Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
Peristiwa-peristiwa besar selalu menghadirkan komentar dari Allah SWT. Misalnya, usai Perang Badar, Allah menurunkan firman-Nya yang tertuang dalam surah al-Anfal. Setelah Perang Uhud, Allah menurunkan firman-Nya dalam surah Ali Imran ayat 121 sampai dengan179. Usai Perang Khandaq, di antara firman Allah yang turun adalah surah al-Ahzab ayat 9 sampai dengan 27. Setelah Perjanjian Hudaibiyah, ketika Nabi saw dan para sahabatnya menuju Madinah, Allah menurunkan firman-Nya yang tertuang dalam surat al-Fath.
Surat al-Anfal berbicara seputar harta rampasan perang yang sebelumnya memang sempat menjadi polemik di kalangan para sahabat usai Perang Badar. Surat Ali Imran ayat 121 sampai dengan 179 lebih banyak bertutur tentang motivasi Allah terhadap kaum Muslimin yang kalah dalam Perang Uhud. Surah al-Ahzab berbicara detil seputar Perang Khandaq.
Nah, surah al-Fath bertutur seputar berbagai kemenangan yang akan diraih umat Islam dalam waktu dekat. Ya, kemenangan. Meski menurut para sahabat Nabi saw kala itu, konten Perjanjian Hudaibiyah tidak berpihak pada umat Islam, tapi Allah menyebutnya dengan kemenangan. Dan, itulah faktanya.
Perjanjian Hudaibiyah seperti gerbang bagi rangkaian keberhasilan umat Islam kala itu. Peristiwa tersebut seperti mukaddimah bagi kemenangan selanjutnya. Dimulai dari kemenangan umat Islam pada Perang Khaibar, dilanjutkan dengan terwujudnya Umratul Qadha’ yang menyertakan sekitar 2000 orang, dan puncaknya terbebasnya kota Makkah dalam peristiwa yang dikenal dengan Fathu Makkah sehingga 2000 orang masuk Islam dalam waktu yang sangat singkat.
Jika dilihat dari perspektif yang lebih luas, kemenangan umat Islam setelah Perjanjian Hudaibiyah, akan makin benderang. Meski awalnya isi perjanjian sepertinya tidak berpihak pada umat Islam, tapi ternyata seluruhnya menguntungkan mereka. Secara umum, ada empat poin isi Perjanjian Hudaibiyah.
Pertama, gencatan senjata selama 10 tahun. Kedua, umat Islam menunda umrah hingga tahun depan. Ketiga, siapa pun berhak bersekutu dengan kaum Quraisy atau kaum Muslimin. Keempat, jika ada dari pihak Quraisy yang datang kepada Muhammad tanpa izin walinya, ia harus dikembalikan. Jika ada pihak Muhammad yang datang ke pihak Quraisy, ia tidak dikembalikan.
Poin pertama telah membuka peluang bagi umat Islam untuk melebarkan sayap dakwah tanpa ada kekhawatiran akan dihalangi oleh musuh utama mereka, kafir Quraisy. Pada saat yang sama, umat Islam juga bisa menaklukkan pihak-pihak lain yang selama ini menghalangi dakwah. Bangsa Yahudi, misalnya. Meskipun belakangan kafir Quraisy mengkhianati perjanjian, tapi gencatan senjata itu amat bermanfaat bagi kemenangan umat Islam dan penyebaran dakwah.
Poin kedua sekilas sepertinya merugikan kaum Muslimin. Mereka telah bersiap untuk melaksanakan umrah, tapi justru harus kembali dan ditunda tahun depan. Namun jika kita perhatikan, penundaan ini justru sangat menguntungkan bagi kaum Muslimin. Dengan penundaan ini, mereka bisa melakukan persiapan lebih matang. Buktinya, pada tahun berikutnya mereka benar-benar melakukannya dengan jumlah peserta jauh lebih banyak. Umrah pun dilaksanakan dengan sangat tenang, khusyu, sempurna dan tanpa ada kekhawatiran mereka akan diserang.
