Pertama, kita berpandangan bahwa syariah Islam adalah wahyu Allah Swt. yang tercermin dalam Alquran al-Karîm dan sunnah Nabi yang sahih. Sementara, fiqih Islam adalah aktivitas akal seorang muslim yang berijtihad dalam rangka memahami Alquran dan as-Sunnah, serta mengambil kesimpulan hukum amaliyah darinya. Dengan demikian, syariah adalah wahyu Tuhan, sementara fiqih adalah hasil aktivitas manusia.
Hanya saja, fiqih tersebut dalam ijtihad, pemikiran, dan melakukan istinbath hukumnya harus mengacu kepada pertimbangan syariah, rasio, dan bahasa yang harus dijadikan pegangan oleh muslim. Kaum muslimin telah berhasil menemukan sebuah ilmu yang dianggap sebagai salah satu kebanggaan warisan ilmiah Islam. Yaitu ilmu ushul fiqih yang menjadi acuan dalam memberikan sebuah dalil terkait dengan sesuatu yang ada nash-nya ataupun yang tidak ada nash-nya. Bahkan sebelum ilmu ushul fiqih ditulis dengan cara metodologis, para fuqaha sudah mengacu kepada kaidah-kaidahnya meski istilah dan namanya belum ada. Cara tersebut dilakukan baik oleh kalangan yang lebih cenderung kepada atsar (naql) maupun oleh kalangan yang lebih cenderung mempergunakan akal.
Yang penting untuk dipahami oleh kita di sini bahwa syariat tidak mengawang-awang di udara. Akan tetapi, ia berada di dalam fiqih Islam itu sendiri, entah dalam hal yang sudah disepakati ataupun dalam hal yang masih belum disepakati, entah yang sudah baku berdasarkan wahyu dan sudah tetap berdasarkan ijtihad. Selama ijtihad tersebut dilakukan oleh ahlinya dan pada tempatnya, maka ia termasuk dalam kerangka syariat atau syariat terkandung di dalamnya.
Yang mereka inginkan dari sikap kita meninggalkan fiqih Islam atau mencampakkannya dari khazanah peradaban kita sebenarnya adalah agar kita mencampakkan seluruh syariat Islam dari kehidupan. Pasalnya, ia berada dalam rahim fiqih itu sendiri.
Hanya saja kita dituntut untuk memilah antara yang sudah baku atau permanen dan yang bisa berubah; yaitu hukum-hukum yang sesuai dengan waktu dan tempatnya tetapi tidak sesuai lagi pada saat ini karena perubahan kondisi seperti bunyi ungkapan, ”Perubahan hukum bisa terjadi akibat perubahan zaman.” Hal inilah yang disebutkan oleh majalah al-Ahkâm dalam salah satu materinya.
Kedua, kita dalam Persatuan Ulama Islam se-Dunia berpegang pada fiqih yang beraliran moderat yang memahami nash demi nash sesuai dengan tujuan umumnya tanpa mempertentangkan antara keduanya. Ia mengkaji maksud tujuan nash sebelum mengeluarkan hukumnya. Selain itu, ia memahami nash sesuai dengan konteks, berbagai faktor, dan sebab yang mempengaruhinya. Lalu, memilah antara tujuan yang bersifat tetap dan sarana yang bisa berubah; menyelaraskan secara bijak antara syariat yang permanen dan bisa berubah; serta memilah antara urusan ibadah dan urusan muamalah. Sebab, prinsip utama dalam ibadah adalah terlarang kecuali jika diijinkan oleh syariat sehingga tidak ada yang berani menetapkan sesuatu dalam hal agama dalam sesuatu yang tidak diijinkan oleh Allah. Sementara, prinsip utama dalam urusan muamalah adalah boleh kecuali ada nash syariat yang melarangnya.
Di samping itu, prinsip utama dalam ibadah adalah beribadah sesuai dengan tuntunan nash tanpa melihat kepada sebab dan esensi di baliknya. Adapun prinsip utama dalam adat dan muamalah adalah melihat kepada sebab, esensi, dan tujuannya.
