Landasan pertama di mana umat tegak di atasnya dan dengannya adalah akidah Islam.
Karena itu, tugas umat ini adalah menanamkan akidah, memeliharanya, mengokohkannya, melindunginya, serta membentangkan cahayanya ke seluruh penjuru dunia.
Akidah Islam tercermin dalam keimanan kepada Allah, malaikat, kitab suci, para rasul, dan hari akhir.
آَمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آَمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
Rasul telah beriman kepada Alquran yang diturunkan kepadanya dari Tuhan. Demikian pula orang-orang yang beriman, semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata), “Kami tidak membeda-bedakan antara seorang rasul dengan rasul-rasul-Nya yang lain.” Mereka juga berkata, “Kami mendengar dan kami taat.” (Mereka berdoa), “Ampunilah kami wahai Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”[1]
Ia adalah akidah yang membangun bukan menghancurkan serta menyatukan bukan memecah belah. Pasalnya, ia tegak di atas peninggalan seluruh risalah Tuhan dan tegak di atas keimanan pada seluruh rasul-Nya.
Kami tidak membeda-bedakan antara seorang rasul dengan yang rasul-rasul-Nya yang lain.
وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.[2]
As-Sunnah menambah kelima rukun iman yang terdapat dalam Alquran dengan iman kepada qadar. Ia termasuk dalam aspek keimanan kepada Allah Swt. karena terkait dengan ilmu, kehendak, dan kekuasaan-Nya. Seluruh yang terjadi di alam ini terwujud dengan takdir dan pengaturan Allah; bukan terjadi begitu saja.
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ketentuan yang telah ditetepkan.[3]
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ . لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.[4]
Akidah ini memiliki simbol yang merangkumnya atau lambang yang menjadi penjelasan darinya. Yaitu syahadat kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
Akidah ini mencerminkan sudut pandang kaum muslimin terhadap dunia, Tuhan, materi, alam immateri, kehidupan, apa yang ada di balik kehidupan, alam kasat mata, dan alam yang tak terlihat oleh mata. Dengan kata lain, ia merupakan sudut pandang kaum muslimin terhadap Khalik dan makhluk, dunia dan akhirat, serta alam nyata dan alam gaib.
Siapa yang tidak mengenal hakikat ini di dunia, tirainya akan tersingkap di akhirat. Ia akan melihatnya secara jelas sejelas mentari di waktu dhuha.
إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آَتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا لَقَدْ أَحْصَاهُمْ وَعَدَّهُمْ عَدًّا وَكُلُّهُمْ آَتِيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَرْدًا
Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sebagai seorang hamba. Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.[5]
Inilah pengertian dari tiada Tuhan selain Allah. Artinya, tidak ada yang layak disembah selain-Nya. Ketundukan hanya tertuju kepada-Nya.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.[6]
Hanya kepada-Nya kepala ini tunduk, kepada keagungan-Nya kening ini bersujud, dengan memuji-Nya lisan ini bertasbih, dan kepada hukum-Nya hati, akal, dan tubuh taat serta patuh.
Hanya kepada-Nya seluruh hati tertuju dengan penuh cinta. Hanya Dia yang Maha Sempurna. Kesempurnaan tentu saja dicintai demikian pula dengan Pemiliknya. Dia adalah sumber segala keindahan. Seluruh keindahan yang terdapat di alam ini adalah berasal dari-Nya. Keindahan tentu saja dicintai demikian pula dengan Pemiliknya. Dia pemberi seluruh nikmat dan sumber segala kebaikan.
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ
Seluruh nikmat yang ada pada kalian berasal dari Allah.[7]
Kebaikan tentu saja dicintai. Demikian pula dengan nikmat dan Pemiliknya.
Makna kalimat ”tiada Tuhan selain Allah” adalah menolak ketundukan dan pengabdian kepada seluruh kekuasaan selain kekuasaan-Nya, semua hukum selain hukum-Nya, setiap perintah selain perintah-Nya, serta hanya menunjukkan loyalitas dan cinta kepada-Nya.
Kalimat yang baik ini sama seperti pohon yang baik yang akarnya kokoh dan cabangnya menjulang ke langit di mana ia menghasilkan buah setiap waktu dengan ijin Tuhannya.
