Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
Sebelum akhirnya kafir Quraisy mengutus Suhail bin Amr untuk menandatangani Perundingan Hudaibiyah, mereka juga telah mengirimkan beberapa ahli diplomasi. Dari serangkaian diplomasi itu, bisa kita lihat barisan kaum Muslimin dengan kepemimpinan Rasulullah saw, yang begitu kompak. Di antara tokoh yang diutus oleh kafir Quraisy itu adalah:
Pertama, Budail bin Warqa’ al-Khuzai. Dialah yang paling dekat dengan Nabi Muhammad saw. Selama ini terjalin hubungan antara beliau dengan Bani Khuza’ah, suku Budail. Karena itu, kaum Quraisy menganggap Budail akan mampu mengurungkan niat Nabi saw untuk memasuki Makkah.
Kepada Budail, Rasulullah saw memberitahukan tidak bermaksud perang, tapi kedatangannya hanya ingin berziarah, “Sesungguhnya, kedatangan Muhammad bukan untuk berperang, melainkan hanya ingin berziarah ke Baitullah ini.”
Namun, kaum Quraisy tetap menolak, “Sekalipun kedatangannya tidak untuk berperang, demi Allah, dia sekali-kali tidak boleh memasuki Makkah dengan paksa. Jangan sampai semua ini terjadi dan menjadi pembicaraan seluruh bangsa Arab mengenai kami.”
Kedua, Mikraz bin Hafh, yang tabiatnya dinyatakan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya, “Orang ini pengkhianat.” Kepada Mikraz ini pun, beliau menyampaikan maksudnya seperti yang telah disampaikan kepada Budail. Sampai batas ini, keadaan masih biasa, tidak timbul gejolak. Semuanya tetap tersimpan dalam hati balatentara Islam, meski mereka bersemangat kuat.
Ketiga, Hulais bin Alqamah. Dengan pengiriman delegasi yang ketiga kalinya ini, kaum Quraisy bermaksud agar Muhammad tahu bahwa mereka tidak sendirian dalam memeranginya, tapi didukung kabilah-kabilah di sekitar Makkah. Untuk tujuan ini, dikirimkanlah Hulais bin Alqamah, pemimpin kabilah-kabilah yang tinggal di pegunungan sekitar Makkah. Kiranya hal ini pun tidak luput dari pengamatan Rasulullah saw. Karenanya, beliau bersabda kepada kaum Muslimin, “Laki-laki dari suatu kaum yang masih memperdulikan soal-soal ketuhanan. Karena itu, giringlah ke depan wajahnya binatang-binatang hadyu supaya dia tahu.”
Benar, begitu melihat iring-iringan binatang hadyu, Hulais langsung berbalik lagi kepada kaum Quraisy sebelum sampai kepada Rasulullah saw. Karena dia menghargai apa yang dia saksikan dengan mata kepalanya. Semua itu dia ceritakan kepada kaum Quraisy, tapi mereka malah mencelanya, “Duduk sajalah kamu. Kamu ini hanyalah orang kampung yang tidak tahu apa-apa.”[1]
Dihina seperti itu, Hulais marah seraya berkata, “Hai semua orang Quraisy, demi Allah, bukan untuk kali ini kami berteman dengan kalian dan bukan untuk ini kami mengikat janji dengan kalian. Karena itu, biarkan Muhammad menunaikan tujuannya atau aku benar-benar akan mengerahkan seluruh kabilah di gunung-gunung dengan serempak!”
“Jangan!” cegah kaum Quraisy, “Tahan dulu niatmu itu terhadap kami, hai Hulais, sampai kami mengambil keputusan yang melegakan hati.”
Keempat, Urwah bin Mas’ud. Pengiriman delegasi yang keempat ini oleh Quraisy dimaksudkan sebagai serangan psikologis terhadap Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. Yakni, agar beliau tahu bahwa kaum Tsaqif telah bersekutu dengan kaum Quraisy untuk melawan beliau. Karenanya, dikirimlah oleh mereka tokoh paling cerdik yang mereka miliki, untuk mengendurkan semangat sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw. Dalam bayangan kaum Quraisy, begitu mereka melihat penampilan Urwah bin Mas’ud, pemimpin kaum Tsaqif itu, sebagai delegasi Quraisy dalam perundingan kali ini, maka akan menggoyangkan pertahanan kaum Muslim, berapapun kokohnya. Apalagi kalau dia menggunakan kelicikan dan kecerdikannya. Namun, marilah kita lihat jalannya perang siasat, siapa pemenangnya.
