Perspektif Aqidah
Pertama, shaum adalah barometer keimanan.
Bukankah seruan perintah shaum ditujukan kepada orang-orang yang beriman kepada Allah? Ya ayyuhalladzina amanu. Maka, bagi seorang muslim, shaum menjadi sarana pembuktian kebenaran iman dan komitmen keislamannya. Renungkan hadits riwayat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berikut ini,
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Islam dibangun di atas lima (pilar): Syahadat Laa ilaaha illa Allah dan (syahadat) Muhammad Rasulullah, menegakkan shalat, membayar zakat, hajji, dan puasa Ramadhan”. (HR. Al-Bukhari)
Kedua, shaum adalah sarana peningkatan iman dan takwa. Tujuan shaum adalah: “la’allakum tattaqun…”. Makna la’alla adalah ta’lil (tujuan) atau tarajji’ (harapan). Ulama ada yang menyebut Shaum Ramadhan dengan istilah riyadhatur ruh (latihan ruhani).
ketiga, Ramadhan adalah syahrul Qur’an (bulan Al-Qur’an). Pada bulan inilah Al-Qur’an diturunkan kepada manusia.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (QS. Al-Baqarah, 2: 185)
Maka, momentum Ramadhan harus menjadi sarana peningkatan interaksi dengan Al-Qur’an. Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata,
وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ
“Jibril menemuinya pada tiap malam malam bulan Ramadhan, dan dia (Jibril) bertadarus Al Quran bersamanya.” (HR. Al-Bukhari No. 3220)
Keempat, Ramadhan adalah bulan ibadah; bulan peningkatan taqarrub kepada Allah Ta’ala. Di bulan ini, selain melaksanakan shaum, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan ibadah i’tikaf untuk meneguhkan penghambaan kepada-Nya.
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
“Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam i’tikaf di setiap Ramadhan 10 hari, tatkala pada tahun beliau wafat, beliau i’tikaf 20 hari.” (HR. Al-Bukhari)
Perspektif Akhlak
Pertama, shaum adalah sarana tarbiyah (pendidikan) dalam menanamkan akhlak mulia, yakni sifat-sifat takwa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُونَ مِنْ الْمُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لَا بَأْسَ بِهِ حَذَرًا لِمَا بِهِ الْبَأْسُ
“Seorang hamba belum mencapai derajat takwa sehingga ia meninggalkan sesuatu yg mubah (boleh) sebagai bentuk kehati-hatian dari sesuatu yg dilarang.” (HR. Ibnu Majah)
Kedua, shaum melatih manusia agar menghindari qaula zur (dusta, sumpah palsu, ghibah, mengadu domba, mencaci, mencela, dll). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan umatnya tentang shaum yang sebenarnya,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَ العَمَلَ بِهِ وَ الجَهْلِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِي أَن يَدَعَ طَعامَه وشرابَه
“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta, mengamalkannya dan bersikap bodoh, maka Allah tidak butuh terhadap sikapnya meninggalkan makan dan minumnya (puasanya)” (HR. Bukhari dan Abu Daud; lafazh hadits ini milik Abu Daud)
Ketiga, shaum melatih manusia agar menghindari Makanan-minuman yang Haram.
Allah Ta’ala berfirman,
وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”(QS. Al-Maidah, 5: 88)
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih- lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf, 7: 31)
Di bulan Ramadhan umat Islam menahan diri dari makanan dan minuman halal di siang hari. Ini adalah bagian dari latihan jiwa agar manusia terbiasa menahan dirinya, terlebih lagi terhadap makanan dan minuman yang haram.
Keempat, shaum melatih manusia agar menghindari zina.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra, 17: 32)
Menjauhi perbuatan zina dapat dilakukan dengan sempurna manakala kita mampu menghindari hal-hal yang dapat menghantarkan kepada zina, seperti: melihat dan menyentuh lawan jenis yang bukan mahram, berkhalwat, dan lain-lain. Saat melaksanakan shaum di bulan Ramadhan, umat Islam dilatih untuk menghindari hal-hal seperti ini.
