Makna Kalimat Dalam Hadits:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:
Siapakah dia?
Dia adalah Abdullah bin Mas’ud bin Ghaafil bin Hubaib bin Syamakh bin Faar bin Makhzum bin Shahilah bin Kaahil bin Al Harits bin Tamim bin Sa’ad bin Hudzail bin Mudrikah bin ilyas bin Mudhar bin Nazar.
Dia seorang Imam yang ilmunya luas (Al Imam Al Hibr), ahli fiqihnya umat ini (Faqihul Ummah), Abu Abdirrahman Al Hudzali Al Makki Al Muhajiri Al Badri, sekutu Bani Zahrah.
Dia termasuk As Sabiqunal Awalin (yang pertama-tama masuk Islam), termasuk ulama yang paling mulia, mengikuti perang Badar, ikut hijrah dua kali, termasuk yang mendapatkan an nafl dalam perang Yarmuk, berbudi sangat baik, dan banyak meriwayatkan ilmu.
Banyak yang meriwayatkan hadits darinya; Abu Musa, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, ‘Imran bin Hushain, Anas, Jabir, Abu Umamah, sekelompok sahabat, dan Al Qamah, Al Aswad, Masruq, ‘Ubaidah, Abu Wailah, Qais bin Abi Hazim, Zar bin Hubais, Ar Rabi’ bin Khatsaim, Thariq bin Syihab, Zaid bin Wahab, kedua anaknya Abu Ubaidah dan Abdurrahman, Abul Ahwash ‘Auf bin Malik, Abu ‘Amru Asy Syaibani, dan banyak yang lainnya. Sedangkan yang meriwayatkan darinya tentang bacaan Al Quran adalah Abdurrahman As Sulami dan ‘Ubaidah bin Nadhilah, dan sekelompok ulama.
Qais bin Hazim menceritakan bahwa Abdullah Mas’ud seseorang yang tipis dagingnya (kurus). Dari Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Utbah bahwa Abdullah bin Mas’ud adalah seorang yang kurus dan pendek , kulitnya sawo matang yang gelap, dan dia tidak merubah ubannya (tidak mewarnainya).
Beliau meninggal di Madinah, dikubur di Baqi’ pada tahun 32H. (Selengkapnya lihat Siyar A’lamin Nubala, 1/461-500. 1413H – 1993M. Cet. 9. Muasasah Ar Risalah)
Ada pun tentang keluasannya dalam ilmu tafsir, dapat tergambar dari riwayat berikut. Diriwayatkan dari Masruq, bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata: “Demi Allah, tidaklah satu ayat diturunkan melainkan akulah yang paling tahu, tentang siapa ayat tersebut? Di mana ayat tersebut turun? Seandainya aku tahu ada orang lain yang lebih tahu dariku, maka aku akan datangi dia.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/7-8. Darul Thayibah lin Nasyr wat Tauzi’. Lihat juga As Siyar, 1/470-471. Juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya No. 5002)
Selanjutnya:
حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ المَصْدُوْقُ
Bercerita kepada kami Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan dia adalah Ash Shaadiqul Mashduuq
Ash Shaadiq artinya: المخبر بالحق – pembawa berita yang benar.
Al Mashduuq artinya: الذي صدقه الله وعده – orang yang janjinya telah dibenarkan oleh Allah. (Syakh Muhammad Ismail Al Anshari, At Tuhfah Ar Rabbaniyah, No. 4)
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id rahimahullah memberikan penjelasan:
قوله: “وهو الصادق المصدوق” أي الصادق في قوله المصدوق فيما يأتيه من الوحي الكريم.
