Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pasca perang Uhud dan peristiwa Raji’ serta Bi’ru Maunah, kaum munafik dan orang yahudi menjadi semakin berani berbuat kurang ajar kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin, bahkan sampai-sampai orang-orang yahudi itu berencana menghabisi nyawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau berkunjung ke benteng mereka.
Latar Belakang Pengusiran Bani Nadhir
Di pembahasan sebelumnya telah disebutkan bahwa sahabat nabi yang bernama Amr bin Umaiyah adh-Dhamiri, dalam pelariannya untuk meloloskan diri dari serangan di Bi’ru Maunah, telah membunuh dua orang musyrikin dari Bani Kilab. Padahal mereka baru saja pulang dari Madinah untuk menyepakati perjanjian damai dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka, saat mengetahui hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau telah membunuh dua orang. Aku harus membayar diyatnya.“
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta 10 orang sahabat senior—diantaranya Abu Bakar, Umar bin Khathab serta Ali bin Abi Thalib—berangkat menemui Yahudi Bani Nadhir untuk meminta bantuan mereka dalam membayar diyat. Mereka menyanggupinya, tokoh mereka Huyay bin Akhtab berkata,
نَفْعَلُ يَا أَبَا القَاسِمِ , اجْلِسْ حَتَّى نَقْضِيَ حَاجَتَكَ
“Wahai Abul Qasim, kami akan memenuhinya. Silahkan duduk dulu sampai kami bisa memenuhi kebutuhanmu.”
Huyai dan Bani Nadhir ternyata berbohong. Mereka tidak mengumpulkan uang tapi malah berkumpul untuk merencanakan pembunuhan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka melupakan perjanjian damai dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sekarang sedang menjadi tamu mereka.
Salah seorang dari mereka, Amr bin Jahasy menyanggupi untuk melaksanakan hasil persekongkolan. Ia memanjat tembok untuk melemparkan batu ke arah kepala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebelum itu, salah seorang dari mereka, Salam ibnu Misykam, telah berusaha mencegahnya, “Jangan kalian lakukan! Demi Allah, pasti Allah akan memberitahukan rencana kalian ini kepadanya.” Namun peringatan Salam bin Misykan ini tidak diindahkan.
Betapa terkejutnya mereka karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya sudah tidak berada di tempat semula. Beliau dan para sahabat telah meninggalkan tempat mereka karena Allah Ta’ala telah memberitahukan rencana busuk mereka.
Perilaku mereka ini sudah cukup untuk membatalkan perjanjian damai serta mengusir mereka dari Madinah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengutus Muhammad bin Maslamah untuk menyampaikan pesan beliau kepada Bani Nadhir, “Pergilah ke Yahudi Bani Nadlir dan katakan pada mereka: ‘Rasulullah mengutusku untuk menyampaikan pesan pada kalian untuk keluar dari tanah kalian, karena kalian telah mengkhianati janji yang telah disepakati, aku beri tempo kalian selama 10 hari kalau ada yang menolak perintahku ini akan dipenggal ”.
Saat itu, Abdullah bin Ubay bin Salul memberi isyarat kepada Yahudi Bani Nadhir agar tidak mentaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menjanjikan bahwa dia akan membantu mereka dan berada dalam barisan mereka dengan 2000 pasukan yang dimilikinya. Maka orang-orang Yahudi itu membatalkan rencana keluar mereka dan bertekad untuk bertahan di benteng-benteng mereka.
Allah Ta’ala menyebutkan janji manis kaum munafikin tersebut di dalam Al-Qur’an,
لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلَا نُطِيعُ فِيكُمْ أَحَدًا أَبَدًا وَإِنْ قُوتِلْتُمْ لَنَنْصُرَنَّكُمْ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
“Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kami pun akan keluar bersama kamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapa pun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantu kamu”. Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta. (QS. Al-Hasyr, 59: 11)
Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pasukan kaum muslimin bergerak mendatangi mereka sementara itu Yahudi Bani Nadhir bertahan di benteng-benteng mereka dengan menggunakan senjata panah dan batu. Sementara itu Abdullah bin Ubay ternyata mengkhianati mereka.
Kaum muslimin mengepung Bani Nadhir dan diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membabat kebun kurma milik mereka. Kaum Yahudi itu menggugat: “Hai Muhammad, kamu dulu melarang kerusakan dan mencela orang yang melakukannya. Kenapa sekarang kamu membabat dan membakar habis ladang kurma?“
Turunlah firman Allah Ta’ala,
مَا قَطَعْتُمْ مِنْ لِينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا قَائِمَةً عَلَىٰ أُصُولِهَا فَبِإِذْنِ اللَّهِ وَلِيُخْزِيَ الْفَاسِقِينَ
“Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya maka (semua itu) adalah atas izin Allah. Dan Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasiq.” (QS al-Hasyr, 59: 5)
Setelah itu Bani Nadhir menyatakan menyerah dan bersedia meninggalkan Madinah sebagaimana yang diinginkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka diperbolehkan keluar oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya dengan membawa harta yang dapat dibawa oleh unta, kecuali senjata.
Di dalam Sirah Ibnu Hisyam disebutkan: “Sebagian mereka ada yang mencopoti peralatan rumah mereka agar bisa dibawa keluar Madinah. Mereka mengungsi ke Khaibar dan ke Syam. Di antara orang-orang Yahudi itu hanya ada dua orang yang masuk Islam yaitu Yamin bin Umair bin Ka‘ab anak paman Amr bin Jihasy dan Abu Sa‘ad bin Wahab. Kedua orang ini kemudian mendapatkan kembali hartanya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membagikan harta Bani Nadhir ini kepada kaum Muhajirin saja tanpa orang-orang Anshar, kecuali dua orang Anshar yang dikenal sangat miskin yaitu Sahal bin Hanif dan Abu Dujanah Sammak bin Kharsyah.