Poin ketiga juga amat berguna bagi kaum Muslimin. Dengan adanya kesepakatan bahwa siapa pun berhak bergabung dengan pihak Muhammad saw atau kafir Quraisy, maka peluang umat Islam untuk berdakwah terbuka lebar. Kesempatan ini dimanfaatkan sebaik mungkin oleh Nabi saw. Beliau segera mengirimkan surat dakwah kepada para raja, termasuk ke Raja Persia dan Romawi yang merupakan negara adidaya kala itu. Hal ini membuahkan hasil, hampir semua para raja itu menerima seruan Nabi saw dan mendukung beliau. Ibarat sebuah kekuatan yang baru tumbuh, dengan adanya Perjanjian Hudaibiyah ini, maka Nabi saw bisa dengan leluasa meminta dukungan dari berbagai kalangan, termasuk para raja dan pimpinan wilayah kala itu.
Sepertinya, pihak Quraisy telah memberikan tiga celah ini kepada kaum Muslimin dan berusaha mendapatkan poin keempat dari perjanjian. Namun poin keempat ini pun tak banyak memberikan arti. Poin ini tak begitu membahayakan umat Islam. Sudah maklum, selama seseorang itu memiliki keimanan yang baik, ia tak mungkin melarikan diri ke pihak Quraisy kecuali orang tersebut murtad. Kalaupun ia murtad, sungguh Islam tak membutuhkannya lagi dan silakan kafir Quraisy yang memeliharanya.
Sebaliknya, jika ada di antara kafir Quraisy yang datang ke Madinah bukan atas kemauannya sendiri dan tidak mau masuk Islam, maka memang lebih baik ia dikembalikan ke Makkah. Ia hanya akan menjadi beban bagi umat Islam. Seandainya ada di antara mereka yang masuk Islam dan tapi harus dikembalikan ke Makkah berdasarkan perjanjian, maka masih banyak tempat lain yang bisa jadi tempat tinggal mereka. Apa yang dilakukan oleh Abu Bashir dan kawan-kawan yang tidak mau dikembalikan ke Makkah, justru menjadi bumerang bagi kafir Quraisy sendiri. Sebaliknya, apa yang dilakukan Abu Bashir, tidak membebani kaum Muslimin. Sebab, Nabi saw sudah menjalankan segalanya secara legal dan sesuai perjanjian.
Tersisa satu permasalahan yang dianggap melemahkan derajat kaum Muslimin. Yakni, tentang dihapusnya kata bismillahirrahmanirrahim dan kata Rasulullah dari draft perjanjian. Oleh sebagian para sahabat kala itu, tindakan ini sangat melecehkan kaum Muslimin. Bahkan, Ali bin Abi Thalib yang bertugas mencatat perjanjian waktu itu, tak mau menghapus kata Rasulullah hingga Nabi saw sendiri yang menghapus dengan tangannya.
Di sini kita mendapatkan pelajaran menarik tentang bagaimana membedakan hal yang sifatnya prinsip dan tidak. Saat itu, Nabi saw menganggap, basmallah dan tulisan Rasulullah hanyalah sebuah simbol. Memang dalam kondisi tertentu, simbol ini penting karena menjadi bentuk identitas. Namun dalam keadaan tertentu juga, ia hanya bersifat pelengkap, bukan yang utama. Yang utama adalah isi perjanjian. Masalah kata basmalah dan kata Rasulullah, ditulis atau tidak, sama saja. Ia tidak akan hilang dari umat Islam. Bahkan, untuk menegaskan hal ini, di penghujung surah al-Fath, Allah menyebutkan dengan tegas: Muhammadur Rasulullah yang sebelumnya diingkari oleh Suhail bin Amr, penandatangan perjanjian dari pihak Quraisy.
Hikmah paling besar dari Perjanjian Hudaibiyah adalah ketika Makkah menyerahkan jantungnya. Empat jawara Quraisy kala itu, langsung masuk Islam dan memperkuat barisan kaum Muslimin. Dengan masuk Islamnya Khalid bin Walid dan kawan-kawan, umat Islam semakin mudah merangkai kemenangan.
