وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ لَا يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ إِلَّا أَمَانِيَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ
“Dan diantara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga.” (QS. Al-Baqarah, 2: 78).
Ayat ini berbicara tentang orang-orang Yahudi. Diceritakan bahwa di antara mereka terdapat orang-orang awam yang mengikuti saja kemauan pendeta-pendeta yang memutar balikkan isi Taurat. Orang-orang awam ini buta huruf, tidak dapat membaca dan menulis. Mereka hanya dapat menghafal kitab Taurat tetapi tidak dapat memahami makna dan kandungan isinya. Sehingga perbuatannyapun tidak mencerminkan apa yang dimaksud oleh isi Taurat itu. Mereka hanya mendasarkan sesuatu kepada sangkaan saja, tidak sampai kepada tingkat keyakinan yang berdasarkan keterangan-keterangan yang pasti yang tidak ada keraguan lagi.
Di bulan ramadhan ini, kita hendaknya bercermin di hadapan ayat ini. Jangan-jangan apa yang terjadi kepada orang-orang Yahudi dahulu kala, telah terjadi pula kepada kaum muslimin di masa kini. Naudzubillah…
Pentingnya Memahami al-Qur’an
Fenomena buta huruf al-Qur’an dan perhatian yang kurang serius pada kajian tafsir/makna al-Qur’an di tengah-tengah masyarakat harus diwaspadai. Kondisi itu harus menjadi bahan evaluasi dalam proses pembinaan keagamaan yang kita lakukan. Jangan sampai kita di ‘nina bobo’-kan oleh berbagai bentuk kegiatan dakwah yang ‘populis dan menyenangkan’ tapi lupa memperhatikan misi utama untuk melakukan penyadaran umat.
Kesadaran umat tentang perlunya memahami makna al-Qur’an harus terus ditumbuhkan. Karena hanya dengan pemahaman itulah al-Qur’an akan memiliki daya kerja dalam jiwa manusia dan mampu men-shibghah-nya menjadi insan bertakwa.
صِبْغَةَ اللَّهِ ۖ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً ۖ وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ
“Shibghah Allah[1], dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah.” (QS. Al-Baqarah, 2: 138)
Bagaimanakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam men-shibghah para sahabatnya dengan al-Qur’an? Bagaimanakah metode mereka dalam mempelajarinya?
Riwayat dari Abi Abdul Rahman as-Sulamiy (seorang tabi’in) menyebutkan tentang hal ini. Ia berkata,
حَدَّثَنَا مَنْ كَانَ يُقْرِئُنَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُمْ كَانُوا يَقْتَرِئُونَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَشَرَ آيَاتٍ فَلاَ يَأْخُذُونَ فِى الْعَشْرِ الأُخْرَى حَتَّى يَعْلَمُوا مَا فِى هَذِهِ مِنَ الْعِلْمِ وَالْعَمَلِ. قَالُوا فَعَلِمْنَا الْعِلْمَ وَالْعَمَلَ
“Telah menceritakan kepada kami orang yang dulu membacakan kepada kami yaitu sahabat-sahabat Nabi saw bahwa mereka dulu mendapatkan bacaan (Al-Qur’an) dari Rasululullah saw sepuluh ayat, mereka tidak mengambil sepuluh ayat yang lainnya sehingga mereka mengerti apa yang ada di dalamnya yaitu ilmu dan amal. Mereka berkata, ‘Maka kami mengerti ilmu dan amal.’” (HR. Ahmad nomor 24197, dan Ibnu Abi Syaibah nomor 29929).
Diriwayatkan pula darinya bahwa Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
كُنَّا نَتَعَلَّمُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَشْرَ آيَاتٍ فَمَا نَعْلَمُ الْعَشْرَ الَّتِي بَعْدَهُنَّ حَتَّى نَتَعَلَّمَ مَا أُنْزِلَ فِي هَذِهِ الْعَشْرِ مِنْ الْعَمَلِ
“Kami dulu belajar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh ayat, kami tidak mengetahui sepuluh ayat yang sesudahnya sehingga kami mempelajari pengamalan apa yang diturunkan dalam sepuluh ayat ini.” (Ath-Thahawi w. 321H/ 933M, Musykilul Atsar, juz 3 halaman 478).
Dari dua riwayat ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pola pembinaan agama yang dilakukan generasi salafu shalih lebih memprioritaskan pada pemahaman dan pengamalan al-Qur’an. Hal ini hendaknya dapat menginspirasi kita dalam melakukan pembinaan umat.
