Pada masa pemerintahannya, Khalifah Umar bin Khaththab banyak melakukan kebijakan-kebijakan baru terkait berbagai bidang kehidupan. Ada pembagian administratif wilayah daulah Islam, lembaga-lembaga negara, jawatan pajak, jawatan pengadilan, lembaga konsultasi hukum, jawatan militer, perbendaharaan negara, pembangunan kota-kota, masjid, dan madrasah-madrasah, jawatan keagamaan dan wakaf, hingga undang-undang pengaturan non muslim dan pembebasan tradisi perbudakan.
Kebijakan Pendidikan dan Pengajaran
Pada masa pemerintahannya, Umar menerapkan kebijakan untuk mengajarkan dan menyebarkan Al-Qur’an ke seluruh pelosok negeri. Umar mendirikan madrasah-madrasah tempat belajar Al-Qur’an, hadits, fiqih, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Di madrasah-madrasah tersebut para siswa diharuskan menghafal sedikitnya lima surat Al-Qur’an, yaitu Al-Baqarah, An-Nisa, Al-Hajj, An-Nur, dan Al-Maidah.
Umar menunjuk beberapa sahabat untuk mengajar hadits dan fikih, seperti Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, Mu’adz bin Jabal, Abu Darda, Ubadah bin Shamit, Imran bin Hashin, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Mas’ud, Ali bin Abu Thalib, dan Aisyah binti Abu Bakar.[1]
Dalam kitab Al-Majma’ (9/291) disebutkan bahwa pada masa Umar dibangun madrasah Makkah, dengan guru besarnya Abdullah bin Abbas; madrasah Madinah, dengan guru besarnya Zaid bin Tsabit; madrasah Bashrah, dengan guru besarnya Anas bin Malik dan Abu Musa Al-Asy’ari; madrasah Kufah, dengan guru besarnya Abdullah bin Mas’ud; madrasah Syam, dengan guru besarnya Mu’adz bin Jabal dan Abu Darda; dan madrasah Mesir, dengan guru besarnya Uqbah bin Amir dan Amr bin Ash.
Kebijakan Pembangunan Masjid
Umar memerintahkan kepada Abu Musa Al-Asy’ari, Gubernur Bashrah, untuk membangun masjid besar di pusat kota, juga membangun sebuah masjid bagi setiap kampung dan suku. Ia juga memerintahkan kepada Sa’ad bin Abi Waqqas, Gubernur Kufah, dan Amr bin Ash, Gubernur Mesir, juga kepada para wali di sepanjang wilayah Syam.
Pada masa pemerintahan Umar dilakukan pula perluasan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Ia memerintahkan pula pengadaan lampu penerang yang digantungkan di masjid-masjid dan madrasah, di seluruh kota dan wilayah, memberinya wewangian, serta mengalasinya dengan tikar.
Kebijakan Kesehatan Masyarakat
Musthafa Murad dalam bukunya Umar ibn Al-Khaththab menyebutkan bahwa Umar sangat memperhatikan hak kesehatan rakyat. Ia banyak mendirikan klinik dan rumah sakit serta memberikan pelayanan kesehatan.
Kebijakan Pembagian Wilayah Administratif
Umar membentuk beberapa departemen kenegaraan dengan segala prosedurnya. Umar membagi administrasi negara menjadi unit-unit berupa iqlim (provinsi) dan distrik: Makkah dan Madinah (mewakili seluruh wilayah Semenanjung Arabia), Jazirah, Kufah, dan Bashrah (mewakili seluruh wilayah Irak), Khurasan, Azerbaijan, Fars (mewakili seluruh wilayah Persia), Suriah dan Palestina (mewakili seluruh wilayah Mediterania Timur), dan Mesir (termasuk Afrika Utara).[2]
Struktur pemerintahan di setiap provinsi adalah Wali (gubernur), Katib (sekretaris wilayah), Qa’id (perwira militer), Shahibul Kharaj (dinas perpajakan) yang merangkap menjadi ‘Amil (petugas zakat), shahib baitul mal (pejabat keuangan negara), dan Qadhi (kepala dinas kehakiman).[3]
Kebijakan Pemisahan Antara Eksekutif dan Yudikatif
Umar melakukan pemisahan antara Eksekutif (kekhalifahan dan ke-wali-an) dan Yudikatif (qadhi). Pada masa pemerintahan Abu Bakar, khalifah dan para pejabat administratif merangkap jabatan sebagai qadhi atau hakim. Awalnya Umar mengadopsi rangkap jabatan tersebut, tetapi seiring dengan perkembangan kekuasaan kaum muslimin, dibutuhkan mekanisme administratif yang mendukung terselenggaranya sistem pemerintahan yang baik. Ketika itulah Umar memisahkan antara kekuasaan ekekutif dan yudikatif.