“Sabdanya: dan dia adalah Ash Shaadiqul Mashduuq artinya Ash Shaadiq (yang benar) dalam ucapannya, dan Al Mashduuq (yang dibenarkan) pada apa-apa yang datang kepadanya berupa wahyu yang mulia. “ (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Hal. 37. Maktabah Al Misykah. Lihat juga Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/489. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri rahimahullah mengomentari dalam Tuhfah Al Ahwadzi:
ومعناه الصادق في جميع أفعاله حتى قبل النبوة لما كان مشهوراً فيما بينهم بمحمد الأمين، المصدوق في جميع ما أتاه من الوحي الكريم
“Maknanya adalah, dia adalah Ash Shaadiq (yang benar) pada semua perilakunya sampai-sampai sebelum kenabiannya, hal ini telah masyhur di antara mereka ketika beliau diberikan pujian dengan sebutan Al Amin. Sedangkan dia Al Mashduuq (yang dibenarkan) pada semua apa-apa yang dibawanya berupa wahyu yang mulia (Al Quran).” (Syaikh Abul ‘Ala Muhammad bin Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi Bisyarhi Sunan At Tirmidzi, Juz. 6, Hal. 341. Cet. 2, 1963M – 1383H. Tahqiq: Abdul Wahhab bin Abdul Lathif. Al Maktabah As Salafiyah, Madinah )
Kebenaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah diisyaratkan dalam berfirmanNya:
وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الأحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا
“Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata : “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.” Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (QS. Al Ahzab, 33: 22)
Selanjutnya:
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمَاً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ
“Sesungguhnya tiap kalian dikumpulkan ciptaannya dalam rahim ibunya, selama 40 hari berupa nutfah (air mani yang kental), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama itu juga”
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id rahimahullah mengutip dari sebagian ulama tentang makna kalimat tersebut:
أن المني يقع في الرحم متفرقا فيجمعه الله تعالى في محل الولادة من الرحم في هذه المدة، وقد جاء عن ابن مسعود في تفسير ذلك “إن النطفة إذا وقعت في الرحم فأراد الله تعالى أن يخلق منها بشراً طارت في بشر المرأة تحت كل ظفر وشعر ثم تمكث أربعين ليلة ثم تصير دماً في الرحم فذلك جمعها وهو وقت كونها علقة”
“Maksudnya yaitu Air mani yang memancar kedalam rahim, lalu Allah pertemukan dalam rahim tersebut selama rentang waktu tersebut (40 hari). Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa dia menafsirkan kalimat diatas dengan menyatakan, ‘Nutfah yang memancar kedalam rahim bila Allah menghendaki untuk dijadikan seorang manusia, maka nutfah tersebut mengalir pada seluruh pembuluh darah perempuan sampai kepada kuku dan rambut kepalanya, kemudian tinggal selama 40 hari, lalu berubah menjadi darah yang tinggal di dalam rahim. Itulah yang dimaksud dengan “Allah mengumpulkannya” Setelah 40 hari Nutfah menjadi ‘Alaqah (segumpal darah).” (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Hal. 38. Maktabah Al Misykah)
Selanjutnya:
ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ
“Kemudian menjadi Mudhghah (segumpal daging) selama itu juga.”
Mudghah adalah قطعة لحم– sepotong daging. Mitsla Dzalik adalah waktunya yakni 40 hari juga. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 4)
Selanjutnya::
ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ المَلَكُ
“ … kemudian diutus kepadanya malaikat ..”
Berkata Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id rahimahullah:
يعني الملك الموكل بالرحم.
“yaitu malaikat yang mungurus rahim.” (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Arbain An Nawawiyah, Hal. 38. Maktabah Al Miykat)
Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan:
ظَاهِره أَنَّ إِرْسَاله يَكُون بَعْد مِائَة وَعِشْرِينَ يَوْمًا
“Menurut zhahirnya, bahwa diutusnya malaikat terjadi setelah 120 hari.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/489)
Selanjutnya:
فَيَنفُخُ فِيْهِ الرٌّوْحَ
“ … untuk meniupkannya ruh ..”
Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan:
…لِأَنَّ نَفْخ الرُّوح لَا يَكُون إِلَّا بَعْد تَمَام صُورَته . وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّ نَفْخ الرُّوح لَا يَكُون إِلَّا بَعْد أَرْبَعَة أَشْهُر
“ .. karena sesungguhnya tidaklah ruh ditiup melainkan setelah sempurnanya bentuk. Para ulama telah sepakat bahwa ditiupnya ruh tidaklah terjadi kecuali setelah empat bulan.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/489. Mawqi’ Ruh Al Islam. Lihat juga Imam As Suyuthi, Ad Dibaj ‘Ala Shahih Muslim, 6/6. Cet. 1. 1996M-1416H. Dar Ibnu ‘Affan Lin Nasyr wat Tauzi’. Lihat juga Imam Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 5/455. Maktabah Al Misykah)
Al Imam Al Qadhi ‘Iyadh rahimahullah menceritakan dalam kitab Ikmal Al Mu’allim:
Dalam hadits Ibnu Mas’ud pada riwayat yang lain, beliau bersabda: “Jika nuthfah sudah berada selama 43 hari –dalam riwayat lain 42 hari – maka Allah utus malaikat untuk menentukan bentuknya.” Hingga sabdanya: “Wahai Rabb, laki-laki atau perempuan?” Beliau juga bersabda dalam hadits Hudzaifah bin Usaid: “Malaikat datang kepada nuthfah setelah dia tinggal di rahim selama 40 hari atau 45 hari, lalu malaikat berkata: “Wahai Rabb, sengsara atau bahagia?” Dalam riwayat lain: “Bahwa nuthfah berada dalam rahim selama 40 malam, lalau malaikat mendekatinya dan berkata: Wahai Rabb, laki-laki atau perempuan?” dalam riwayat lain: “40 hari lebih sedikit.” Dalam hadits Anas: “Sesungguhnya Allah telah mengutus malaikat yang mengurus rahim, lalu dia berkata: “Wahai Rabb-nya Nuthfah, wahai Rabbnya ‘alaqah, wahai Rabbnya mudghah!” maka ketika dia hendak menyelesaikannya, dia berkata; “Wahai Rabb, laki-laki atau perempuan? Sengsara atau bahagia? Bagaimana rezekinya? Bagaimana ajalnya?” (Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmal Al Mu’allim Syarh Shahih Muslim, 8/58. Maktabah Al Misykah)
Beliau melanjutkan: “Di berbagai sumber hadits ini berbeda-beda lafaznya, dan tak ada perbedaan bahwa ditiupkannya ruh adalah setelah 120 hari, demikian itu setelah sempurnanya empat bulan, dan memasuki bulan kelima, adanya hal ini dapat diketahui dengan dilihat/kesaksian.” (Ibid. Ucapan ini Juga dikutip oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 11/485. Darul Fikr)
Yaitu bisa diketahui dengan gerakan janin yang dapat dirasakan si ibu dan diketahui oleh mata yang melihat gerakan gelombang pada perut. Berkata Imam Al ‘Aini Rahimahullah:
وقال الراغب وذكر الأطباء أن الولد إذا كان ذكرا يتحرك بعد ثلاثة أشهر وإذا كان أنثى بعد أربعة أشهر
Berkata Ar Raghib: para dokter menyebutkan bahwa bayi, jika laki-laki maka bergerak setelah tiga bulan, dan jika dia perempuan bergerak setelah empat bulan.” (‘Umdatul Qari, 5/455)
Ada beberapa persoalan fiqih yang terkait dengan usia kehamilan 4 bulan, silahkan baca: klik disini.
Selanjutnya:
وَيَؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ
“dia diperintahkan mencatat empat kata yang telah ditentukan: rezekinya, ajalnya, amalnya, kesulitan atau kebahagiannya.”
Yu’maru (dia diperintahkan), siapa yang diperintahkan? yakni malak (satu malaikat) yang meniupkan ruh kepada manusia di perut ibunya tadi.
