Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan hubungan sosial orang-orang beriman bagaikan sebuah bangunan yang saling menguatkan.
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
“Orang mukmin terhadap orang mukmin yang lain bagaikan bangunan yang sebagiannya menyangga sebagian yang lain.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam kesempatan lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kasih sayang, dan tenggang rasa sesama mu’min bagaikan satu tubuh, yang jika ada salah satu bagian yang sakit maka sekujur tubuh akan ikut bersimpati dengan merasakan demam dan terjaga.
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan kaum Muslimin dalam cinta, kekompakan, dan kasih sayang bagaikan satu tubuh, jika salah satu anggota tubuhnya mengeluh sakit, maka seluruh anggota tubuh juga ikut terjaga dan demam” (HR Bukhari)
Demikianlah Islam membangun sebuah masyarakat yang diikat dengan aqidah. Berdasar aqidah itulah Islam membentuk pola hubungan kemasyarakatan yang memancarkan nilai-nilai kemanusiaan, kasih sayang, dan tenggang rasa.
Islam telah meletakkan batas pijakan hak dan kewajiban antar individu dalam masyarakat muslim sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ الَّه صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ : حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ : رَدُّ السَّلَامِ، وَعِيَادَةُ الْمَرِيْضَ، وَاتِّبَاعُ الْجنَائِزِ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ، وَتَشْمِيْتُ الْعَاطِسِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَفِي رِوَايَة لِمُسْلِمٍ : حَقُّ الْمُسْلِمِ سِتٌّ : إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّه فَشَمِّتْهُ . وَإِذَا مرِضَ فَعُدْهُ، وَإِذَا مَاتَ فَاتْبِعْهُ .
Dari Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Haknya seorang muslim terhadap orang muslim yang lain ada lima, Yaitu menjawab salam, mengunjungi yang sakit, mengikuti jenazahnya, memenuhi undangannya dan bertasymit kepada yang bersin.” (Muttafaq ‘alaih).
Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan: “Hak seorang Muslim terhadap orang Muslim lainnya itu ada enam perkara, yaitu jikalau engkau bertemu dengannya maka berilah salam kepadanya, jikalau ia mengundangmu maka kabulkanlah undangannya, jikalau ia meminta nasihat kepadamu maka berilah ia nasihat, jikalau ia bersin kemudian mengucapkan Alhamdulillah maka tasymitkanlah ia, jikalau ia sakit tinjaulah ia, dan jikalau ia meninggal dunia maka ikutilah jenazahnya.” (HR. Muslim)
Pertama, mengucapkan salam.
Salam—yang berarti damai—adalah cermin kepribadian orang beriman. Ia mengenali dan memperkenalkan dirinya kepada saudaranya seiman. Perkenalan adalah qadliyah basyariyah (perkara kemanusiaan) sebelum qadliyah imaniyah (perkara keimanan). Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Al-Hujurat, 49:13)
Perbedaan bahasa, suku, dan adat kebiasaan di antara manusia dapat menjadi sumbatan komunikasi. Maka Islam membuka sumbatan itu dengan mengajarkan kalimat pembuka ‘salam’ yang akan menyambungkan komunikasi antara sesama manusia dengan pendekatan ruhiyah. Dengan salam itulah jalinan rasa antara sesama mu’min dapat terbina.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – أَىُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ « تُطْعِمُ الطَّعَامَ ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ ، وَعَلَى مَنْ لَمْ تَعْرِفْ »
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ada seseorang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai islam bagaimana yang baik. Beliau menjawab, “Memberikan makan (pada orang yang membutuhkan), serta mengucapkan salam pada orang yang dikenal dan yang tidak dikenal.” (HR. Bukhari no. 6236).
