Oleh: Farid Nu’man Hasan
Islam sebagai agama yang sesuai dengan fitrah tidak pernah luput dalam memberikan jalan keluar bagi permasalahan manusia walaupun yang sederhana. Termasuk bagaimana mengendalikan diri ketika marah. Secara normatif sudah kami paparkan pandangan Islam yang amat pertengahan dan proporsional terhadap marah. Bolehlah dikatakan, apa yang kami paparkan di atas adalah “landasan ideologis” tentang meletakkan amarah dalam diri manusia.
Selanjutnya adalah “landasan operasional” tentang mengendalikan marah, walau sebenarnya pada hadits arbain no. 16 ini sudah merupakan salah satu solusi nabawi; Laa taghdhab (jangan marah). Berikut solusi lain dari apa yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ajarkan (Syaikh ‘Athiyah Salim menyebut solusi ini bersifat tadaarruj –bertahap):
Dzikrullah (Mengingat Allah Ta’ala)
Ketika emosi kita sedang meluap memang agak sulit berdzikir, oleh karenanya harus dipaksakan dan bermujahadah untuk melakukannya. Sebab inilah cara awal yang mujarab untuk mengembalikan kondisi normal bagi hati kaum beriman.
Allah Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. Ar Ra’du (13): 28)
Dzikir yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ajarkan ketika sedang marah adalah membaca isti’adzah (dzikir perlindungan), karena marah juga merupakan godaan syetan kepada manusia, dan kita berlindung kepada Allah Ta’ala dari semua bentuk gangguannya.
Sulaiman bin Shurad Radhiallahu ‘Anhu berkata:
اسْتَبَّ رَجُلَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ عِنْدَهُ جُلُوسٌ وَأَحَدُهُمَا يَسُبُّ صَاحِبَهُ مُغْضَبًا قَدْ احْمَرَّ وَجْهُهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ لَوْ قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ فَقَالُوا لِلرَّجُلِ أَلَا تَسْمَعُ مَا يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنِّي لَسْتُ بِمَجْنُونٍ
Dua orang laki-laki saling memaki di hadapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sedangkan kami sedang duduk-duduk di sisinya. Salah satu orang tersebut memaki sahabatnya dengan marahnya, dan wajahnya memerah. Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Saya akan ajarkan sebuah perkataan yang jika diucapkan akan menghilangkan apa yang sedang terjadi (amarah), seandainya dia mengucapkan: a’udzubillahi minasy syaithanirrajim.”
Mereka berkata kepada laki-laki itu: “Apakah kamu dengar apa yang dikatakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?” Laki-laki itu menjawab: “Saya bukan orang gila!” (HR. Bukhari No. 6115, dan Muslim, dalam lafaz Muslim No. (109) (2610): hal taraa biy min majnuun ? (Apakah kau melihatku sebagai orang gila?), dalam lafaz lain dalam riwayat Muslim No. (110) (2610): A majnuunan taraaniy? (apakah kau melihatku sebagai orang gila?)
Berwudhu
Ini merupakan tahapan selanjutnya, berdasarkan hadits nabi:
إِنَّ الْغَضَبَ مِنَ الشَّيْطَانِ ، وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنَ النَّارِ ، وَالْمَاءُ يُطْفِئُ النَّارَ ، فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ
Sesungguhnya marah itu dari syetan, dan syetan tercipta dari api, dan air mampu memadamkan api, maka jika salah seoranhg kalian marah hendaknya dia berwudhu. (HR. Bukhari dalam At Tarikh Al Kabir, 7/8, Ahmad No. 17985, Abu Daud No. 4784, Ibni Abi ‘Ashim dalam Al Aahad wal Matsani No. 1267, 1431, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 8291)
Namun para ulama mendhaifkan hadits ini, seperti Syaikh Syu’aib Al Arnauth (Tahqiq Musnad Ahmad No. 17985), juga Syaikh Al Albani (Dhaiful Jami’ No. 1510, As Silsilah Adh Dhaifah No. 582, dan beberapa kitabnya yang lain)
Walau pun hadits ini dhaif, tidaklah menganulir bahwa marah itu berasal dari syetan. Sebab hal itu telah diisyaratkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Syaikhan (Bukhari-Muslim) dari Sulaiman bin Shurad (lihat solusi no 1). Yakni ketika nabi mengajarkan: a’udzubillahi minasy syaithaanirrajim, bagi orang yang marah menunjukkan bahwa marah adalah berasal dari syetan. Oleh karena itu, Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah menyebutkan bahwa secara makna hadits ini adalah shahih. (Syarh Sunan Abi Daud, 27/395. Syamilah)
Syaikh ‘Athiyah Salim Rahimahullah menyebutkan:
والحكمة أنه إذا توضأ حبس الغضب في أطرافه، فلم يجد له منفذاً فيهدأ، فإن لم يذهب فليغتسل.
