarramah yang berdiri kokoh di tengah megahnya bangunan mewah di sekitar Masjidil Haram.
Wanita pertama yang menggendongnya adalah Ummu Aiman Barakah bintu Tsa’labah al-Habasyiyyah, budak milik ayahnya (Abdullah) yang kelak dikenal dengan Ummu Aiman, dan wanita pertama yang menyusuinya adalah Tsuwaibah, budak pamannya Abu Lahab bin Abdul Muththalib.
Ummu Habibah bertanya, “Wahai Rasulullah, nikahilah saudariku putri Abu Sufyan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau menyukainya?” Saya menjawab, “Ya, saya sungguh-sungguh, dan saya ingin orang yang bersamaku dalam kebaikan ini adalah saudariku.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Itu tidak boleh bagiku.”
Saya (Ummu Habibah) berkata, “Dulu kami berbincang-bincang bahwa engkau ingin menikahi putri Abu Salamah?” Beliau berkata, “Putri Abu Salamah?” Saya menjawab, “Ya.” Beliau berkata, “Kalau pun ia bukan anak tiriku dalam perawatanku maka ia pun tidak halal bagiku, sebab ia adalah putri dari saudaraku sesusuan. Aku dan Abu Salamah menyusu kepada Tsuwaibah, maka janganlah kalian tawarkan kepadaku anak-anak dan saudari-saudari kalian.” (HR Bukhari dan Muslim). Ini sebagai dalil bahwa Nabi saw pernah menyusu kepada Tsuwaibah.
Urwah juga mengatakan, Tsuwaibah sebelumnya adalah budak Abu Lahab, lalu Abu Lahab memerdekakannya dan kemudian menyusui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Abu Lahab mati salah satu keluarganya bermimpi melihatnya dalam keadaan yang mengenaskan, lalu ditanyakan kepadanya, “Apa yang engkau temui?” Abu Lahab menjawab, “Sesudah kalian, saya tidak bertemu kesenangan. Hanya saya telah memberi minum ‘orang ini’ dengan Tsuwaibah, budak yang telah saya merdekakan.”
Setelah itu beliau disusui oleh Halimah dari Bani Sa’d bin Bakar. Dalilnya, usai Fathu Makkah, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Ji’ranah, Halimah as-Sa’diyyah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dikisahkan oleh Imam Bukhari dalam al-Adabul-Mufrad’ (1290), Abu Dawud dalam as-Sunan (5240), Abu Ya’la (900), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (2249), al-Hakim dalam al-Mustadrak (3/618) dari hadits Abu Thufail Amir bin Watsilah; bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Ji’ranah sedang membagi-bagikan daging. Abu Thufail menuturkan, saat itu saya adalah seorang anak kecil yang membawa beberapa daging unta, lalu datanglah seorang wanita Badui. Ketika ia mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau membentangkan surbannya, lalu wanita itu duduk di atasnya. Lalu saya bertanya, “Siapakah dia?” Para shahabat berkata, “Ibunya yang dahulu menyusuinya.”
Merupakan kebiasaan Bangsa Arab untuk mencari wanita-wanita yang bersedia menyusui anak-anak mereka agar lebih memungkinkan bagi perkembangan anak. Mereka berkata, “Anak yang terpelihara di kota cenderung dangkal pikirannya, lemah tekadnya.” Datanglah para wanita dari Bani Saad bin Bakar yang mencari bayi-bayi untuk mereka susui. Ternyata bayi terpuji itu menjadi bagian Halimah as-Sa’diyyah.
Ketika berada di perkempungan Bani Saad, Nabi Muhammad kecil membawa keberkahan tersendiri. Umumnya, masa menyusui berlangsung selama dua tahun. Namun merasa keberkahan itu, Halimah minta perpanjangan hingga empat tahun.
Catatan Kaki:
[1] HR Ahmad dan al-Hakim. Dia mengatakan, “Hadits ini shahih isnadnya meskipun tidak dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
[2] Tafsir al-Qur’an al-Azhim Jilid 1 hal. 184. Cet. Al-Halbi. Sedangkan hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Bab berpegang teguh pada al-Kitab dan Sunnah, dan Imam Muslim dalam bab pemerintahan