Lemahnya Pemahaman membuat manusia jadi ingkar pada kitab Allah
Jika rendahnya pemahaman terhadap al-Qur’an tidak mendapat perhatian yang serius dari para da’i, maka dikhawatirkan umat ini lambat laun akan terjangkiti ‘penyakit Yahudi’ lainnya, yaitu sikap ingkar dan durhaka kepada perintah-perintah Allah Ta’ala sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 63 dan 93.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّورَ خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاذْكُرُوا مَا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Dan (ingatlah), ketika kami mengambil janji dari kamu dan kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya kami berfirman): ‘Peganglah teguh-teguh apa yang kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada didalamnya, agar kamu bertakwa’”. (QS. Al-Baqarah, 2: 63)
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّورَ خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاسْمَعُوا ۖ قَالُوا سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا
“Dan (ingatlah), ketika kami mengambil janji dari kamu dan kami angkat bukit (Thursina) di atasmu (seraya kami berfirman): ‘Peganglah teguh-teguh apa yang kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!’ mereka menjawab: ‘Kami mendengar tetapi tidak akan mentaati’.” (QS. Al-Baqarah, 2: 93)
Melalui firman-Nya yang agung ini orang-orang Yahudi diseru agar mereka mau berpegang teguh pada kitab Allah serta mengamalkan isi kandunganya dengan penuh kesungguhan dan semangat, serta agar mereka sadar dan bertakwa kepada Allah untuk memperoleh ridha-Nya. Tetapi kemudian kebanyakan dari mereka berpaling dari Taurat dan tidak mau taat kepada Allah Ta’ala. Bahkan ketika dikatakan kepada mereka, ‘Peganglah teguh-teguh apa yang kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!’, mereka menjawab, ‘Kami mendengar tetapi tidak akan mentaati’
Sikap bebal orang-orang Yahudi seperti ini lahir dari lemahnya keimanan. Dan lemahnya keimanan itu disebabkan karena lemahnya pemahaman terhadap kitab Allah Ta’ala.
وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ لَا يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ إِلَّا أَمَانِيَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ
“Dan diantara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga.” (QS. Al-Baqarah, 2: 78).
Terseret pada kekafiran
Marilah kita mengambil pelajaran dari ayat-ayat mulia di atas. Jangan sampai umat Islam mengalami hal yang serupa dengan orang-orang Yahudi di masa lalu. Oleh karena itu, jika gejala penyakit lemahnya pemahaman ini telah nampak di tengah-tengah umat, wajiblah bagi kita untuk segera menanggulanginya. Karena jika dibiarkan, bukan tidak mungkin umat pada akhirnya akan terjatuh pada kekufuran dan pelecehan terhadap agama Allah. Mereka akan menolak hukum-hukum-Nya. Merendahkan aturan-aturan-Nya. Melanggar perintah dan batas-batas yang telah ditentukan oleh-Nya. Bahkan mendustakan sama sekali firman-Nya sebagaimana orang-orang jahiliyah di masa lalu.
إِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِ آيَاتُنَا قَالَ أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ
“Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat kami, ia berkata: “Itu adalah dongengan orang-orang dahulu kala“ (QS. Al-Muthafifin, 83: 13).
Bukankah hari ini kita sudah menemukan orang-orang semacam ini? Mereka-mereka yang mengaku beragama Islam, akan tetapi menjauh dari ajaran Islam. Mereka ragu dan mengajak orang ragu terhadap ajaran Islam. Mereka mempertanyakan kerasulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka meragukan turunnya wahyu dari Allah. Mereka berupaya mentakwil al-Qur’an sesuai keinginan hawa nafsunya tanpa ilmu. Mereka mendewa-dewakan akal pikiran serta menganggap remeh ilmu para ulama. Bukan hanya itu, mereka pun sampai hati menjadikan agama Islam dan al-Qur’an sebagai bahan lelucon.
Jadi, mari kita jadikan momentum bulan suci Ramadan ini sebagai bulan pengajaran al-Qur’an. Bulan penyadaran pentingnya memahami al-Qur’an. Agar kemudian Allah Ta’ala menghindarkan umat ini dari kesesatan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَرَكتُ فِيكُم اَمرينِ مَا اِن تَمَسَّكتُم بِهِمَا لَن تَضِلُّوا اَبَدًا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ رَسُولِهِ
“Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara, yang apabila kalian berpegang teguh kepada keduanya, niscaya kalian tidak akan pernah tersesat selamanya, (dua perkara itu adalah) kitab Allah dan sunnah rasul-Nya.” (HR. Malik dan Hakim).
Catatan Kaki:
[1] Shibghah Allah: celupan Allah yang berarti iman kepada Allah yang tidak disertai dengan kemusyrikan.