Salam yang diberikan seorang mukmin kepada saudaranya seiman adalah salam yang datangnya dari Allah Ta’ala. Perhatikanlah firman-Nya berikut ini,
فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتاً فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً
“Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik…” (QS. An-Nur, 24:61)
Dalam semangat salam itulah Islam menyusun barisan umat ini untuk menegakkan sebuah peradaban mulia. Masyarakat yang merekatkan diri pada jalinan nilai yang memadukan hati, bukan hanya kedekatan fisik semata. Rekatan imaniyah dalam bangunan sosial inilah yang akan menjauhkan masyarakat itu dari faktor-faktor yang dapat menimbulkan perpecahan, perselisihan, kelemahan, yang menjadi penyebab kegagalan dan kekalahan. Allah Ta’ala berfirman,
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Anfal, 8:46)
Dengan kesatuan dan kebersamaan umat ini akan dapat dengan mudah merealisasikan tujuan-tujuan mulianya. Oleh karen itu awal pertemuan seorang mukmin dengan sesama mukmin dibuka dengan ucapan salam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan salam ini sebagai salah satu ciri orang beriman, dan sekaligus menjadi kunci masuk surga.
لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا، وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan tidak akan sempurna iman kalian hingga kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kalian pada sesuatu yang jika kalian lakukan kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim no. 54)
Kalimat salam ini menegaskan bahwa agama Islam adalah agama damai dan aman, serta mereka adalah penganut salam (perdamaian) dan pecinta damai.
Salam adalah alat penghormatan internal antara kaum muslimin, termasuk kepada anak-anak yang masih kecil.
عن بن مالك رضي الله عنه «أَنَّهُ مَرَّ عَلَى صِبْيَانٍ فَسَلَّمَ عَلَيهم» وَقَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيه وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ
Bahwasanya Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu saat ia melewati sekumpulan anak- anak, ia mengucapkan salam kepada mereka, dan ia berkata: “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu melakukannya.” (HR.Bukhari,no: 6247)
Sedangkan kepada orang yang tidak seiman tidak diperbolehkan memberi salam,
لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِى طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ
“Janganlah kamu memulai salam kepada orang-orang Yahudi dan juga orang Nasrani. Justru, sekiranya kamu berjumpa dengan mereka di jalan, jangan Anda berikan kepada mereka jalan yang longgar (sementara anda berada pada posisi sempit)” (HR. Ahmad).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan cara memberi salam kepada sesama muslim.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُسَلِّمُ الرَّاكِبُ عَلَى الْمَاشِى ، وَالْمَاشِى عَلَى الْقَاعِدِ ، وَالْقَلِيلُ عَلَى الْكَثِيرِ
“Hendaklah orang yang berkendaraan memberi salam pada orang yang berjalan. Orang yang berjalan memberi salam kepada orang yang duduk. Rombongan yang sedikit memberi salam kepada rombongan yang banyak.” (HR. Bukhari no. 6233 dan Muslim no 2160)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُسَلِّمُ الصَّغِيرُ عَلَى الْكَبِيرِ ، وَالْمَارُّ عَلَى الْقَاعِدِ ، وَالْقَلِيلُ عَلَى الْكَثِيرِ
“Yang muda hendaklah memberi salam pada yang tua. Yang berjalan (lewat) hendaklah memberi salam kepada orang yang duduk. Yang sedikit hendaklah memberi salam pada orang yang lebih banyak.” (HR. Bukhari no. 6231)
Dalam kesempatan lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi kaum muslimin untuk memulai memberi salam,
الْمَاشِيَانِ إِذَا اجْتَمَعَا فَأَيُّهُمَا بَدَأَ بِالسَّلاَمِ فَهُوَ أَفْضَلُ
“Dua orang yang berjalan, jika keduanya bertemu, maka yang lebih dulu memulai mengucapkan salam itulah yang lebih utama.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod dan Al Baihaqi dalam Sunannya.
Dan seseorang tidak layak memulai pembicaraan kepada sesamanya sebelum ia memberi salam kepadanya. Karena salam adalah ungkapan rasa aman dan orang yang belum merasa aman akan sulit diajak berkomunikasi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ بَدَأَ الْكَلاَمُ قَبْلَ السَّلاَمِ فَلاَ تَجِيْبُوْهُ.