Pemisahan tersebut ditandai dengan diangkatnya wulat (gubernur), ahlul halli wal aqdi (lembaga yang menetapkan penyelesaian dan kesepakatan), pendirian pengadilan, pengangkatan qadhi (hakim).
Di antara para gubernur yang terkenal adalah Ali bin Abu Thalib, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud, Salman bin Ruba’iah, Qais bin Abil Ash, Ya’la bin Umayyah (gubernur Yaman), Mughirah bin Syu’bah (Kufah), Mu’awiyah bin Abi Sufyan (Syam), Utsman bin Abil Ash (Bahrain dan Oman), Abu Musa Al-Asy’ari (Bashrah), dan Umair bin Sa’ad (Emessa/Homs).
Ahlul Halli wal Aqdi
Umar mengembangkan struktur Ahlul Hall wal ‘Aqdi (kumpulan anggota majelis syura yang terdiri dari ulama dan cendekiawan). Pemilihan anggotanya dilakukan dengan mempertimbangkan dua hal, yaitu telah mengabdi di dunia politik, militer, dan misi Islam selama 8-10 tahun, serta mempunyai pengetahuan yang memadai mengenai hukum Islam dan Al-Qur’an.
Pada masa Umar, ahlul hall wal aqdi terbagi menjadi beberapa lembaga:
- Majelis Permusyawaratan yang terbagi menjadi tiga divisi. Pertama, Dewan Penasihat Tinggi yang terdiri atas sahabat-sahabat terkemuka dan terpercaya seperti Abdurrahman Ibn Auf, Muadz bin Jabal, Ubay Ibn Ka’ab, Zaid Ibn Tsabit, dan Thalhah Ibn Zubair. Kedua, Dewan Penasihat Umum yang berasal dari sahabat-sahabat Anshar, Muhajirin, dan para pemuka suku. Mereka bertugas membahas masalah-masalah mengenai kepentingan umum. Ketiga, Dewan Penasihat Tinggi dan Umum yang membahas masalah-masalah khusus.
- Al-Katib atau sekretaris Negara, salah satu pejabatnya adalah Abdullah Ibn Arqam.
- Nidzam al-Maaly (Lembaga Perbendaharaan) yang mengatur masalah pemasukan keuangan dari ghanimah, jizyah, kharaj, dan lain-lain.
- Nidzam al-Idary (Lembaga Administrasi) yang bertujuan untuk memudahkan pelayanan kepada masyarakat. Pada lembaga ini terdapat diwanul jund (ketentaraan) yang mendistribusikan gaji kepada pasukan perang dan pegawai pemerintahan.
- Lembaga Kepolisian dan Keamanan.
- Lembaga Keagamaan dan Pendidikan.[4]
Kebijakan Permusyawaratan Terbuka
Untuk menentukan pemegang jabatan-jabatan penting yang telah disebutkan di atas Umar melakukan permusyawaratan terbuka yang anggotanya merupakan perwakilan dari khalayak. At-Thabari menjelaskan cara kerja para anggota majelis tersebut, yaitu dengan menyeru kepada khalayak umum dengan berkeliling ibu kota secara rutin, lalu memanggil rakyat untuk shalat berjama’ah di masjid ibu kota. Setelah selesai shalat, anggota majelis akan menaiki mimbar dan menyerukan kepada masyarakat agar menyampaikan masalah yang perlu dibicarakan sekaligus mencatat masalah-masalah tersebut untuk disampaikan kepada Umar. Umar kerap turun langsung dan menaiki mimbar untuk mendengarkan setiap keluhan rakyatnya sekaligus menyelesaikan permasalahan bersama.