Di antara buahnya yang paling nikmat adalah merdekanya pikiran dan perasaan dari rasa takut dan tunduk kepada siapapun; merdeka dari segala bentuk kesombongan dan kelaliman; merasa sama dengan yang lain tanpa ada yang menjadi Tuhan bagi lainnya. Bahkan, pada dasarnya mereka bersaudara dengan berasal dari ayah dan ibu yang sama.
Karena itu, seluruh surat Rasul saw. kepada para kaisar dan pimpinan yang berasal dari ahlul kitab ditutup dengan ayat berikut,
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
Katakanlah, “Wahai ahlul kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kalian, bahwa kita tidak menyembah kecuali Allah; kita tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatupun; serta tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah.”[8]
Kita meyakini bahwa Islam tidak mengenal adanya perdukunan dan golongan dukun yang memonopoli agama, mengendalikan jiwa, dan menutup pintu Allah di hadapan manusia kecuali lewat jalur mereka di mana larangan dan pengampunan bersumber dari mereka. Sementara, dalam Islam setiap orang menjadi pimpinan bagi agama mereka. Seseorang tidak membutuhkan perantara antara diri dan Tuhannya. Dia lebih dekat kepadanya daripada urat nadi. Setiap muslim dapat melaksanakan salat dan kewajibannya kepada Tuhan di tempat manapun juga sebagaimana sabda Rasul saw.,
وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ
”Seluruh bumi dijadikan untukku sebagai masjid yang suci. Karena itu, siapapun dari umatku yang kedatangan waktu salat, hendaknya ia salat.”[9]
Imam dalam shalat adalah pemimpin, bukan orang suci. Setiap muslim bisa saja menjadi imam selama memenuhi syarat-syarat agama.
Setiap muslim bisa menjalankan berbagai kewajibannya tanpa perantara. Sangkaan manusia akan keharusan adanya pembimbing dalam haji misalnya sama sekali tidak mempunyai landasan dalam agama. Dalam haji tidak ada sesuatu yang mengharuskan keberadaan pembimbing. Cukuplah seorang muslim memperlajari bagaimana cara menunaikan ibadahnya sehingga bisa menunaikan seperti yang Allah perintahkan.
Kalaupun ada di antara kaum muslim yang melakukan dosa kecil atau dosa besar, Allah berikan untuknya sejumlah hal yang bisa menjadi pembersih dan penghapusnya. Entah itu wudhu, shalat, puasa, sedekah, zikir, ujian dan cobaan yang menimpa, serta istigfar dan tobat. Ia tidak membutuhkan keberadaan orang suci guna yang mengakui dosa di hadapannya seraya memintanya untuk menjadi perantara baginya di sisi Allah.
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwa Aku adalah dekat.[10]
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa. Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[11]
Ulama agama dalam Islam adalah pewaris nabi sekaligus pimpinan umat. Mereka merupakan para ahli dalam bidang spesialisasi mereka yang menjadi rujukan sebagaimana para pemilik ilmu lain.
فَاسْأَلْ بِهِ خَبِيرًا
Maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia.[12]
وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ
Tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu seperti yang diberikan oleh yang Maha Mengetahui[13]
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka, bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.[14]
Setiap muslim kalau ia mau bisa menjadi ulama agama dengan cara belajar dan mengambil spesialisasi; bukan dengan pewarisan, dengan gelar, pakaian, dan monopoli.
Islam menolak adanya pemilahan ilmu kepada yang bersifat agama dan bukan agama. Sehingga tidak ada keterpisahan antara manusia, pengajaran, hukum, dan lembaga. Semuanya harus dalam rangka memperjuangkan Islam.
[1] Q.S. al-Baqarah: 285.
[2] Q.S. al-Nisâ: 136.
[3] Q.S. al-Qamar: 49.
[4] Q.S. al-Hadîd: 23.
[5] Q.S. Maryam: 93-95.
[6] Q.S. al-Fatihah: 5.
[7] Q.S. al-Nahl: 53.
[8] Q.S. Ali Imrân: 64.
[9] H.R. al-Bukhârî, Abi Dawud, dan Ahmad.
[10] Q.S. al-Baqarah: 186.
[11] Q.S. al-Zumar: 53.
[12] Q.S. al-Furqân: 59.
[13] Q.S. Fâthir: 14.
[14] Q.S. al-Nahl: 43.