Berkata Imam Badruddin Al ‘Aini rahimahullah:
ويقال له أي للملك المرسل أكتب عمله ورزقه وأجله وشقي أو سعيد وكل ذلك بما اقتضت حكمته وسبقت كلمته
“Dikatakan kepadanya yaitu kepada malaikat yang diutus: tulislah amalnya, rezekinya, ajalnya, susah atau bahagianya. Semua itu ditetapkan dengan hikmahNya dan hikmahNya itu telah mendahului kata-kataNya. (‘Umdatul Qari, 22/461)
Selanjutnya:
فَوَالله الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ
“Demi Allah yang Tiada Ilah kecuali Dia.”
Ini merupakan diantara kalimat sumpah yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kadang beliau menggunakan Walladzi Nafsiy biyadih (demi zat yang jiwaku ada di tanganNya), kadang Walladzi Nafsu Muhammad biyadih (demi zat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya), dan lainnya. Kadang orang Arab menggunakan Wallahi, Tallahi, Billahi, yang maknanya serupa, Demi Allah!
Ini merupakan salah satu adab dalam bersumpah yakni wajib dengan nama Allah ‘Azza wa Jalla. Bahkan bersumpah dengan selain nama Allah ‘Azza wa Jalla adalah salah satu kesyirikan (yakni syirik ashghar – syirik kecil). Banyak hadits yang menyebutkan hal itu, saya sebutkan satu saja.
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, dia mendengar seorang bersumpah: “Tidak, demi Ka’bah.” lalu dia mengatakan: “Jangan kamu bersumpah dengan selain nama Allah, sebab aku mendengar Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
من حلف بغير الله فقد كفر أو أشرك
“Barangsiapa yang bersumpah dengan selain nama Allah maka dia telah kufur atauberbuat syirk.” (HR. At Tirmdzi No. 1535, katanya: hasan. Abu Daud No.3251, dan lain-lain. Hadits ini shahih. Lihat Ghayatul Maram No. 259, lihat juga Shahih At Targhb wat Tarhib No. 2952, dan lainnya)
Imam At Tirmidzi Rahimahullah mengatakan:
وَفُسِّرَ هَذَا الْحَدِيثُ عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ قَوْلَهُ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ عَلَى التَّغْلِيظِ وَالْحُجَّةُ فِي ذَلِكَ حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ عُمَرَ يَقُولُ وَأَبِي وَأَبِي فَقَالَ أَلَا إِنَّ اللَّهَ يَنْهَاكُمْ أَنْ تَحْلِفُوا بِآبَائِكُمْ وَحَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ قَالَ فِي حَلِفِهِ وَاللَّاتِ وَالْعُزَّى فَلْيَقُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا مِثْلُ مَا رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّ الرِّيَاءَ شِرْكٌ
Sebagian Ulama menafsirkan hadits ini bahwa sabdanya: telah kufur atau syirik, artinya menunjukkan penguatan/pemberatan/penegasan. Argumentasinya adalah hadits Ibnu Umar bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendengar Umar berkata: Wa Abiy wa Abiy – Demi Ayahku dan Demi Ayahku. Maka beliau bersabda:
Imam An Nawawi Rahimahullah juga mengatakan:
وفسَّر بعْضُ الْعلماءِ قوْلهُ:”كَفر أَوْ أشركَ”علَى التَّغلِيظِ كما رُوِي أَنَّ النبيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قَالَ:”الرِّيَاءُ شِرْكٌ”.
Sebagian ulama menafsirkan makna kufur atau syirik sebagai penegasan/penguatan sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “riya’ termasuk syirik.” (Lihat Riyadhush Shalihin Hal. 477. Cet. 3. 1998M-1419H. Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arna’uth. Muasasah Ar Risalah, Beirut- Libanon)
Lalu, bagaimana dengan ucapan sebagian sahabat nabi, seperti: bi abiy wa bi ummiy (Demi ayah dan demi ibuku!)”. Apakah ini termasuk sumpah dengan selain nama Allah?