Dalam forum tersebut, pendapat orang-orang yang tidak selaras dengan Amirul Mu’minin sekalipun tetap dicatat dan disampaikan dengan baik. Para wanita, anak-anak, orang tua, dan non muslim diberi hak penuh dalam syura. Yusuf Ibn Ya’qub Al-Majasyun menuturkan bahwa Umar sering mengundang anak-anak kecil untuk dimintai pendapat terkait penyelesaian masalah. Umar melakukan hal itu untuk mengasah pikiran anak-anak.[5]
Kebijakan Pembangunan Pusat Perbendaharaan Negara
Sekitar tahun ke-15 Hijriyah, Umar membawa uang 500.000 dirham ke Madinah. Para sahabat dikumpulkan untuk bermusyawarah mengenai uang tersebut. Sebagian sahabat berpendapat, uang itu dibagikan ke masyarakat. Namun, Walid bin Hisyam berpendapat uang itu sebaiknya disimpan di lembaga perbendaharaan negara. Umar menyambut usulan Walid. Maka, ditunjuklah seorang arsitek terkenal beragama Majusi bernama Ruzbih untuk membangun pusat perbendaharaan tersebut di Madinah dan kota-kota lainnya. Kelak bangunan ini dikenal dengan nama baitul mal. Pada perkembangan selanjutnya, bangunan ini dijaga oleh sejumlah tentara.
Umar juga mengangkat para pengelola dan pengawas lembaga keuangan negara, diantaranya adalah Abdullah bin Arqam, Abdurrahman bin Ubaid Al-Qari, dan Mu’iqib—sahabat yang dikenal sebagai juru cap Rasulullah.
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Umar melarang membagikan seluruh harta rampasan perang Sawad-Irak. Harta tersebut disimpan dan dikelola di baitul mal untuk kepentingan umat.[6]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa selepas penaklukan Bahrain, pasukan muslim mengirim harta rampasan perang sebanyak 5.000 dirham. Umar lalu mengumpulkan masyarakat untuk membagi harta tersebut. Ia lalu berkhutbah di atas mimbar. Di tengah khutbahnya, seseorang berkata, “Wahai Amirul Mu’minin, saya melihat bangsa-bangsa lain memiliki diwan untuk pembelanjaan harta negara mereka.”
Umar menyetujui pendapat orang tersebut, dan dibuatlah sistem tadwinud diwan untuk mengelola perputaran uang di baitul mal.[7]
Kebijakan Pembangunan Infrastruktur
Pembangunan Kota
Pada masa Umar, kota-kota dibangun, dimulai dengan membangun masjid dan saluran air untuk pengadaan air minum. Baru kemudian dibangun bangunan-bangunan pemerintahan. Beberapa kota yang dibangun pada masa Umar diantaranya:
Pertama, Bashrah. Kota terbesar di Irak ini diambil alih oleh kaum muslimin di bawah komando Uthbah bin Ghazwan dari bangsa Sasania pada 636 M. Awalnya kota ini bernama Vahestabad Ardasir, lalu diubah oleh Uthbah menjadi Al-Bashrah artinya “menyaksikan” atau dalam bahasa Persia berarti “jalan raya yang banyak dilalui orang”.
Umar membangun wilayah tersebut pada tahun 14 – 15 H. Arsiteknya Uthbah. Disana dibangun saluran air dari Kufah ke Bashrah yang bersumber dari sungai Tigris. Hal ini membuat populasi di Bashrah meningkat pesat.
Awalnya Bashrah adalah padang sahara. Tanahnya berkerikil, tetapi penuh rumput dan air. Maka Uthbah membangunnyadengan membagi daerahtersebut menjadi perkampungan untuk setiap suku dan membangunrumah-rumah kecil dari lumpur dan jerami untuk dihuni. Namun, kota tersebut dilanda kebakaran pada 17 H. Maka, atas seizin khalifah rumah-rumah dibangun dengan bata dengan syarat satu rumah tidak lebih dari 3 kamar.
Kedua, Kufah.[8] Kota tua di timur laut Najaf ini awalnya dihuni bangsa Mesapotamia. Pada masa pemerintahan Sassania, Kufah merupakan kota bagian dari Provinsi Suristan. Kota ini ditaklukkan kaum muslimin di bawah komando Sa’ad bin Abi Waqqash dalam pertempuran di Yarmuk.
Cetak biru pembangunan Kufah dibuat langsung oleh Umar. Pembangunannya dimulai pada 17 H. Perumahan dibangun untuk menampung 40.000 orang, sedangkan orang-orang Arab disediakan perkampungan terpisah yang diawasi oleh Hayaj bin Malik. Umar pula yang menentukan lebar-lebar jalan di Kufah: jalan utama 40 hasta, jalan pertengahan 30 hasta, jalan penunjang 20 hasta, dan jalan-jalan setapak selebar 7 hasta.
Masjid didirikan di atas tanah lapang yang tinggi dan dapat menampung 40.000 jama’ah. Sementara daerah-daerah sekitar masjid dikosongkan dan menjadi wilayah terbuka. Di depan masjid dibangun serambi dengan pilar-pilar yang diambil langsung dari istana Kisra. Pilar-pilar tersebut ‘dibeli’ oleh Umar dengan memberikan keringanan jizyah kepada warga Majusi sesuai dengan taksiran harga pilar-pilar tersebut.