“Barang siapa memulai pembicaraan sebelum mengucapkan salam, maka tidak wajib bagi kalian menjawab salamnya”. (HR. Thabrani)
Ada hal lain yang sering dikaitkan dengan salam adalah bersalaman, yang dalam bahasa Arab disebut dengan mushafahah (berjabat tangan). Berjabatan tangan lebih menunjukkan kedekatan, dan kemesraan hubungan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
“Tidaklah dua orang muslim saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah.” (HR Abu Dawud , at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Kedua, memenuhi undangan.
Undangan yang diberikan seorang muslim kepada sesamanya menunjukkan penghormatan dan perhatian yang besar kepada orang yang diundang. Dan kehadiran orang yang diundang menjadi kebahgiaan besar bagi orang yang mengundang.
Islam sangat memperhatikan masalah ini. Ikut berbahagia atas kebahagiaan saudara seiman dan ikut berduka atas musibah yang menimpa saudara seiman menjadi ciri utama hubungan imaniyah, yakni: saling memperhatikan, berbagi suka dan duka dengan sesama.
Dalam pandangan Islam—yang lebih rajih (kuat)—memenuhi undangan seorang muslim hukumnya adalah wajib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ دُعِيَ فَلْيُجِبْ
“Barangsiapa yang diundang, hendaklah ia memenuhinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kewajiban memenuhi undangan itu dengan syarat:
- Undangan tidak membedakan miskin dan kaya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ يُدْعَى إِلَيْهَا اْلأَغْنِيَاءُ دُوْنَ الْفُقَرَاءِ.
“Sejelek-jelek makanan adalah makanan jamuan resepsi, dimana hanya orang kaya saja yang diundang tanpa mengundang orang miskin.” (HR. Bukhari)
- Undangan ditujukan kepada seseorang secara khusus. Maka jika undangan dibuka untuk umum, bagi semua orang yang berminat, maka tidak wajib mengha
- Kehadirannya tidak karena takut atas kezaliman orang yang mengundang, atau karena ingin mendapatkan kedudukan, rekomendasi, dan lain sebagainya.
- Kehadirannya tidak membuat orang yang ada di sana mejadi terganggu.
- Tidak ada kemunkaran dalam undangan itu, seperti khamr, dan lain sebagainya.
- Undangan pada hari pertama. Jika seseorang mengadakan walimah tiga hari maka hari kedua dan ktiga, tidak wajib dihadiri.
Ketika seseorang menerima banyak undangan dalam waktu yang bersamaan, maka ia wajib mendatangi undangan yang paling awal. Dan jika undangannya itu datang bersamaan, maka ia hanya wajib menghadiri undangan orang yang paling dekat hubungan darahnya (rahim), kemudian orang yang lebih dekat jarak rumahnya.
Ketiga, memberi nasehat.
Beriman dan beramal shalih saja tidak cukup menjamin keberhasilan hidup manusia. Ada sisi lain yang sangat berpengaruh bagi keberhasilan hidup seseorang adalah sikap saling memberi nasehat dalam kebenaran dan saling memberi nasehat dalam kesabaran (QS. Al Ashr). Ini artinya orang beriman yang baik adalah orang yang pandai menerima nasehat sebagaimana ia pandai memberi nasehat.
عَنْ أَبِيْ رُقَيَّةَ تَمِيْمِ بْنِ أَوْسٍ الدَّارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ اَلدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، قَالُوْا: لِمَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: ِللهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَِلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ أَوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ، وَعَامَّتِهِمْ.