Kalimat di atas bukanlah sumpah, tetapi kalimat kebiasaan mereka untuk menunjukkan dalamnya rasa cinta dan hormat mereka kepada lawan bicara. Imam Ibnu Manzhur menyebutkan dalam Lisanul ‘Arab, bahwa kalimat ini aslinya adalah:
فَدَيْتُك بأَبي وأُمِّي
“Saya jadikan ayah dan ibu saya sebagai tebusan untukmu.” (Lisanul ‘Arab, 15/417. Syamilah)
Kemudian kalimat ini diringkas menjadi: bi abiy wa bi ummiy (demi ayah dan ibuku).
Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan:
مَعْنَاهُ أَنْتَ مُفَدًّى أَوْ أَفْدِيك بِأَبِي وَأُمِّي
“Maknanya adalah engkau mendapatkan tebusan atau saya akan menebusmu dengan ayah dan ibuku.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/108. Mawqi’ Ruh A Islam)
Beliau juga mengatakan:
وَفِيهِ جَوَاز قَوْل الرَّجُل لِلْآخَرِ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي . قَالَ الْقَاضِي عِيَاض رَحِمَهُ اللَّه : وَقَدْ كَرِهَهُ بَعْض السَّلَف . وَقَالَ : لَا يُفْدَى بِمُسْلِمٍ . وَالْأَحَادِيث الصَّحِيحَة تَدُلّ عَلَى جَوَازه سَوَاء كَانَ الْمُفَدَّى بِهِ مُسْلِمًا أَوْ كَافِرًا حَيًّا كَانَ أَوْ مَيِّتًا .
“Dalam hadits ini juga menunjukkan bolehnya seseorang berkata kepada orang lain: demi ayahku dan ibuku. Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah mengatakan; sebagian salaf memakruhkannya. Dan, dia berkata: tidaklah ditebus dengan seorang muslim. Hadits shahih ini menunjukkan kebolehannya, sama saja apakah tebusannya itu dengan seorang muslim atau kafir, hidup atau mati.” (Ibid)
Selanjutnya:
إِنََّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ
“Sesungguhnya setiap kalian ada yang melaksanakan perbuatan ahli surga …”
Pada bagian-bagian ini, penjelasan dari Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah cukup memadai bagi kita. Beliau mengatakan:
إلى آخره ظاهر الحديث أن هذا العامل كان عمله صحيحاً وأنه قرب من الجنة بسبب عمله حتى بقي له على دخولها ذراع وإنما منعه من ذلك سابق القدر الذي يظهر عند الخاتمة فإذاً الأعمال بالسوابق لكن لما كانت السابقة مستورة عنا والخاتمة ظاهرة جاء في الحديث: “إنما الأعمال بالخواتيم” يعني عندنا بالنسبة إلى اطلاعنا في معنى الأشخاص وفي بعض الأحوال، وأما الحديث الذي ذكره مسلم في صحيحه في كتاب الإيمان: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “إن الرجل ليعمل بعمل أهل الجنة فيما يبدو للناس وهو من أهل النار” فإنه لم يكن عمله صحيحاً في نفسه وإنما كان رياء وسمعة فيستفاد من ذلك الحديث ترك الالتفات إلى الأعمال والركون إليها والتعويل على كرم الله تعالى ورحمته.