Di kota ini Umar juga membangun pusat perbendaharaan negara yang didesain oleh Ruzbih. Pembangunan infrastruktur serta fasilitas publik lainnya semakin menghidupkan Kufah. Bahkan, kota tersebut mencapai puncak kejayaannya hingga Umar menyebutnya puncak Islam. Dengan segela kelengkapannya, ketika itu Kufah menjadi pusat kekuatan Arab.
Ketiga, Fustath. Sesaat setelah pasukan muslim yang dikomandoi Amr bin Ash menaklukkan kota Memphis di lembah sungai Nil, Khalifah Umar melarang pasukan Islam menduduki satu bangunan atau sejengkal tanah milik penduduk kota. Sebaliknya, ia memerintahkan Amr mendirikan tenda di tanah kosong di samping perkampungan. Pendirian tenda inilah asal mula penamaan Fusthath, yang berarti tenda besar.
Fusthath yang awalnya hanyalah tanah kosong yang membentang antara sungai Nil dan bukit Muqattahm, tetapi di bawah kepemimpinan Amr, wilayah itu menjadi ibu kota pertama Mesir. Disana didirikan masjid besar, yaitu Masjid Amr bin Ash. Panjangnya 45 meter. Lebarnya 30 meter. Pintu gerbangnya tiga, salah satunya mengarah ke gedung pemerintahan.
Masjid Amr bin Ash merupakan masjid jami’ pertama yang dibangun di wilayah Afrika. Pembangunan masjid menjadi prioritas utama, karena fungsinya bukan sekedar tempat ibadah, melainkan juga pusat pemerintahan, pusat informasi, sarana pendidikan, dan lain sebagainya.
Tanah kosong ini berkembang pesat seiring dengan kebijakan transmigrasi oleh Amr. Dengan segera Fusthath menjadi pusat perdagangan yang baru, menyaingi Iskandariah dan Memphis. Perkembangan Fusthath tidak saja menjadi kebanggaan kaum muslim, tetapi juga penduduk asli, bangsa Koptik, dan orang-orang Romawi yang tinggal disana. Mereka dibebaskan memeluk agama yang mereka yakini dengan syarat membayar jizyah. Mereka juga diperkenankan oleh Amr untuk turut mengurus administrasi negara. Bahkan, di lingkungan Koptik, Amr menyediakan sebidang tanah untuk dikelola dan hasilnya boleh digunakan untuk memperbaiki gereja, membuat pemandian, jalan, dan sebagainya.
Fustath berkembang menjadi kota yang nyaman. Kemajuannya turut berperan menjadikan Mesir sebagai salah satu pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
*****
Umar bin Khatthab membentuk lembaga yang bertanggung jawab atas pembangunan dan pemeliharaan fasilitas publik yang disebut Wazaratun Nafi’ah. Lembaga ini bertanggung jawab atas pembangunan dan pemeliharaan gedung pemerintah, saluran air, jalan, jembatan, dan rumah sakit.
Pembangunan Saluran Air
Pembangunan saluran air yang dapat mendukung sektor pertanian menjadi salah satu pusat perhatian Umar. Saluran air yang dibangun pun digunakan untuk memenuhi kebutuhan air minum bagi masyarakat dan sebagai jalur transportasi alternatif.
Beberapa saluran air yang dibangun pada masa Umar adalah:
Pertama, Saluran Abu Musa. Nama ini diambil dari nama Gubernur Bashrah yang tengah menjabat, yaitu Abu Musa Al-Asy’ari. Panjangnya 15 km, digali memotong dari Tigris dialirkan ke Bashrah sehingga kebutuhan air di setiap rumah di Bashrah dapat dipenuhi dengan baik. Sebelum saluran air ini dibangun, masyarakat Bashrah harus berjalan sejauh 10 km untuk mendapatkan air minum.
Kedua, Saluran Sa’ad. Sebelumnya, penduduk Anbar telah meminta kepada kekaisaran Persia untuk membuat saluran air. Namun permintaan tersebut baru terpenuhi pada masa pemerintahan Umar. Atas perintah Gubernur Kufah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’ad bin Umar kemudian memimpin pembuatan saluran air ke Kufah. Proyek tersebut sempat terputus karena penggalian terhalang oleh gunung, lalu kembali diteruskan dan diselesaikan oleh Hajjaj.
