Manusia–baik individu maupun kolektif–mempunyai banyak kebutuhan, ada kebutuhan primer di mana ia tidak akan hidup tanpa itu, ada yang sekunder di mana ia bisa hidup tanpanya meskipun dengan sedikit kesulitan, dan ada yang bersifat pelengkap untuk membuat hidup lebih indah dan sejahtera.
Agar manusia bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, Allah telah menyediakan beragam sumber daya alam yang melimpah dalam kehidupan ini. Allah telah tundukkan semua itu untuk manusia, Allah beri kemampuan kepada manusia untuk mengekplorasinya.
Dunia Islam sebenarnya mempunyai kekayaan alam yang melimpah, namun mereka sekarang hidup dalam kesulitan secara ekonomi. Hal itu dikarenakan mereka tidak pandai memanfaatkan sumber alam tersebut dalam memenuhi kebutuhannya. Inilah keterbelakangan ekonomi sebagai buah dari keterbelakangan politik yang melanda kebanyakan negara-negara Islam.
Pertama: Pandangan Islam Terhadap Masalah ekonomi
Pandangan Islam terhadap aktivitas ekonomi–baik untuk individu maupun jamaah–serta usaha untuk memecahkan permasalahan ekonomi adalah bagian dari pandangan umum Islam terhadap manusia dan peranannya di alam ini. Pandangan tersebut tercermin dalam akidah, nilai-nilai akhlak, dan hukum-hukum perundangan yang mengatur kehidupan manusia. Banyak darinya yang mempunyai dampak langsung terhadap aktivitas ekonomi.
Di antara permasalahan penting yang mesti dijelaskan dalam hal ini adalah bahwa hidup zuhud di dunia dan mengutamakan kehidupan akhirat bukanlah penghalang untuk bekerja, berproduksi, menikmati sejumlah hal yang baik dengan tidak berlebih-lebihan. Rasulullah saw. bersabda,
نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْرجل الصَّالِحِ
Sebaik-baik harta adalah harta yang terdapat di tangan orang-orang saleh.[1]
Dalam sabda Rasulullah yang lain:
لَيْسَ الزَّهَادَةُ فِي الدُّنْيَا بِتَحْرِيمِ الْحَلَالِ وَلَا فِي إِضَاعَةِ الْمَالِ وَلَكِنْ الزَّهَادَةُ فِي الدُّنْيَا أَنْ لَا تَكُونَ بِمَا فِي يَدَيْكَ أَوْثَقَ مِنْكَ بِمَا فِي يَدِ اللَّهِ
Zuhud di dunia bukan dengan cara mengharamkan sesuatu yang halal, dan bukan dengan menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, zuhud di dunia adalah engkau tidak lebih yakin dengan apa yang terdapat di tanganmu ketimbang apa yang ada di sisi Allah.[2]
Al-Izz bin Abdussalam berkata, “Zuhud terhadap sesuatu adalah kalbu tidak terpaut dengannya, tidak mencintainya, serta berlepas darinya. Zuhud bukan berarti tidak menggenggam dan tidak memilikinya. Sebab, Rasulullah saw sebagai teladan dalam kezuhudan meninggal dunia dengan meninggalkan tanah fadak, awali, dan setengah dari wadi quro, dan saham tanah khaibar. Selain itu, Sulaiman juga menguasai seluruh bumi. Akan tetapi, kesibukan mereka berdua dengan Allah membuat mereka tidak terpaut dengan apa yang mereka miliki.”[3]
Bahkan, Allah Swt. memerintahkan seorang muslim untuk berusaha mencari sesuatu yang baik sekaligus melarang pengharamannya.
ياأيها الذين آمنوا لا تحرموا طيبات ما أحل الله لكم ولا تعتدوا إن الله لا يحب المعتدين. وكلوا مما رزقكم الله حلالا طيبا
Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian mengharamkan apa-apa yang baik yang Allah halalkan bagi kalian. Janganlah berlebih-lebihan! Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. Makanlah dari rizki yang Allah berikan dengan halal dan baik.[4]
Kedua: tahapan-tahapan dalam kegiatan ekonomi
Kegiatan ekonomi biasanya melalui beberapa tahapan:
Tahapan pertama: Produksi.
Ia berjalan di atas tiga faktor: Tanah, Bekerja, dan Harta.
Tanah.