Dari Abi Ruqayyah, Tamim bin Aus ad-Dâri Radhiyallahu anhu , dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda: “Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat”. Mereka (para sahabat) bertanya, “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Imam kaum Muslimin atau Mukminin, dan bagi kaum Muslimin pada umumnya.” (HR. Muslim)
Nasehat kepada sesama muslim wajib diberikan ketika:
- Orang yang bersangkutan meminta nasehat/masukan, tentang apa yang hendak dikerjakan. Sabda Nabi:
وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ
“Apabila dia meminta nasehat kepadamu maka berilah nasehat kepadanya…” (HR. Muslim)
- Ketika orang yang bersangkutan melakukan kesalahan, maka saudara muslim yang lain wajib memberikan nasehat dengan cara yang bijak. Nasehat yang baik akan mendorong orang lain untuk melakukan kebaikan. Nasehat yang tulus akan berpengaruh dan membekas dalam hati seseorang.
Adab dalam memberikan nsehat kepada saudara muslim adalah:
- Pemberi nasehat tidak merasa lebih baik daripada peminta nasehat.
- Nasehat dilakukan secara tertutup, tidak dengan terbuka di muka umum. Karena perbedaan antara mencemooh dan menasehati adalah ada pada forum terbuka atau tertutup.
- Pemberi nasehat hendaklah berusaha mengamalkan apa yang ia nasehatkan. Sebab nasehat yang tidak diamalkan oleh pemberi nasehat, bagaimana mungkin akan diterima peminta nasehat.
- Nasehat diberikan dengan ikhlas, tidak ada tendensi apapun kecuali karena Allah.
Keempat, mendoakannya ketika bersin.
Bersin adalah sunnatullah untuk membantu manusia mengeluarkan kotoran/penyakit yang ada pada dirinya. Rasululah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,
إذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَلْيَقُلْ لَهُ أَخُوهُ أَوْ صَاحِبُهُ يَرْحَمُك اللَّهُ وَلْيَقُلْ هُوَ يَهْدِيكُمْ اللَّهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ
“Apabila salah seorang kamu bersin, hendaknya ia mengucapkan: الْحَمْدُ لِلَّهِ Al-Hamdulillah. Dan hendaknya saudaranya atau sahabatnya mengucapkan kepadanya: يَرْحَمُك اللَّهُ Yarhamukallah. Maka apabila ia mengucapkan yarhamukallah kepadanya, hendaknya ia mengucapkan: يَهْدِيكُمْ اللَّهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ Yahdikumullah wa Yuslihu Baalakum.” (HR. al-Bukhari no. 5756)
Mendoakan orang yang bersin merupakan wujud perhatian dan kasih sayang sesama muslim. Ketika orang yang bersin membaca “alhamdulilllah” dengan serta merta orang yang mendengarnya mendoakan “yarhamukallah”, sebuah kalimat simpati dan doa atas kondisi saudara yang senantiasa memuji Allah dalam setiap keadaan khususnya saat bersin. Maka mendoakan dengan rahmat Allah layak diberikan kepada saudaranya yang telah memuji Allah. Dan saat mendapatkan doa dari sesamanya, orang yang bersin itupun membalas dengan mendoakannya pula.
Saling mendoakan sesama muslim ini menunjukkan jalinan tali persaudaraan yang erat dan soliditas umat Islam. Di sisi lain, suasana ini menunjukkan bahwa kehidupan muslim adalah kehidupan yang dipenuhi dengan doa dan harapan baik.
Perhatian kepada orang yang bersin tidak hanya dalam ungkapan doa saja, tetapi kesehatan orang yang bersin itupun harus mendapatkan perhatian pula. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيُشَمِّتْهُ جَلِيْسُهُ، وَإِنْ زَادَ عَلَى ثَلاَثٍ فَهُوَ مَزْكُوْمٌ وَلاَ تُشَمِّتْ بَعْدَ ثَلاَثِ مَرَّاتٍ.