Ketiga, Saluran Amirul Mu’minin. Inilah saluran terbesar dengan fungsinya yang strategis. Saluran air ini menghubungkan Sungai Nil dan Laut Merah. Pembangunannya dilakukan atas perintah langsung Umar untuk mengatasi kelaparan yang tengah melanda Arab. Selanjutnya saluran ini berfungsi sebagai jalur transportasi yang sangat menguntungkan bagi perniagaan Mesir.[9]
Pendirian Bangunan Penunjang Pemerintahan
Pemerintahan Umar bin Khatthab mendirikan bangunan-bangunan penunjang pemerintahan. Secara garis besar ada tiga jenis bangunan yang didirikan:
Pertama, ‘imarah diniyyah (bangunan keagamaan). Tercatat lebih dari seribu masjid yang didirikan pada masa Umar. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Umar telah memerintahkan Abu Musa Al-Asy’ari membangun masjid jami’ di pusat kota dan mendirikan satu masjid di setiap perkampungan. Perintah yang sama diberikan kepada Sa’ad bin Abi Waqqash dan Amr bin Ash. Umar juga memperluas wilayah Ka’bah, karena kapasitasnya sudah tidak mampu menampung jama’ah yang beribadah di sana. Umar membeli rumah-rumah di sekitar Ka’bah untuk memperluasnya.Perluasan Ka’bah ini kemudian diikuti dengan perluasan Masjid Nabawi di Madinah.
Kedua, ‘imarah harbiyyah (bangunan militer). Umar membangun jund (pusat militer), benteng, asrama, dan barak. Pusat-pusat militer ini tersebar di hampir seluruh wilayah kekuasaan Umar, yaitu Madinah, Kufah, Bashrah, Moshul, Fustath, Damaskus, Urdan, dan Palestina.
Fasilitas jund adalah barak pasukan, kandang-kandang kuda berkapasitas 4.000 ekor kuda khusus bercap jaish fi sabilillah—tentara di jalan Allah, dan gedung-gedung makanan untuk perbekalan para prajurit.
Ketiga, ‘imarah madaniyyah (bangunan sipil). Pusat administrasi atau darul amarat terdiri dari tempat tinggal dan kantor pejabat-pejabat provinsi dan distrik, tempat penyimpanan catatan-catatan resmi (diwan), gedung-gedung perbendaharaan negara (baitul mal), penjara, dan rumah tamu untuk digunakan para pendatang dari luar Madinah.[10]
Fasilitas-fasilitas di atas ditunjang pembangunan jalan dan jembatan. Pembangunanjalan dan jembatan ini merupakan buah dari perjanjian-perjanjian yang disepakati oleh rakyat di berbagai daerah. Biaya dan pengawasan pembangunannya pun ditanggung oleh rakyat di setiap daerah penaklukan.
Namun, pembangunan di Madinah merupakan instruksi langsung dari Umar. Karena sering didatangi jama’ah haji, jalan-jalan menuju Madinah banyak yang rusak dan tidak ada penampungan air. Maka, pada 17 H, Umar memerintahkan agar jalan diperbaiki, tempat-tempat berteduh antara Makkah dan Madinah dibangun, sumur-sumur tersumbat dibersihkan, dan sumur-sumur baru digali. Semua dilakukan agar ibadah haji dapat dijalankan dengan baik.[11]
Catatan Kaki:
[1] Siar A’lamun Nubala, Juz 2.
[2] At-Thabari, at-Tarikh, hal. 2407
[3] At-Thabari, at-Tarikh, hal. 2647
[4] Al-Faruq Umar Al-Akbar, Maulana Syibli Nu’mani
[5] Disampaikan oleh Ibnu Abdul Barr, dalam Jami’ Bayan Al-‘Ilm, hal. 251, juga Manaqib Umar, hal. 182
[6] Abu Yusuf, Al-Kharaj (hal. 23, 24); Abu Ubaid, Al-Amwal (hal. 58, 59).
[7] Al-Baihaqi (6/354), Ibn Sa’ad (3/219).
[8] Kufah adalah kota yang sangat menyenangkan dan hanya berjarak 3 km dari sungai Eufrat. Orang-orang menjulukinya khaddul adzra (pipi tersayang), karena keindahannya. Di tanah ini, bunga-bunga daisy, kalanit, levender, dan tulip bermekaran bagaikan permadani.
[9] Al-Baladzuri, Futuhul Buldan, dan As-Suyuthi, Husnul Muhadharah, hal. 93 – 94.
[10] Al-Baladzuri, Futuhul Buldan, hal. 347.
[11] Ibid, hal. 357.
2 comments
MashaAllah