Barisan Kuat pada Perjanjian Hudaibiyah
Jika Perang Lihyan merupakan perintis yang mengawali era baru dalam sejarah dakwah Rasulullah saw, maka Perjanjian Hudaibiyah adalah pelaksanaan nyata dari sabda beliau usai Perang Khandaq yang berbunyi, “Sekarang kita serang mereka. Jangan mereka menyerang kita.”
Hanya saja, perang kali ini sama sekali bukanlah serbuan militer, melainkan serbuan damai, dengan tujuan berumrah ke Baitul al-Haram. Walaupun demikian, Rasulullah saw tidak pernah melupakan target-target yang hendak dicapai dari umrah ini, di samping tidak melupakan pula kemungkinan akan menghadapi perlawanan bersenjata. Gerakan politik pada haluan kali ini menghapuskan langkah damai ini Nabi saw.
Rasulullah saw mengerahkan kabilah-kabilah Arab dan orang-orang Badui sekitar Madinah untuk ikut berangkat bersama beliau untuk merealisasikan mimpi beliau. Meskipun demikian, ada kekhawatiran di hati mereka terhadap apa yang akan dilakukan orang-orang Quraisy, kalau-kalau mereka menghadang dan memerangi beliau atau menghalanginya datang ke Baitullah. Karenanya, sebagaian besar orang-orang Badui itu tidak mengikuti perjalanan beliau kali ini.
Rasulullah saw tetap berangkat bersama beberapa orang Muhajirin dan Anshar, ditambah beberapa orang yang kemudian menyusul dari kabilah-kabilah Arab, dan dibawanya pula binatang-binatang hadyu. Beliau pun lalu melakukan ihram umrah agar semua orang merasa aman bahwa beliau tidak hendak berperang, juga agar mereka tahu bahwa keberangkatan beliau kali ini tak lain hanyalah hendak berziarah dan mengagungkan Baitullah.
Perjalanan Nabi saw dan pasukannya yang berjumlah sekitar 1400 orang ini, menunjukkan sebuah kekuatan besar yang akan lahir menguasai Jazirah Arab. Kekuatan ini bukan kekuatan fisik dan senjata tapi kekuatan internal yang kokoh. Kekuatan ini tampak sejak Nabi saw menceritakan mimpinya, hingga mereka kembali ke Madinah.
Menyambut Seruan Sang Nabi
Sambutan kaum Muhajirin dan Anshar, begitu mendengar seruan untuk berangkat ke Makkah, merupakan bukti nyata betapa kepatuhan mereka kepada sang panglima, soliditas dan disiplin mereka begitu kuat. Sebab, keberangkatan mereka kali ini dilakukan hanya berselang kurang dari setahun sejak Perang Ahzab. Yang berangkat kali ini pun tidak seberapa banyak jumlahnya, hanya sekitar 1.500 orang. Padahal, mereka tahu waktu itu kelompok-kelompok Arab yang telah mengepung dan menyerang mereka dalam Perang Ahzab berkekuatan 10.000 tentara. Bagaimana mungkin rombongan yang hanya beberapa ratus orang ini bergerak menuju jantung kota Makkah, menembus pasukan besar yang dulu pernah mengepung mereka. Ini keberanian luar biasa!
Tidak diragukan lagi, dorongan iman yang kuatlah yang telah menyebabkan kaum Muslimin segera memenuhi seruan Rasulullah saw tersebut. Waktu itu, beliau memang menceritakan kepada tentara mimpinya bahwa beliau masuk dalam Ka’bah, mencukur kepalanya, dan mengambil kunci bangunan mulia itu, lalu berwukuf di Arafah bersama orang banyak.
Sungguh, itu benar-benar suatu keberanian yang tiada tara, di mana kaum muslimin yang hanya berjumlah 1.500 orang berani mendatangi Makkah, yang penduduknya belum lagi usai menyatakan perang terhadap mereka.