Hikmahnya adalah jika seseorang berwudhu maka itu akan mencegah kemarahan yang ada pada anggota badannya, dia tidak ada jalan untuk marah lalu menjadi reda, jika belum hilang juga, maka hendaknya dia mandi. (Syarhul Arbain An Nawiyah, 40/16)
“Mandi” merupakan ijtihad dari Syaikh ‘Athiyah Salim. Bisa jadi karena fungsi air untuk mematikan api, dan mandi biasanya menggunakan air lebih banyak dibanding wudhu. Sehingga kemungkinan mematikan kobaran api juga lebih besar. Wallahu A’lam
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr menjelaskan pula:
معناه: أن هذا من الوسائل التي يكون بها تخفيف الغضب؛ لأن الغضب من الشيطان، والشيطان خلق من نار، والنار يطفئها الماء، فكون الإنسان يتوضأ فإنه يخفف من وطأة الغضب عليه.
Maknanya: ini adalah di antara sarana yang dengannya bisa meringankan marah, karena marah itu berasal dari syetan, dan syetan tercipta dari api, dan api dipadamkannya dengan air, maka kondisi manusia yang berwudhu akan meringankan tekanan amarah yang ada padanya. (Syarh Sunan Abi Daud, 27/395. Syamilah)
Wallahu A’lam
Jika marah sambil berdiri maka duduklah, jika masih marah, berbaringlah
Ini adalah tahapan selanjutnya atau cara lain untuk meredam amarah. Hal ini diajarkan langsung oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dari Abu Dzar Al Ghifari Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
قَالَ لَنَا إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ
Berkata (Rasulullah) kepada kami: jika salah seorang kalian marah dan dia sedang berdiri maka duduklah, itu jika mampu menghilangkan marahnya, jika tidak maka hendaknya berbaring. (HR. Abu Daud No. 4782, Ahmad No. 21348, Ibnu Hibban No. 5688)
Berkata Syaikh Syu’aib Al Arnauth: “Para rijal(perawi)-nya adalah terpercaya dan termasuk perawi shahih, tetapi ada perselisihan tentang Daud bin Abi Hindi yang terdapat pada sanadnya.” (Tahqiq Musnad Ahmad No. 21348).
Yang benar adalah Daud bin Abi Hindi seorang tsiqah, dan Imam Bukhari telah meriwayatkan darinya secara mu’allaq, juga Imam Muslim dan para penyusun kitab Sunan (Ash Habus Sunan). (Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr, Syarh Sunann Abi Daud, 27/393)
Syaikh Al Albani menshahihkannya. (Shahihul Jami’ No. 694)
Ini merupakan solusi yang mengagumkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Anda lihat betapa tidak lazimnya manusia marah-marah sambil posisi duduk apalagi berbaring. Oleh karenanya, dua posisi ini adalah posisi yang paling mungkin kita ambil, untuk mengurangi gerakan tangan dan juga kegusaran hati, serta semakin memendekkan jangkauan tangan dan kaki untuk berbuat kasar. Berbeda dengan berdiri, yang merupakan posisi termudah untuk mengajar, memukul, dan sebagainya. Duduk adalah posisi yang sulit untuk itu, apalagi berbaring.
Wallahu A’lam