Allah Swt. berfirman,
هو أنشأكم من الأرض واستعمركم فيها
Dialah (Allah) yang telah menumbuhkan kalian dari bumi dan menjadikan kalian sebagai pemakmur di dalamnya.[5]
Rasulullah saw bersabda,
مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيُزْرِعْهَا أَخَاهُ
Siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia tanami, atau biarkan saudaranya yang menanami.[6]
إِنْ قَامَتْ السَّاعَةُ وَبِيَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا يَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَفْعَلْ
Jika kiamat telah datang dan di tangan salah seorang kalian terdapat sebatang benih kurma, jika ia sempat menanamnya, maka tanamlah.[7]
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ
Siapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka ia menjadi miliknya.[8]
Bekerja.
Rasulullah saw bersabda,
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik dari hasil usahanya sendiri. Sungguh Nabi Allah Dawud makan dari hasil usaha sendiri.[9]
إن الله عز وجل يحب إذا عمل أحدكم عملا أن يتقنه
Allah mencintai seseorang yang tekun dan cakap dalam bekerja.[10]
Harta
Ia adalah faktor penting dalam produksi. Oleh karenanya, Islam melarang menimbun harta, dan menyuruh untuk mengembangkannya dengan cara-cara yang dibolehkan, dan diperintahkan untuk diinfaqkan di jalan Allah Swt:
والذين يكنزون الذهب والفضة ولا ينفقونها في سبيل الله فبشرهم بعذاب أليم
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka dengan siksa yang pedih.[11]
Ketika harta telah dibayarkan zakatnya, maka ia tidak termasuk ditimbun. Akan tetapi, Islam tetap menganjurkan untuk dikembangkan, sabda Rasulullah saw.
اتَّجِرُوا فِي أَمْوَالِ الْيَتَامَىحتى لَا تَأْكُلُهَا الزَّكَاةُ
Berdayakanlah harta anak yatim lewat bisnis sehingga ia tidak habis dimakan zakat.[12]
Adapun cara dan bagaimana melakukan usaha diserahkan kepada pemikiran manusia sesuai dengan perkembagan ilmu pengetahuan, situasi dan kondisi, namun tetap dalam bingkai syariat. Yaitu membatasi produksi pada barang-barang yang baik, yang dibolehkan, yang bermanfaat untuk manusia. Serta, melarang memproduksi barang-barang yang buruk, yang membahayakan fisik dan akal manusia (segala bentuk kegiatan yang bisa membawa kepada bahaya atau menghalangi datangnya manfaat, maka ia terlarang) sebagaimana disebutkan oleh para ulama fiqih.
Tahapan kedua: Tukar-Menukar
Manusia tidak mungkin memproduksi sendiri semua keperluannya. Akan tetapi, biasanya ia memproduksi satu macam produk tertentu melebihi dari yang mereka perlukan. Oleh karenanya secara alami mereka akan menukar sisa produk yang dimiliki dengan sisa produk yang dimiliki orang lain, jika tidak seperti itu,
لهلك الناس ولاضطر كل واحد أن يقوم بجميع الأعمال أو أكثرها بنفسه
Rusaklah manusia dan setiap individu atau mayoritas akan terbebani untuk melakukan semua pekerjaannya sendiri.[13]
Tukar menukar inilah yang disebut dengan perdagangan. Allah juga telah menetapkan,
ياأيها الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dalam bentuk perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka.[14]
Perdagangan diperbolehkan bahkan ketika haji sekalipun. Ia tidak akan mengurangi pahala haji.
ليشهدوا منافع لهم ويذكروا اسم الله
Agar mereka menyaksikan berbgai manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan.[15]
Tukar-menukar barang dan jasa di antara manusia tidak mungkin tercapai dengan sempurna melainkan dengan sarana. Sejak zaman dahulu uang dikenal sebagai sarana dalam transaksi perdagangan. Uang pada zaman Rasulullah terbuat dari emas dan perak. Kemudian manusia bersepakat atas jenis yang lain. Para ulama fiqih membedakan antara alat tukar asli (emas dan perak) dan alat tukar cetakan (seperti uang kertas dan yang serupa, yang dikenal pada zaman sekarang).
