Umat Islam adalah umat yang moderat. Hal ini sebagaimana yang Allah gambarkan dalam Alquran,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ
Demikianlah Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang moderat agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.[1]
Ia adalah umat penggenggam akidah dan risalah; bukan umat rasisme yang berafiliasi kepada suku bangsa dan ras tertentu; bukan umat yang dibatasi oleh ruang lingkup teritorial yang berafiliasi kepada negara atau wilayah tertentu entah di Barat atau di Timur; serta bukan pula umat yang dibatasi oleh bahasa dengan berafiliasi kepada bahasa tertentu.
Akan tetapi, ia adalah umat yang berskala global yang meski berbeda suku bangsa, tanah air, bahasa, dan ras, namun disatukan oleh akidah, syariah, nilai, dan kiblat yang sama.
Walaupun bahasa umat ini berbeda sesuai dengan daerahnya, namun ia memiliki satu bahasa bersama; yaitu bahasa Arab. Bahasa Arab menjadi bahasa komunikasi antar kaum muslimin. Ia merupakan bahasa ibadah dan kebudayaan Islam. Ia juga merupakan bahasa peradaban Islam yang dikuasai secara baik oleh sejumlah orang cerdas yang sebagian besarnya berasal dari luar Arab.
Dalam tubuh umat ini terdapat bangsa Arab dan non-Arab, kulit putih dan hitam, orang Barat dan Timur, orang Afrika, Eropa, Asia, Amerika, dan Australia. Mereka semua disatukan oleh Islam di atas kalimat yang sama. Seluruh perbedaan yang ada di antara mereka; entah itu ras, warna kulit, bahasa, teritorial, atau status sosial telah lebur. Seluruhnya menjadi satu umat yang diikat oleh persaudaraan mendalam berdasarkan keimanan kepada Tuhan, kitab suci, rasul, dan konsep yang sama yang menghimpun keseluruhannya sekaligus menguatkan ikatannya. Allah befirman,
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Jalanku ini adalah jalan yang lurus. Karena itu, ikutilah ia. Jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang lain sebab akan membuat kalian menyimpang dari jalan-Nya.[2] (Q.S. al-An’âm: 153).
Islam membolehkan seseorang mencintai tanah air dan negaranya serta merasa bangga dengannya selama hal itu tidak bertentangan dengan kecintaan dan kebanggaannya terhadap agama serta tidak menghambat terwujudnya persatuan umat Islam. Islam selalu terbuka bagi seluruh ikatan kemanusiaan entah itu berupa kebangsaan, nasionalisme, ataupun yang lain. Persoalan baru muncul ketika substansi ikatan kemanusiaan tadi bertentangan dengan Islam atau ketika ia sudah mengarah kepada sikap fanatisme kelompok.
Rasulullah saw. berhasil membangun umat ini sebagaimana yang Allah gambarkan dalam Alquran,
Umat terbaik yang dikeluarkan bagi manusia.[3]
Ia adalah umat yang tidak lahir untuk kepentingan dirinya sendiri. Akan tetapi, ia dimunculkan untuk manusia, untuk memberi manfaat, untuk memberi petunjuk, serta untuk membahagiakan umat manusia. Kebaikan umat ini terletak pada gambaran Allah sebagai berikut,
تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Kalian melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, serta beriman kepada Allah.[4]
Ia adalah umat penggenggam risalah yang bersifat rabbani, manusiawi, bermoral, dan universal yang terangkum dalam dua hal:
Pertama, keimanan kepada Allah semata. Ini mencakup tiga unsur fundamental: (1) hanya bertuhan kepada Allah; (2) hanya berlindung kepada Allah, serta (3) hanya berhukum kepada Allah. Ia merupakan tiga unsur tauhid yang menjadi landasan akidah pada seluruh madzhab Islam.
Kedua, ia menyeru manusia kepada kebenaran, kebaikan, dan contoh mulia di mana Alquran melukiskannya dengan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Ma’ruf adalah satu kata yang mencakup segala makna kebenaran dalam hal akidah, kejujuran dalam berbicara, kelurusan pandangan, serta kebaikan dalam tindakan. Sementara, kata mungkar bermakna sebaliknya. Ia mencakup keyakinan yang batil, ucapan dusta, pandangan keliru, perbuatan jahat, dan sikap yang menyimpang.
Umat dituntut untuk melaksanakan tugas tersebut sehingga mereka bisa meluruskan sesuatu yang bengkok, serta memperbaiki apa yang rusak dari segala persoalan hidup. Allah befirman,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Hendaknya ada segolongan orang dari kalian yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, serta melarang kemungkaran. Mereka itulah orang yang beruntung.[5]
Dalam perjalanan sejarahnya umat ini menghadapi banyak ujian, cobaan, fitnah, dan serangan, entah dari Timur seperti pasukan Mongol atau dari Barat seperti pasukan salib. Semua itu nyaris melenyapkan eksistensinya. Namun dengan cepat Allah memunculkan sejumlah tokoh yang membelanya seperti Imaduddin, Nuruddin, dan Sholahuddin. Mereka menghidupkan umat ini kembali dari kematian, serta menyatukannya dari yang tadinya berserakan. Maka, umat inipun memiliki vitalitas dan kekuatan, mampu mengusir para agresor, dan kembali ke dalam kancah kehidupan.
Saat ini umat Islam menghadapi berbagai serangan dengan format baru. Umat ini hendak dirubah dari dalam lewat tangan para pemeluknya sendiri dengan cara merubah identitasnya, akidahnya, serta pandangannya terhadap agama, kehidupan, individu, masyarakat, makhluk, Khaliq, dunia, akhirat, manusia, dan alam semesta.
Umat tidak dapat melawan sang thogut baru ini kecuali dengan berpegang kepada tali Tuhan yang tidak pernah lekang; yaitu tali Islam, seraya mengucap seperti yang dikatakan Umar ibn al-Khattab, “Tadinya kita adalah kaum yang paling hina. Kemudian Allah muliakan kita dengan Islam. Maka kalau kita mencari kemuliaan dengan selainnya, niscaya Allah menghinakan kita.”
Ia juga harus berpegang kepada ucapan Anas ibn Mâlik, “Generasi akhir umat ini tidak akan menjadi baik kecuali dengan sesuatu yang menjadikan generasi pertama baik.” Tidaklah generasi pertama berada dalam kebaikan kecuali dengan berpegang kepada kitab Allah dan sunnah Rasul saw. Kemudian yang harus menjadi semboyannya adalah,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
Berpeganglah kalian semua kepada tali Allah dan jangan berpecah belah![6]
Catatan Kaki:
[1] Q.S. al-Baqarah: 143
[2] Q.S. al-An’âm: 153.
[3] Q.S. Ali Imrân: 110.
[4] Q.S. Ali Imrân: 110.
[5] Q.S. Ali Imrân: 104.
[6] Q.S. Ali Imrân: 103.