Berangkatlah Urwah bin Mas’ud untuk menemui Rasulullah saw. Setelah duduk di hadapan beliau, dia berkata, “Hai Muhammad, engkau menghimpun bermacam jenis manusia, lalu engkau bawa untuk menghancurkan keluarga dan sukumu sendiri. Sesungguhnya, kaum Quraisy benar-benar telah keluar membawa anak-istri mereka dengan mengenakan kulit macan. Mereka bersumpah kepada Allah agar kalian jangan sekali-kali memasuki Makkah dengan paksa. Demi Allah, sesungguhnya aku seolah-olah merasakan bahwa orang-orang yang engkau bawa ini akan bubar meninggalkan dirimu kelak.”
Saat itu Abu Bakar ash-Shiddiq duduk di belakang Rasulullah saw. Tiba-tiba dia berkata, “Kecup olehmu kemaluan Latta! Apa maksudnya kami akan bubar meninggalkan beliau?”
Mendengar umpatan seperti itu, Urwah bertanya, “Siapa ini, ya Muhammad?”
“Ini putra Abu Quhafah,” jawab Rasulullah memperkenalkan Abu Bakar.
Kemudian disambut oleh Urwah, “Sungguh, demi Allah, andaikan kamu tak pernah berbudi baik kepadaku, pasti aku balas perkataan itu. Tapi, biarlah perkataan itu kubalas dengan ini.” Demikian kata Urwah sambil memegang janggut Rasulullah saw dan tetap mengajaknya berbicara.
Mughirah bin Syu’bah langsung berdiri dengan menggenggam sebilah pedang. Ketika melihat Urwah memegang Rasulullah saw, Mughirah segera memukul tangan Urwah dengan pangkal pedang yang digenggamnya seraya mengatakan, “Singkirkan tanganmu dari wajah Rasulullah sebelum tanganmu putus dan tidak bersambung lagi!”
Melihat kejadian itu, Urwah berkata, “Celaka kamu. Alangkah kasar dan kerasnya kamu ini!”
Rasulullah saw sendiri hanya tersenyum.
“Siapa ini, ya Muhammad?” tanya Urwah.
“Ini sepupumu, Mughirah bin Syu’bah,” jawab Rasul memperkenalkan.
“Hai pengkhianat!” kata Urwah kepada Mughirah, “Bukankah baru kemarin aku membersihkan perbuatanmu yang memalukan?”
Maksudnya, sebelum masuk Islam, Mughirah pernah membunuh 13 orang Bani Malik, salah satu kabilah Tsaqif, suku Urwah. Akibatnya, berseterulah antara dua perkampungan Tsaqif gara-gara perbuatan Mughirah. Bani Malik sebagai pihak korban dan yang lain ada di pihak Mughirah. Dalam perseteruan itu, Urwah berbaik hati dengan membayara diyat (denda) untuk ketiga belas korban yang dibunuh Mughirah.
Sejurus kemudian, Urwah bangkit meninggalkan Rasulullah saw lalu menyaksikan sendiri apa yang diperbuat para sahabat Rasul saat beliau berwudhu. Tak setetes pun bekas wudhu beliau kecuali menjadi rebutan para sahabatnya. Tak secercah pun ludah yang beliau keluarkan kecuali menjadi rebutan mereka, dan tidak ada seutas pun rambut yang gugur dari kepada beliau kecuali mereka ambil.
Urwah kembali kepada kaum Quraisy, lalu melapor, “Hai sekalian kaum Quraisy, sesungguhnya aku sudah pernah bertemu dengan Kisra di kerajaan, Kaisar di kerajaan, dan Najasyi di kerajaannya. Tetapi sungguh, demi Allah, aku sama sekali tidak pernah melihat seorang raja di tengah kaumnya yang mendapat perlakuan, seperti perlakuan yang diberikan Muhammad di tengah sahabat-sahabatnya. Benar-benar aku baru melihat suatu kaum yang tak mungkin menyerahkan Muhammad kepada musuh dengan alasan apa pun. Maka, pikirkanlah dengan baik.”
Sepulangnya Urwah bin Mas’ud, dia malah berkampanye untuk kepentingan Nabi Muhammad saw tanpa sadar, bukan memberi semangat kepada orang-orang Quraisy untuk memeranginya. Baik kaum Quraisy maupun Urwah telah kalah menghadapi ketangguhan mental kepatuhan, soliditas, dan disiplin kaum Muslimin, sehingga membuat Urwah tertegun dan jatuh mental.
Di sini, kaum Muslimin memang tampak bersemangat dalam menunjukan kepatuhan mereka kepada sang pemimpin di hadapan musuh yang licik ini, suatu hal yang tidak pernah mereka lakukan sebelumnya. Balatentara yang memiliki karakter dan kejiwaan seperti ini, pasti ditakuti oleh kekuatan mana pun di muka bumi, bukan hanya kaum Quraisy, atau kaum Quraisy ditambah dengan kaum Tsaqif dan kabilah-kabilah lainnya sekalipun.