Transaksi biasanya terjadi di pasar. Melihat begitu pentingnya tukar- menukar dalam kegiatan ekonomi, maka dalam teori ekonomi modern muncul istilah “ekonomi pasar.” Maksudnya adalah kegiatan ekonomi yang diserahkan secara bebas kepada pasar dan persaingan positif di antara manusia.
Pada dasarnya–konsep ekonomi–dalam Islam adalah konsep pasar bebas. Adanya campur tangan pemerintah adalah lebih karena untuk menjaga kebebasan dalam bersaing secara positif. Oleh karena itu, Islam mengharamkan monopoli dan riba sekaligus mewajibkan adanya saling ridla diantara kedua belah pihak.
إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم
Kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas suka sama suka diantara kalian.
Islam melarang jual beli dengan cara memaksa, menindas, dan menipu. Pasalnya, konsep saling ridha dalam transaksi semacam ini tidak tercapai dan hak-hak kedua belah pihak menjadi jelas. Rasulullah melarang untuk mempermainkan harga ketika terjadi inflasi dikarenakan jarangnya barang dagangan. Beliau bersabda:
إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يُطَالِبُنِي بِمَظْلَمَةٍ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ
Sesungguhnya, Allah yang menentukan harga, Yang menahan, Yang melapangkan, Yang memberi rizki, dan aku berharap bisa berjumpa dengan Allah tanpa ada seorangpun dari kalian yang menuntutku lantaran ada darah dan harta yang terenggut secara zalim.[16]
Menentukan harga dibolehkan ketika hal itu merupakan cara untuk mencapai keadilan dalam kehidupan manusia. Rasulullah bersabda,
مَنْ أَعْتَقَ شِرْكًا لَهُ فِي عَبْدٍ فَكَانَ لَهُ مَالٌ يَبْلُغُ ثَمَنَ الْعَبْدِ قُوِّمَ عَلَيْهِ قِيمَةَ الْعَدْلِ
Barang siapa yang membebaskan sebagian dari kepemilikannya terhadap budak, dan ia mempunyai harta sebanyak harga budak tadi, maka harganya ditentukan secara adil.
Oleh sebab itu, kebanyakan ulama membolehkan penguasa untuk campur tangan dalam menentukan harga dalam banyak keadaan. Ada di antara mereka yang memberikan kelonggaran yang cukup luas dan ada pula yang mempersempit.
Tahapan Ketiga: Distribusi
Yang dimaksud disini adalah distribusi pada faktor-faktor yang mendatangkan hasil, yaitu:
Pertama: tanah
Tanah, jika ditanami oleh pemiliknya, semua yang dihasilkan menjadi miliknya. Rasulullah saw bersabda,
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ
Barang siapa menghidupkan tanah yang mati maka tanah tersebut menjadi miliknya.
Akan tetapi, jika tanah tadi disewakan atau bekerja sama dengan orang lain, setiap orang di dalamnya mendapat bagian sesuai dengan kesepakatan ketika transaksi penyewaan tanah, muzaraáh, atau musaqoh.
Kedua : kerja
Upah seorang pekerja didasarkan pada kerelaan antara pemberi upah dan orang yang diberi upah. Masyarakat modern di berbagai negara di dunia saat ini telah membuat batas upah minimal untuk mencegah terjadinya ekploitasi tenaga kerja sekaligus untuk membantu stabilitas aktivitas ekonomi. Kita mengetahui bahwa pembatasan ini berpulang kepada waliyul amr (penguasa) muslim. Ia merupakan bagian dari tanggung jawab dalam mewujudkan keadilan dan mencegah kezaliman di antara manusia.
Penentuan batas minimal upah tersebut tentu saja harus didasarkan pada kebutuhan minimal pekerja dan orang-orang yang dibawah tanggungannya. Hal tersebut berdasarkan hadis dari Abdurrahman bin Hatib tentang mereka yang telah mencuri unta milik penduduk kampungnya sendiri di mana kemudian mereka menyembelih dan mengakui perbuatan tersebut. Tadinya Umar bin Khattab memerintahkan untuk memotong tangan mereka. Namun, Umar merubah keputusannya itu dengan berkata, ”Andai saja aku tidak berpikir bahwa kalian telah membuat mereka kelaparan sehingga salah seorang dari mereka melakukan sesuatu yang diharamkan Allah Swt, sungguh aku akan potong tangan mereka. Akan tetapi demi Allah jika kalian membiarkan mereka sungguh aku akan mengenakan denda pada kalian yang hal itu bisa membuat kalian kelaparan.”