“Apabila salah seorang di antara kalian bersin, maka bagi yang duduk di dekatnya (setelah mendengarkan ucapan alhamdulillaah) menjawabnya dengan ucapan yarhamukallah, apabila dia bersin lebih dari tiga kali berarti ia sedang terkena flu dan jangan engkau beri jawaban yarhamukallah setelah tiga kali bersin.” (HR. Abu Dawud no. 5035 dan Ibnu Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 251. Lihat Shahiihul Jami’ no. 684)
Orang yang bersin diajarkan pula untuk merndahkan suaranya, dan menutupi mulutnya. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا عَطَسَ غَطَّى وَجْهَهُ بِيَدِهِ أَوْ بِثَوْبِهِ وَغَضَّ بِهَا صَوْتَهُ.
“Bahwasanya apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersin, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup wajah dengan tangan atau kainnya sambil merendahkan suaranya.” (HR. Ahmad II/439, al-Hakim IV/264, Abu Dawud no. 5029, at-Tirmidzi no. 2746. Lihat Shahih at-Tirmidzi II/355 no. 2205)
Doa “yarhamukallah” hanya ditujukan kepada sesama muslim, sedang kepada orang yang tidak seiman, jika ia bersin dan membaca hamdalah, maka cukup didoakan dengan “ yahdikumullah” (semoga Allah menunjukimu), bukan “yarhamukallah” (semoga Allah menyayangimu).
Abu Musa al-‘Asy’ari Radhiyallahu anhu, ia berkata,
كَانَ الْيَهُوْدُ يَتَعَاطَسُوْنَ عِنْدَ رَسُوْلِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْجُوْنَ أَنْ يَقُوْلَ لَهُمْ يَرْحَمُكُمُ اللهُ، فَيَقُوْلُ: يَهْدِيْكُمُ اللهُ وَيُصْلِحُ باَلَكُمْ.
“Orang-orang Yahudi berpura-pura bersin di ha-dapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka berharap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudi mengatakan kepada mereka yarhamukumullah (semoga Allah memberikan rahmat bagi kalian), namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengucapkan yahdikumullaah wa yushlihu baalakum (semoga Allah memberikan pada kalian petunjuk dan memperbaiki keadaanmu).” (HR. Ahmad IV/400, al-Bukhari dalam al-Adaabul Mufrad II/392 no. 940, Abu Dawud no. 5058, an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 232, at-Tirmidzi no. 2739, al-Hakim IV/268. Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi II/354 no. 2201)
Kelima, menjenguknya ketika sakit.
Orang yang sedang sakit adalah orang yang sedang mengalami ujian. Hari-harinya menjadi panjang. Keterbatasannya dalam melakukan aktifitas menempatkannya dalam kejenuhan. Dan hilangnya selera membuat hidupnya tidak menggairahkan.
Orang yang sedang sakit tidak hanya memerlukan obat-obat material dalam penyembuhannya, lebih dari itu ia sangat membutuhkan obat-obat moril sebagai dukungan untuk meringankan beban penderitaannya.
Kehadiran saudara seiman berkunjung kepada orang yang sedang sakit merupakan obat ma’nawiyah yang sangat berguna. Membuat orang yang sakit tidak lagi dalam keterasingan atau kesendirian. Maka Islam menjadikan kunjungan kepada orang yang sakit ini menjadi salah satu kewajiban berukhuwwah (bersaudara).
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam, Allah Ta’ala berfirman di hari Kiamat:
« يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي . قَالَ : يَارَبِّ ،كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعِزَّةِ ؟ فَيَقُولُ : أَمَاعَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِي فُلانًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ ، وَلَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ ؟
“Hai anak Adam, Aku telah sakit, tetapi engkau tidak menjenguk-Ku.” Orang itu bertanya: “Wahai Tuhan, bagaimana cara saya menjenguk-Mu, sedangkan Engkau Tuhan penguasa alam semesta?” Allah menjawab: “Apakah engkau tidak mengetahui bahwa seorang hamba-Ku bernama Fulan sedang sakit tetapi engkau tidak mau menjenguknya. Sekiranya engkau mau menjenguknya, pasti engkau dapati Aku di sisinya.” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memotovasi umat Islam agar menjenguk orang sakit dengan menempatkannya di antara buah-buahan surga.