Secara zhahir, hadits ini menunjukkan bahwa orang tersebut melakukan perbuatan yang benar dan amal itu mendekatkan pelakunya ke surga sehingga dia hampir dapat masuk ke surga hampir satu hasta. Ia ternyata terhalang untuk memasukinya karena taqdir yang telah ditetapkan bagi dirinya di akhir masa hayatnya dengan melakukan perbuatan ahli neraka. Dengan demikian, perhitungan semua amal baik itu tergantung pada apa yang telah dilakukannya. Akan tetapi, bila ternyata pada akhirnya tertutup dengan amal buruk, maka seperti yang dikatakan pada sebuah hadits: “Segala perbuatan itu nilainya tergantung pada amal terakhirnya.” Maksudnya, menurut kami hanya terjadi pada orang-orang dan keadaan tertentu saja. Adapun hadits yang disebut oleh Imam Muslim dalam Kitabul Iman dalam kitab Shahihnya bahwa Rasulullah bersabda : ”Seseorang melakukan amalan ahli surga dalam pandangan manusia, tetapi sebenarnya dia adalah ahli neraka.” Ini menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukannya tidak benar dan dilakukan karena riya serta sum’ah . Faidah dari hadits ini adalah memandang dari sisi niat pelakunya bukan perbuatan lahiriyahnya, ada orang yang selamat dari riya’ itu semata-mata karena karunia dan rahmat Allah Ta’ala. (Imam Ibnu daqiq Al ‘Id, Syarah Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 38)
Selanjutnya:
حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إلا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَايَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إلا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
sehingga jarak antara dirinya dan surga hanyalah sehasta, namun dia telah didahului oleh al kitab (ketetapan/takdir), maka dia mengerjakan perbuatan ahli neraka, lalu dia masuk ke dalamnya. Di antara kalian ada yang mengerjakan perbuatan ahlin naar (penduduk neraka), sehingga jarak antara dirinya dan neraka cuma sehasta, namun dia telah didahului oleh taqdirnya, lalu dia mengerjakan perbuatannya ahli surga, lalu dia memasukinya. ”
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id mengatakan:
المراد: أن هذا قد يقع في نادر من الناس لا أنه غالب فيهم وذلك من لطف الله سبحانه وسعة رحمته فإن انقلاب الناس من الشر إلى الخير كثير، وأما انقلابهم من الخير إلى الشر ففي غاية الندور ولله الحمد والمنة على ذلك، وهو تجوز، وقوله: “إن رحمتي سبقت غضبي” وفي رواية “تغلب غضبي”.
وفي هذا الحديث إثبات القدر كما هو مذهب أهل السنة وأن جميع الواقعات بقضاء الله تعالى وقدره خيرها وشرها نفعها وضرها قال الله تعالى: {لا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ} . ولا اعتراض عليه في ملكه يفعل في ملكه ما يشاء. قال الإمام السمعاني: سبيل معرفة هذا الباب: التوفيق من الكتابة والسنة دون محض القياس ومجرد العقول فمن عدل عن التوفيق منه ضل وتاه في مجال الحيرة ولم يبلغ شفاء النفس ولا يصل إلى ما يطمئن به القلب لأن القدر سر من أسرار الله تعالى ضربت دونه الأستار واختص سبحانه به وحجبه عن عقول الخلق ومعارفهم، وقد حجب الله تعالى علم القدر عن العالم فلا يعلمه ملك ولا نبي مرسل، وقيل إن سر القدر ينكشف لهم إذا دخلوا الجنة ولا ينكشف قبل ذلك.
وقد ثبتت الأحاديث بالنهي عن ترك العمل اتكالاً على ما سبق من القدر بل تجب الأعمال والتكاليف التي ورد بها الشرع وكل ميسر لما خلق له لا يقدر على غيره فمن كان من أهل السعادة يسره الله لعمل أهل السعادة ومن كان من أهل الشقاوة يسره الله لعمل أهل الشقاوة كما في الحديث وقال الله تعالى: {فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى … فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى} .