Pantang Mundur Walaupun Selangkah
Perang urat saraf yang pertama dialami kaum Muslimin saat tiba di Usfan, yaitu ketika mereka bertemu dengan Bisyr bin Sufyan. Laki-laki ini berkata, “Ya Rasulullah, orang-orang Quraisy telah mendengar keberangkatan Anda. Mereka keluar bersama anak istri. Mereka mengenakan kulit-kulit macan dan singgah di Dzuthuwa. Mereka bersumpah kepada Allah, Anda tidak akan diperbolehkan memasuki Makkah selama-lamanya. Ada Khalid bin Walid. Dia tengah memimpin pasukan berkuda dan mendahului mereka sampai di Qura’al-Ghamim.”
Berita itu dijawab Rasulullah saw dengan ungkapan, “Benar-benar celaka orang-orang Quraisy itu. Mereka telah habis dimakan peperangan bangsa Arab lainnya. Kalau mereka berhasil mencelakai aku, memang itulah yang mereka inginkan. Namun, kalau Allah memberi kemenangan kepadaku atas mereka, orang-orang Quraisy itu bisa masuk Islam, orang-orang Arab memiliki kekuatan. Jadi, apa yang disangka oleh orang-orang Quraisy itu? Demi Allah, aku akan tetap berjuang menegakkan apa yang oleh karenanya Allah membangkitkan aku, sampai Allah mememangkannya atau terputus leherku ini.”
Ketika sekelompok balatentara Islam mendengar penuturan tersebut, yakni tentang bergeraknya kaum Quraisy membawa orang-orang tua, muda, perempuan dan anak-anak untuk menghadang Nabi Muhammad saw, mereka tentu kaget. Ada rasa khawatir dan kegalauan meliputi hati mereka, dan terjadilah silang pendapat. Namun, balatentara Nabi saw yang konsisten terhadap kepemimpinan beliau berhasil melewati tahap kebimbangan ini.
Adapun orang-orang yang lemah iman, kalah, dan terimpit oleh kebimbangannya walaupun mereka berada di antara balatentara kaum muslimin, mereka lebih takut untuk menampakkan kekerdilan hatinya dengan meninggalkan medan perang atau menyerah. Dengan demikian, tak ada satu kekuatan pun yang bisa menandingi ketangguhan hati kaum Muslimin.
Namun demikian, Nabi saw tetap berusaha menghindari peperangan. Sebab, tujuan kedatangan mereka ke Makkah memang bukan untuk perang. Mereka ingin umrah. Target beliau bukan untuk mengalahkan musuh dalam medan peperangan tapi menaklukkan mereka supaya memeluk Islam. Nabi saw mengetahui di kalangan Quraisy yang saat itu menjadi musuhnya, terdapat para tokoh yang kalau mereka memeluk Islam, akan sangat bermanfaat bagi dakwah.
Namun di sisi lain, beliau tak ingin membuat para sahabatnya lemah dan merasa takut berperang. Karena itu, mereka perlu mendengar kata-kata pemberi semangat dan kekuatan yang mudah mereka pahami. Lalu, tercetuslah dari mulut beliau, “Demi Allah, aku akan tetap berjuang menegakkan apa yang oleh karenanya Allah membangkitkan aku, sampai Allah memenagkannya atau terputus leherku ini.”
Sungguh, tepat sekali kata-kata ini, yang berarti beliau tidak menghendaki perang demi perang itu sendiri, tapi semata-mata demi memenangkan dan menegakkan agama ini. Kata-kata itu cukup mudah untuk dipahami oleh pihak musuh, andaikan mereka mau berpikir. Walaupun demikian, bukan berarti kaum muslimin mengalami kelemahan ataupun berkurang semangat juangnya. Ternyata, semangat kaum muslimin tetap berkobar-kobar setelah mendengar pernyataan Nabi saw tersebut tentang kesiapannya untuk menghadapi pertempuran, tanpa ada seorang prajurit pun waktu itu yang menyatakan keberatan, meskipun mulanya rombongan itu hanya bertujuan melakukan umrah, bukan hendak berperang.
Baca pula: Perjanjian Hudaibiyah; Melawan Kekuatan dengan Kekuatan