Bahkan, seorang yang dikenal tenang, penyabar, dan penyantun semacam Abu Bakar, ketika menghadapi musuh Allah ternyata bisa berubah bagai seekor singa yang siap menerkam. Dengan enaknya ia bicara dengan tutur kata yang sangat menyinggung perasaan Urwah, pemimpin Tsaqif, dan membuat otaknya buntu ketika hendak meneror mental kaum Muslimin dengan menakut-takuti betapa hebatnya kaum Quraisy.
Begitulah, manusia seperti Urwah harus digertak dengan kata-kata yang membuatnya ciut. Karenanya, keluarlah kata-kata Abu Bakar yang selama ini tak pernah terdengar darinya, yang membuat Urwah menjadi kerdil dan tak berkutik.
Bahkan, lebih dahsyat lagi dari itu adalah jawaban kedua, yang diberikan Mughirah bin Syu’bah. Benar, kalau orang-orang Quraisy menampilkan Urwah dari Bani Tsaqif, kaum Muslimin pun memiliki tokoh yang sama-sama dari Tsaqif, dialah Mughirah. Dialah pedang Nabi Muhammad saw. Besi harus dilawan dengan besi juga.
Begitulah, siasat Nabi saw, yang tak bisa ditandingi oleh kelicikan siasat manapun. Hal itu terletak pada penggunaan kelembutan pada tempatnya dan kekerasan pada tempatnya. Masing-masing diterapkan secara tepat.
Tipu daya kaum Quraisy kali ini ternyata berbalik menohok leher mereka sendiri. Secara psikologis, mereka telah kalah mental saat menghadapi Nabi Muhammad saw, para sahabat, dan balatentaranya. Selanjutnya, mereka mencari jalan keluar setelah mendengar pidato Urwah bin Mas’ud. Jalan untuk menghadapi Muhammad saw, tak mungkin dengan perang. Mereka sudah kalah. Quraisy mulai memikirkan jalan lain kecuali perang. Yakni, perundingan.
Ya, mereka kini tidak lagi berpikir untuk mengancam secara fisik atau berperang. Pihak kaum muslimin yang datang untuk berumrah, dengan kekuatan hanya sekitar 1500 orang, ternyata kini seribu kali lebih kuat daripada pasukan kaum Qurasiy, ditambah kaum Tsaqif dan kabilah-kabilah lainnya di sekitar mereka, meski sebagian sudah ada yang menghunuskan dan mengacungkan senjata.
Semua itu merupakan pelajaran sangat penting bagi gerakan Islam dan pelajaran bagi pemimpin mana pun yang menggeluti masalah perlakuan terhadap musuh. Yakni, menghancurkan dan memperlakukan musuh, sesuai watak dan kejiwaannya. Hal ini pun merupakan pelajaran bagi para komandan agar memahami benar-benar apa arti soliditas dan disiplin, terutama ketika berada di hadapan musuh dan berada di negeri mereka. Semuanya harus merupakan satu tombak, satu tangan, dan satu hati dalam menghadapi musuh. Tak boleh berpecah meskipun sekadar ucapan. Jika ada perbedaan, maka harus diselesaikan di kalangan internal, tidak di hadapan musuh.
Ketika Digertak dengan Senjata
Untuk menghalangi umat Islam menuju Makkah, kafir Quraisy tak hanya mengutus beberapa delegasinya. Mereka juga berusaha menakut-takuti umat Islam dengan pasukan perang. Kali ini tidak tanggung-tanggung. Mereka mengirim pasukan berani mati yang berkekuatan sekitar lima puluh orang, dengan harapan dapat menculik beberapa orang sahabat Muhammad saw untuk dijadikan tawanan atau dibunuh, supaya menciutkan nyali kaum muslimin dan selanjutnya mereka takka berani menyerang. Tapi, apa hasilnya?
Ternyata, seluruh anggota pasukan itu malah tertangkap oleh kaum Muslimin. Muhammad bin Maslamah, komandan pasukan peronda kaum Muslimin, berhasil menundukkan mereka. Berita tentang tertangkapnya pasukan berani mati kaum Quraisy itu akhirnya sampai juga ke Makkah. Langkah selanjutnya, mereka mengirim lagi sekelompok orang untuk melempari kaum Muslimin dengan anak-anak panah dan batu-batu. Lemparan mereka dibalas oleh kaum Muslimin dan berhasil menangkap dua belas orang penunggang kuda dari mereka.
Tindakan spontan kaum Quraisy yang gagal kali ini, merupakan pukulan telak. Sebaliknya, betapa gembira balatentara kaum Muslimin ketika mereka menyaksikan di depan mata kepala mereka lima puluh orang, lalu dua belas orang lagi para penunggang kuda, digiring sebagai tawanan yang tak berkutik.