قال العلماء: وكتاب الله تعالى ولوحه وقلمه كل ذلك مما يجب الإيمان به، وأما كيفية ذلك وصفته فعلمه إلى الله تعالى لا يحيطون بشيء من علمه إلا بما شاء. والله أعلم
Maksudnya bahwa, hal semacam ini bisa saja terjadi namun sangat jarang dan bukan merupakan hal yang biasa. Karena kemurahan, keluasan dan rahmat Allah kepada manusia. Yang banyak terjadi adalah manusia yang tidak baik berubah menjadi baik dan jarang orang baik menjadi tidak baik.
Firman Allah Ta’ala, “RahmatKu mendahului kemarahanKu” menunjukkan adanya kepastian taqdir sebagaimana keyakinan Ahlus Sunnah bahwa semua kejadian ada dengan ketetapan Allah dan taqdirNya, baik dalam hal keburukan dan kebaikan, juga dalam hal membawa manfaat dan bahaya. Firman Allah: “Dan Dia tidak dimintai tanggung jawab (tidak ditanya) atas segala tindakan-Nya tetapi mereka akan dimintai tanggung jawab.” (QS. Al Anbiya’ : 23) menyatakan bahwa kekuasaan Allah tidak tertandingi dan Dia melakukan apa saja yang dikehendaki dengan kekuasaanNya itu.
Imam Sam’ani mengatakan: “Cara untuk memahami masalah ini adalah dengan mengkompromikan (taufiq) apa yang tersebut dalam Al Qur’an dan Sunnah, bukan semata-mata dengan qiyas dan akal. Barang siapa yang keluar dari cara ini dalam memahami pengertian di atas, maka dia akan sesat dan berada dalam kebingungan, dia tidak akan memperoleh obat bagi jiwa dan ketentraman hati. Hal ini karena taqdir merupakan salah satu rahasia Allah yang terhalang untuk diketahui oleh manusia dengan akal ataupun pengetahuannya. Allah Ta’ala telah menutup pengetahuan tentang taqdir dari seorang ulama, malaikat dan para nabi sekalipun tidak ada yang mengetahuinya”.
Ada yang mengatakan : “Rahasia taqdir akan diketahui oleh makhluk ketika mereka menjadi penghuni surga, tetapi sebelumnya tidak dapat diketahui”.
Beberapa hadits telah menetapkan larangan kepada manusia yang tidak mau melakukan perbuatan dengan alasan telah ditetapkan taqdirnya. Bahkan, semua amal dan perintah yang tersebut dalam syari’at harus dikerjakan. Setiap orang akan diberi jalan yang mudah menuju kepada taqdir yang telah ditetapkan untuk dirinya. Orang yang ditaqdirkan masuk golongan yang beruntung maka ia akan mudah melakukan perbuatan-perbuatan golongan yang beruntung sebaliknya orang-orang yang ditaqdirkan masuk golongan yang celaka maka ia akan mudah melakukan perbuatan-perbuatan golongan celaka sebagaimana tersebut dalam Firman Allah : “Maka Kami akan mudahkan dia untuk memperoleh keberuntungan”. (QS. Al Lail :7) …. “Kemudian Kami akan mudahkan dia untuk memperoleh kesusahan”. (QS.Al Lail :10)
Para ulama berkata : “Al Qur’an, lembaran, dan penaNya, semuanya wajib diimani begitu saja, ada pun tentang bagaimana hal itu dan sifat-sifatnya, maka pengetetahuannya kembalikan kepada Allah Ta’ala”.
Allah Ta’ala berfirman : “Manusia tidak sedikit pun mengetahui ilmu Allah, kecuali yang Allah kehendaki”.(QS. Al Baqarah (2) : 255) (Ibid, Hal. 39-40)
Selesai syarah hadits keempat. Wallahu A’lam
3 comments
terima kasih, moga Allah melindungi kita semua, Assalamualaikum wr wb
Alhamdulillah, makasih
Pada tanggal Kam, 7 Feb 2019 pukul 11.44 Arsyad Abdullah menulis:
> terima kasih, moga Allah melindungi kita semua, Assalamualaikum wr wb >