إِذَا عَادَ الرَّجُلُ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ مَشَى فِيْ خِرَافَةِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَجْلِسَ فَإِذَا جَلَسَ غَمَرَتْهُ الرَّحْمَةُ، فَإِنْ كَانَ غُدْوَةً صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُمْسِيَ، وَإِنْ كَانَ مَسَاءً صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُصْبِحَ.
“Apabila seseorang menjenguk saudaranya yang muslim (yang sedang sakit), maka (seakan-akan) dia berjalan sambil memetik buah-buahan Surga sehingga dia duduk, apabila sudah duduk maka diturunkan kepadanya rahmat dengan deras. Apabila menjenguknya di pagi hari maka tujuh puluh ribu malaikat mendo’akannya agar mendapat rahmat hingga waktu sore tiba. Apabila menjenguknya di sore hari, maka tujuh puluh ribu malaikat mendo’akannya agar diberi rahmat hingga waktu pagi tiba.” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad dengan sanad shahih)
Dalam membesuk orang sakit, Islam mengajarkan beberapa doa yang dipanjatkan untuk mengharapkan kesembuhan orang yang sakit. Misalnya:
لاَ بَأْسَ طَهُورٌ اِ نْ شَآ ءَ اللّهُ
“Tidak mengapa, semoga sakitmu ini membersihkanmu dari dosa-dosa, Insya Allah.” (HR. al-Bukhari).
Atau doa:
أَسْأَلُ اللَّهَ العَظِيمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ أَنْ يَشْفِيَكَ
“Aku memohon kepada Allah Yang Maha Agung, agar menyembuhkan penyakitmu.” (HR. at-Tirmidzi, dan Abu Daud)
Sebelum penegakan hak dan kewajiban ini, ada satu akhlak Islam yang menjadi pengantarnya, yaitu tafaqqud (mencari berita orang yang tidak dijumpainya). Nabi Sulaiman dalam pertemuan dengan seluruh rakyatnya, mempertanyakan ketidakhadiran burung Hud-hud. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bertemu dengan para shabatnya sering menanyakan keadaan sahabat yang tidak hadir, maksimal tiga hari.
Keenam, mengiringi jenazahnya.
Persaudaraan harus terus terjalin hingga akhir hayat sesama muslim. Hal ini diantaranya dilakukan dengan mengurus, memandikan, mengkafani, menshalatkan dan mengantarkan jenazahnya ke peristirahatan terakhirnya; menyaksikan saudaranya memasuki liang lahad.
Iringan terakhir di dunia dengan harapan agar bertemu kembali di surga nanti.
Mengantarkan jenazah saudara muslim memberikan manfaat besar, antara lain:
- Menunjukkan penghormatan kepada mayit dan keluarganya.
- Memberikan nasehat kematian kepada pribadi pengantar (dzikrul maut). Ketika Malik bin Dinar mengantarkan jenazah saudaranya, ia menangis dan berkata: “Demi Allah, tidak akan berhenti mataku (berlinang air mata) sehingga aku yakin ke mana aku akan pulang. Demi Allah, hal itu tidak aku ketahui selama aku hidup di dunia ini”.
- Mendapatkan pahala besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلِّيَ فَلَهُ قِيرَاطٌ وَمَنْ شَهِدَ حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ
“Barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga ikut menyolatkannya maka baginya pahala satu qirath, dan barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga ikut menguburkannya maka baginya pahala dua qirath”. Ditanyakan kepada beliau, “Apa yang dimaksud dengan dua qirath?” Beliau menjawab, “Seperti dua gunung yang besar”. (HR. Al-Bukhari no. 1325 dan Muslim no. 945)
Wallahu a’lam.