Kita berpegang pada ucapan ma’tsur yang diterima baik oleh umat. Yaitu, ”Bangunan dan landasan syariat adalah kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat. Seluruhnya berupa keadilan, rahmat, kebijaksanaan dan kemaslahatan. Persoalan apapun yang keluar dari keadilan menuju pada ketidakadilan, dari rahmat menuju kebalikannya, serta dari kebijaksanaan menuju kepada kesia-siaan sama sekali bukan termasuk syariat meskipun dimasukkan ke dalamnya lewat takwil.”
Ketiga, kita berpandangan bahwa pintu ijtihad dalam agama selalu terbuka dan akan senantiasa terbuka. Pasalnya, tidak ada seorangpun yang berhak menutup pintu yang telah dibuka oleh Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, ia termasuk fardhu kifayah atas umat. Sebagian imam kita berpendapat bahwa tidak boleh ada satu era yang kosong dari seorang mujtahid yang bertugas menjelaskan hukum syariat terkait dengan berbagai hal yang baru ditemui oleh manusia.
Kita pada masa sekarang ini lebih membutuhkan ijtihad faktual karena zaman yang telah sangat berubah daripada zaman generasi sebelum kita di era ijtihad fiqih. Apabila para penerus dan pengikut Abu Hanifah berkata, ”Ini adalah perbedaan masa dan waktu; bukan perbedaan hujah dan dalil, ” padahal jarak antara zaman mereka dan zaman imam mereka demikian dekat dan kehidupan saat itu relatif tenang, apalagi beberapa abad setelah era ijtihad. Ditambah lagi, segala sesuatu dalam kehidupan kita telah berubah dari sebelumnya.
Karena itu, kita harus membuka pintu ijtihad dengan segala bentuknya baik yang bersifat global maupun parsial, mutlak maupun terikat, yang muncul dalam berbagai persoalan baru maupun hasil seleksi dari fiqih warisan.
Akan tetapi, pintu ijtihad hanya terbuka bagi orang yang ahli dan pada tempatnya. Yang dimaksud ahli adalah setiap orang yang memiliki syarat-syarat kelayakan fundamental seperti yang disepakati oleh para ahli ushul dan fuqaha. Di antaranya memahami Alquran dan as-Sunnah secara mendalam sehingga mampu mengambil kesimpulan hukum darinya; menguasai bahasa Arab berikut seluruh ilmunya; mengetahui ushul fiqih dan tujuan-tujuan syariat; memahami fiqih dan perbedaan pandangan di antara para ulama sehingga kemampuan merumuskan fiqih terbentuk pada dirinya lewat istinbath hukum-hukum amaliyah dari dalilnya satu persatu. Selain itu, ijtihad tersebut juga harus pada tempatnya. Yaitu wilayah hukum yang bersifat zhanni (tidak pasti). Yang dimaksud dengannya adalah persoalan yang dalilnya masih bersifat zhanni baik dari segi keberadaannnya, petunjuknya, maupun keduanya. Sebagian besar syariat berasal dari pintu ini.
Sementara segala persoalan yang bersifat qath’i (sudah baku dan pasti) tidak ada ruang bagi ijtihad di dalamnya. Jumlahnya juga sedikit. Hanya saja, ia sangat penting. Ia menggambarkan sejumlah hal yang bersifat baku yang bisa menjaga persatuan umat dari segi akidah, pemikiran, emosi, dan perilaku sehingga tidak terurai dan terpecah dari yang tadinya satu umat menjadi banyak. Semua persoalan yang bersifat zhanni dikembalikan kepada yang bersifat qath’i dan dipahami sesuai dengan kerangkanya.
Keempat, kami mengajak untuk membuka pintu-pintu fiqih perbandingan antar seluruh madzhab untuk bisa sampai kepada fiqih Islam yang integral. Kami juga mengajak untuk mendirikan sejumlah lembaga ilmiah yang menghimpun para wakil dari berbagai madzhab Islam untuk mengkaji dan berijtihad dalam berbagai persoalan yang terkait dengan umat.