Kafir Quraisy tidak berhenti. Upaya terakhir mereka dalam unjuk kekuatan dan ancaman senjata ialah dengan mengirimkan pasukan berkuda di bawah pimpinan seorang panglima perang ternama dan tak terkalahkan. Tak tanggung-tanggung, mereka menerjunkan Khalid bin Walid! Dengan pasukan berkudanya, Khalid memang berhasil mendekati kaum Muslimin dan bisa melihat posisi mereka. Dia lalu menyiapkan pasukannya di tengah-tengah kaum Muslimin, langsung dari arah kiblat.
Rasulullah saw menyuruh Abbad bin Bisyar memimpin pasukan berkuda untuk menghadapi Khalid. Namun, sejurus kemudian, datanglah waktu Zhuhur. Bilal pun mengumandangkan suaranya, menyerukan adzan lalu iqamat. Rasulullah saw pun memimpin para sahabatnya melakukan shalat Zhuhur dengan menghadap kiblat, sedangkan para sahabatnya ada di belakang beliau mengikuti gerakan shalat beliau. Ketika beliau ruku’, mereka ikut ruku. Lalu beliau sujud dan mereka pun sujud. Setelah usai, mereka pun segera menempati posisi masing-masing, sesuai dengan tugasnya.
Melihat peristiwa itu, otak cerdik Khalid bekerja. Ia pun berkata kepada pasukannya, “Sungguh mereka tadi melakukan kelalaian. Andaikan kita serang, pasti mereka sudah kalah.”
Dengan kecerdikannya, Khalid melihat peluang untuk mengalahkan kaum Muslimin ketika mereka lalai. Kapan mereka lalai? Saat mereka shalat.
Sayangnya, ide cerdas Khalid ini membentur tembok baja! Sebelum datang waktu shalat berikutnya, turunlah Jibril tepat antara Zhuhur dan Ashar, membawa firman Allah, “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (para sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata mereka, kemudian apabila mereka (yang shalat bersamamu) sujud (telah menyempurnakan satu rekaat, maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang lain yang belum shalat, lalu mereka shalat bersamamu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata mereka…” (QS an-Nisa’ : 102).
Ayat ini menjelaskan tentang tata cara melaksanakan shalat ketika terancam musuh. Dalam pembahasan ilmu fiqih, tata cara ini dikenal dengan Shalat Khauf atau shalat yang dilaksanakan dalam kondisi takut. Ketika waktu Ashar tiba, Muslimin pun segera melakukan shalat dengan tata cara baru, yakni Shalat Khauf.
Khalid bin Walid yang tengah bersiap-siap menyerang umat Islam tersentak kaget. Ia bingung melihat perubahan cara shalat kaum Muslimin. Dalam hati ia berkata, “Tahulah aku bahwa orang ini (Muhammad saw) ada pembelanya.”
Sebagai komandan pasukan berkuda Quraisy ternama, Khalid telah mengalami kekalahan dari dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Tak ada harapan lagi baginya untuk menang meskipun ia dan pasukannya telah menyiapkan strategi canggih untuk menangkap sebagian pasukan umat Islam. Dalam benaknya, ia menggumam, “Siapakah yang memberi tahu Muhammad tentang taktik yang aku rencanakan untuk menyergapnya?”
Khalid benar-benar menyadari dirinya terlalu kecil untuk mencederai Muhammad. Perasaan lemah ini agaknya ikut pula menambah kelemahan sebelumnya, sehingga meruntuhkan mental seluruh kaum Quraisy. Kini, mereka menyadari tak ada gunanya melawan Muhammad dengan senjata. Mereka mulai berpikir untuk menempuh cara lain, melalui perundingan.
Demikianlah dua pandangan yang kontras. Yang satu menggambarkan suasana pasukan kaum muslimin yang kompak, kuat, dan benar-benar tangguh, sedangkan yang lain menggambarkan suasana pasukan kaum Quraisy yang dikacaukan oleh silang pendapat yang tidak berkesudahan dan secara psikologis sudah kalah dari dalam lubuk hati untuk menghadapi lawan yang hanya berkekuatan beberapa ratus orang.
Maka, tak ada jalan lain untuk menghadapi kaum Muslimin kecuali berunding. Dalam hal ini pun akhirnya mereka pun kalah berhadapan berhadapan dengan strategi diplomasi Nabi Muhammad saw. Dari empat poin isi Perjanjian Hudaibiyah, tak satu pun yang menguntungkan pihak kafir Quraisy.[2]
Catatan Kaki:
[1] Munir Muhammad Ghadhban: al-Manhaj al-Haraki, Cetakan ke-15, Darul Wafa’ 2006, halaman 343
[2] Mengenai poin-poin Perjanjian Hudaibiyah, telah dibahas pada risalah sebelumnya.