Penaklukan Persia
Pertempuran Jembatan (Mawqi’ah Al-Jisr)
Kepergian Khalid menuju Suriah[1] dipandang oleh pihak Persia sebagai kesempatan untuk merebut kembali daerah sawad (tanah subur) Arab – Irak dari pihak Islam. Kisra Persia, Yazdgerd III, menunjuk Rustam, seorang Argabadz, panglima militer tertinggi yang masih keturunan keluarga kekaisaran, untuk mempersiapkan penyerbuan. Rustam segera mengeumpulkan pasukan tempur bersenjata lengkap, dengan tentara berkuda dan berbaju baja, juga gajah yang dirangkapi besi zirah.
Mengetahui hal ini, Mutsanna segera meminta bantuan dari Madinah. Khalifah Umar lalu mengirimkan sebanyak 4.000 pasukan yang dipimpin Abu Ubaidah bin Mas’ud At-Tsaqafi. Mereka bergabung dengan pasukan Mutsanna di benteng pertahanan Hirah.
Pasukan Islam dan Persia berhadapan di lembah Eufrat, di dekat Hirah pada akhir tahun 634 M. Pasukan Persia dipimpin Rustam, pasukan Islam dipimpin Abu Ubaidah. Di antara kedua pasukan itu terbentang anak sungai dengan jembatan (al-jisr) tua yang biasa digunakan oleh penduduk sekitar untuk menyeberang menuju ladang.
Syahidnya Abu Ubaidah bin Mas’ud At-Tsaqafi
Pertempuran pecah di atas jembatan tua itu. Pertahanan depan pasukan Persia adalah penunggang gajah. Maka garda depan pasukan Islam segera menghujani pihak Persia dengan anak panah, akan tetapi pasukan gajah Persia itu terus melaju dan mellindas barisan depan pasukan Islam. Abu Ubaidah sendiri dengan segenap kekuatan berusaha melawan gajah-gajah itu dengan menombak tubuh atau dengan memotong belalainya. Tetapi, semakin dilawan, gajah-gajah itu semakin mengamuk, dan Abu Ubaidah pun wafat terinjak-injak oleh seekor gajak yang tengah dilawannya.
Melihat kondisi genting seperti itu, Mutsanna sebagai wakil Panglima memerintahkan sebagian sisa pasukan agar meruntuhkan jembatan tua itu untuk menghentikan laju pasukan Persia. Jembatan itu pun roboh, sementara puluhan pasukan di atasnya berjatuhan dan tenggelam. Pasukan Persia menghentikan pertempuran, sementara pasukan Islam mundur menuju Ain Tamar, dan sisanya menuju Madinah. Inilah kekalahan pertama yang diderita pihak Islam dalam serangkaian pertempuran dengan pihak Persia.[2]
Kekalahan pasukan Islam dan terbunuhnya Abu Ubaidah sangat mengagetkan Khalifah Umar. Ia kemudian bermusyawarah dengan beberapa sahabat utama untuk membalas kekalahan tersebut, bahkan pada mulanya ia menyatakan diri akan turun langsung memimpin penaklukan. Namun, Abdurrahman bin Auf dan beberapa sahabat mencegahnya dengan berbagai pertimbangan. Lalu disepakatilah untuk mengangkat Sa’ad bin Abi Waqqash sebagai panglima.
Saat itu telah memasuki 635 M (14 H), pasukan Islam mulai bergerak dari Madinah. Didatangkan pula bantuan dari pesisir timur dan selatan semenanjung. Mereka bergerak ke timur hingga tiba di Uzaib, kota kecil di tepian Lembah Eufrat. Mereka bertahan di lembah datar itu beberapa hari.
Sementara itu beberapa utusan datang ke Ctesiphon (Mada’in), setelah sebelumnya beristirahat di Qadisiyah, untuk menyampaikan surat kepada kisra Yazdgerd III. Surat itu ajakan kepada bangsa Persia untuk memeluk Islam. Yazdgerd menyampaikan surat balasan yang berisi penolakan atas ajakan Khalifah Umar bin Khattab.
Khalifah Umar segera memerintahkan pasukan Islam yang tengah berada di Uzaib untuk bergerak ke timur, menuju wilayah kekaisaran Persia. Saat mendengar hal itu, pihak Persia pun mempersiapkan pasukan dalam jumlah yang sangat besar.
Khalifah Umar pun memerintahkan agar pasukan Islam jangan berkumpul dan bertahan di dalam benteng, tetapi harus mencari area terbuka agar lebih dapat menguasai peperangan. Maka dipilihlah Qadisiyah, sebuah dataran terbuka yang dikelilingi pohon palem dan kurma di selatan Hira, di tepian anak sungai Eufrat, sebagai tempat pertemuan dan pertahanan pasukan Islam.
(Bersambung)
Catatan Kaki:
[1] Atas titah Khalifah Abu Bakar, pada 634 M (13 H), panglima Khalid bin Walid dan sebagian pasukannya bertolak dari kerajaan Hirah, meninggalkan wilayah-wilayah Arab – Irak untuk membantu pasukan muslim yang tengah menaklukkan Suriah. Pada saat itu, keadaan di Hirah dan sekitar perbatasan terbilang aman, dan kepemimpinan pasukan pun untuk sementara diserahkan kepada Mutsanna ibn Haritsah.
[2] Lihat: Al-Thabari, Al-Tarikh, hal. 2194; Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa Al-Nihayah, Juz 3, hal. 31.