Sebagai komentar terhadap kebijaksanaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membagi harta bani Nadhir, turunlah firman Allah Ta’ala,
وَمَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْهُمْ فَمَا أَوْجَفْتُمْ عَلَيْهِ مِنْ خَيْلٍ وَلَا رِكَابٍ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يُسَلِّطُ رُسُلَهُ عَلَىٰ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap apa saja yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS Al- Hasyr, 59: 6-7)
Al-Baladziry menyebutkan di dalam Futuhu‘l-Buldan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bercocok tanam di tanah mereka, kemudian hasilnya disimpan untuk makanan keluarga dan istrinya selama setahun dan sisanya untuk keperluan senjata dan kendaraan. Berkenaan dengan Bani Nadhir, Allah Ta’ala menurunkan surat al-Hasyr.
Beberapa Ibrah
- Berita yang disampaikan Allah Ta’ala kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pengkhiantan yang direncanakan oleh orang-orang Yahudi merupakan salah satu perkara luar biasa yang banyak diberikan oleh Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya baik sebelum Kenabian maupun pada saat Kenabian. Hal ini seharusnya menambah keimanan kita kepada Kenabian dan Kerasulannya.
- Tindakan yang diambil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pembabatan kebun kurma dibenarkan oleh Allah Ta’ala melalui firman-Ny : “Apa saja yang kamu tebang dari pohon-pohon kurma (milik orang kafir) ata yang kamu biarkan tumbuh berdiri, seua itu atas ijin Allah swt ….” (QS Al-Hasyr : 5)
Peristiwa ini dijadikan dalil oleh ulama‘ bahwa keputusan untuk menghancurkan ladang musuh atau tidak , tergantung kepada kemaslahatan yang dilihat oleh Imam atau pimpinan. Masalah ini termasuk ke dalam apa yang disebut siyasah (kebijaksanaan pimpinan).
Imam Syafi‘i mengomentari kebijakan Khalifah Abu bakar yang melarang tindakan pembabatan ladang kurma dalam peperangan kaum muslimin di Syam, “Barangkali, Abu Bakar memerintahkan untuk tidak membabat pohon yang berbuah karena dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengabarkan bahwa negeri Syam akan ditaklukan oleh kaum Muslimin. Karena dia boleh memutuskan pembabatan atau tidak, dia memilih tidak membabat karena mempertimbangkan kaum Muslimin.”
Pendapat yang membolehkan pembakaran dan pembabatan ladang kaum kafir apabila diperlukan, adalah pendapat Nafi‘ maula Ibnu umar , Malik Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Syafi‘i, Ahmad, Ishaq, dan jumhur fuqaha‘. Tetapi diriwayatkan pula bahwa al-Laits bin Sa‘ad, Abu Tsaur dan al-Auza‘i tidak membolehkan tindakan itu.
- Para Imam bersepakat bahwa barang rampasan yang diperoleh kaum Muslimin tanpa melalui peperangan (yaitu fa‘i) urusannya diserahkan kepada kebijaksanaan Imam. Dalam hal ini Imam tidak wajib membaginya kepada para tentara (Mujahidin yang ikut berperang). Hal ini didasarkan kepada kebijaksanaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membagi fa‘i bani Nadhir.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membaginya kepada kaum Muhajirin saja. Dan tindakan ini dibenarkan oleh Allah Ta’ala dalam dua ayat yang telah kami sebutkan di atas. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam pembahasan masalah ini yaitu illat yang disebutkan Allah Ta’ala dalam dua ayat yang menjelaskan kebijaksanaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membagi fa‘I Bani Nadhir adalah:
“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.“ (QS al- Hasyr : 7)
Yakni supaya peredaran harta itu tidak hanya terbatas di kalangan kaum kaya saja. Pertimbangan ini menunjukkan bahwa kebijaksanaan Syariat Islam dalam masalah harta kekayaan, secara keseluruhan, didasarkan kepada tercapainya prinsip ini. Semua hukum yang berkaitan dengan masalah ekonomi dan kekayaan, yang banyak dijelaskan oleh kitab-kitab Syariat Islam dimaksudkan untuk menegakkan masyarakat yang adil dengan tingkat kehidupan yang relatif tidak jauh berbeda atas seluruh lapisan masyarakatnya. Tidak ada berbagai ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi yang merusak prinsip keadilan itu.
Seandainya Hukum-hukum Islam , khususnya sistem keuangannya yang menghidupkan zakat, melarang riba dan beraneka macam monopoli diterapkan, niscaya seluruh ummat manusia akan hidup sejahtera. Bisa saja berbeda tingkat pendapatan mereka tetapi semuanya berkecukupan. Tidak ada yang menjadi beban tanggungan bagi yang lain.
Sekalipun demikian, semuanya tetap saling tolong-menolong. Ketahuilah bahwa tujuan Allah swt membuat syariat di dunia ini adalah untuk menegaskan masyarakat yang adil. Untuk tujuan inilah Allah Ta’ala telah membuat berbagai sarana dan sebab yang wajib kita ikuti dan tidak boleh dilanggar. Yakni Allah swt, memperhamba kita dengan disertai tujuan dan sarana. Karena itu tidak boleh dikatakan: “Karena tujuan Islam ialah menegakkan keadilan sosial maka kita bebas menempuh jalan dan sarana untuk mencapai ke arah itu.” Tindakan ini merupakan penyimpangan dari tujuan, dan sarana sekaligus. Tujuan yang diperintahkan Allah Ta’ala kepada kita tidak akan tercapai kecuali dengan mengikuti sarana dan cara yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala pula.