Kelima, menanamkan kepedulian
Perhatikanlah hadits berikut ini,
فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkara yang sia-sia dan perkataan yang keji sekaligus sebagai makanan bagi orang-orang miskin…” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, menceritakan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَأَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ
“Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling dermawan, dan kedermawanannya semakin menjadi-jadi saat Ramadhan apalagi ketika Jibril menemuinya. Dan, Jibril menemuinya setiap malam bulan Ramadhan dia bertadarus Al Quran bersamanya. Maka, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam benar-benar sangat dermawan dengan kebaikan laksana angin yang berhembus.” (HR. Bukhari No. 3220)
Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
“Barang siapa yang memberikan makanan untuk berbuka bagi orang berpuasa maka dia akan mendapatkan pahala sebagaimana orang tersebut, tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang itu.” (HR. At-Tirmidzi No. 807)
Perspektif Historis
Perintah puasa Ramadhan diturunkan pada tahun 2 Hijriyah. Sebelum diwajibkan puasa Ramadhan, kaum muslimin melakukan puasa Asyura, seperti yang dilakukan orang-orang Yahudi. Hal ini terungkap dari hadits berikut ini,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا ، يَوْمَ عَاشُورَاءَ ، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي تَصُومُونَهُ ؟ ” فَقَالُوا : هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ ، أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ ، وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ ، فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا ، فَنَحْنُ نَصُومُهُ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ “
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat datang di Madinah mendapati orang-orang Yahudi melakukan shaum pada hari ‘Asyura. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka, “Hari apakah ini dimana kalian melakukan shaum di dalamnya?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari yang agung. Pada hari ini Allah menyelamatkan nabi Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya. Maka nabi Musa melakukan shaum sebagai wujud syukur kepada Allah. Oleh karena itu kami juga melakukan shaum.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami lebih wajib dan lebih layak mengikuti shaum Musa daripada kalian.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shaum ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk melakukan shaum ‘Asyura juga.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dengan lafal Muslim)
Pada awalnya kaum muslimin memang selalu membersamai ahli kitab.
- Kaum muslimin memiliki kiblat yang sama dengan orang-orang Yahudi, yaitu Baitul Maqdis.
- Rasulullah dan kaum muslimin melaksanakan shaum Asyura sebagaimana orang-orang Yahudi.
- Selama belum ada perintah tentang sesuatu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih senang menyesuaikan dengan Ahlul Kitab.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُسْدِلُ شَعْرَهُ، وَكَانَ الْمُشْرِكُونَ يَفْرِقُونَ رُءُوسَهُمْ، وَكَانَ أَهْلُ الْكِتَابِ يُسْدِلُونَ رُءُوسَهُمْ، وَكَانَ يُحِبُّ مُوَافَقَةَ أَهْلِ الْكِتَابِ فِيمَا لَمْ يُؤْمَرْ فِيهِ بِشَيْءٍ، ثُمَّ فَرَقَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأْسَهُ
“Sesungguhnya dulu Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam menyisir rambutnya ke belakang. Adapun musyrikin membagi rambutnya (ke kiri dan ke kanan). Sedangkan Ahlul Kitab menyisir rambutnya ke belakang. Beliau suka menyesuaikan dengan Ahlul Kitab selagi belum diperintah dalam sesuatu hal. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam membagi rambutnya (ke kiri dan ke kanan)” (HR. Al-Bukhari)
Pada awal bulan Sya’ban, 16 bulan setelah hijrah, turunlah syariat pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram. Imam Abu al-Fida Ismail Ibnu Katsir berkata,
كَانَ أَوَّلُ مَا نُسِخَ مِنَ الْقُرْآنِ الْقِبْلَةُ، وَذَلِكَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا هَاجَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ، وَكَانَ أَهْلُهَا الْيَهُودَ، أَمَرَهُ اللَّهُ أَنْ يَسْتَقْبِلَ بَيْتَ الْمَقْدِسِ، فَفَرِحَتِ الْيَهُودُ، فَاسْتَقْبَلَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِضْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يحب قبلة إبراهيم، وكان يَدْعُو وَيَنْظُرُ إِلَى السَّمَاءِ
“Yang pertama kali di-naskh dalam Al-Qur’an ialah kiblat, bahwasanya Rasulullah SAW ketika hijrah ke Madinah, sementara penduduk madinah mayoritas adalah Yahudi, Allah memerintahkan untuk menghadap Baitul Maqdis (ketika shalat), maka berbahagialah orang Yahudi. Rasulullah menghadap Baitul Maqdis (ketika shalat) selama lebih dari 10 bulan, padahal beliau lebih senang pada kiblatnya Nabi Ibrahim (Ka’bah), maka beliau seringkali berdoa dan menghadap ke langit” (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1419 H, juz I, hal. 272)
Peristiwa ini benar-benar telah mengakhiri titik-titik pertemuan antar kaum muslimin dengan Yahudi. Hal ini semakin membangkitkan kebencian dan kedengkian orang-orang Yahudi.
Setelah itu turun pula syariat shaum Ramadhan yang ‘mengganti’ kebiasaan puasa Asyura. DidalamTarikh Thabari (Jil.2, hlm. 417) disebutkan bahwa perintah berpuasa di bulan Ramadhan telah diumumkan sejak bulan Sya’ban juga pada tahun 2 H tersebut.
Turun pula syariat zakat yang berbeda dengan tradisi zakat yang dikenal ahli kitab. Semua ini menegaskan bahwa kaum muslimin adalah satu bangsa dengan jati diri tersendiri.
Hikmahnya, saat ini kita harus menyadari kemuliaan dan kesempurnaan syariat agama. Umat ini memiliki konstruksi keagamaan tersendiri. Maka, mereka tidak boleh tasyabbuh terhadap non muslim. Perhatikan hadits dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu berikut ini. Ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669)
Imam Nawawi –rahimahullah– ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dzira’ (hasta) serta lubang dhab (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashrani. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal-hal kekafiran mereka yang diikuti. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.” (Syarh Muslim, 16: 219)
Wallahu A’lam.