Ketiga: modal usaha
Ia bisa berupa barang atau uang. Modal usaha yang berupa barang seperti bangunan, alat-alat, mobil, serta fasilitas lain bisa disewakan dengan nilai tertentu serta bisa pula dimasukkan dalam perkongsian atau kerja sama sehingga pemiliknya mendapatkan bagian darinya.
Adapun modal usaha yang berupa uang, tidak boleh disewakan karena upah dari penyewaan ini menjadi riba dan hukumnya haram. Akan tetapi, ia bisa dimasukkan dalam perkongsian usaha seperti mudlarabah (kerjasama dimana yang satu menjadi pemilik modal uang dan yang lain sebagai pekerja). Dlam kondisi demikian, keuntungannya dibagi di antara masing-masing pihak sesuai dengan kesepakatan.
Tahapan keempat: konsumsi
Sesungguhnya tujuan dari produksi adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia. Hal ini tidak akan tercapai kecuali dengan dikonsuminya hasil produksi tersebut. Kegiatan konsumsi mempunyai batasan-batasan alami yang menjadi pegangan manusia. Islam juga telah memberikan batasan-batasan syariah di seputarnya. Misalnya Islam melarang sikap boros dan sikap kikir.
ولا تجعل يدك مغلولة إلى عنقك ولا تبسطها كل البسط
Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan pula engkau terlalu mengulurnya.[17]
وكلوا واشربوا ولا تسرفوا إنه لا يحب المسرفين
Makan dan minumlah. Tapi, jangan berlebihan sebab Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.[18]
Islam mengatur bagaimana cara memenuhi kebutuhan manusia. Rasulullah saw. bersabda,
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا
Berikanlah sedekah untuk dirimu dulu. Jika ada kelebihan maka untuk keluargamu. Jika ada kelebihan maka untuk kerabatmu. Jika masih ada kelebihan maka untuk kerabat kerabatmu. Begitu seterusnya…[19]
Islam juga mengatur bagaimana manusia kebutuhan dirinya. Yaitu dimulai dari kebutuhan primer, sekunder, kemudian tersier, dan seterusnya.
Ketiga : saling membantu secara materi
Di seluruh komunitas manusia selalu ada kalangan muda yang tidak mampu mencari pekerjaan, kalangan tua yang sudah tidak mampu bekerja, serta orang-orang sakit dan terhimpit yang pemasukan mereka tidak bisa mencukupi kebutuhan yang ada. Bahkan ada para pemuda yang bekerja dengan gaji upah minimum, namun mereka masih memiliki tanggungan lain yang tidak mungkin dipenuhi dari gaji mereka. Oleh sebab itu, sejak jaman dahulu manusia menyelesaikan kondisi seperti ini dengan cara solidaritas sosial. Terkait dengan hal tersebut, syariat Islam datang dengan membawa sejumlah ketentuan yang bersifat komprehensif. Di antaranya:
- Ketentuan yang diwajibkan kepada manusia untuk membantu sebagian yang lain. Misalnya nafkah wajib untuk kerabat, kewajiban zakat mal dari modal usaha yang mencapai nisab, zakat fitrah yang ditetapkan kepada setiap muslim yang memiliki makanan lebih untuk diri dan keluarganya pada malam hari raya, kafarat (tebusan) harta, serta kewajiban untuk ikut membayar diyat pembunuhan.
- Ketentuan yang menopang negara lewat sumber pemasukan khusus seperti fai’, seperlima harta rampasan perang, hasil bumi, pajak, yang dalam istilah ahli fiqih disebut atha’. Rasulullah saw bersabda,
إِذَا أَتَاهُ الْفَيْءُ قَسَمَهُ فِي يَوْمِهِ فَأَعْطَى الْآهِلَ حَظَّيْنِ وَأَعْطَى الْعَزَبَ حَظًّا
Apabila beliau mendapatkan bagian fai’, beliau membagikan pada hari itu pula kepada yang telah berkeluarga dua bagian dan kepada bujangan satu bagian.[20]
Jika pemasukan negara tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang ada, para fukaha berpendapat bahwa seorang pemimpin negara bisa mewajibkan para orang kaya untuk memberikan kelebihan hartanya yang lebih dari cukup dan dari keperluan. Yang dimaksud cukup menurut al-Juwaini adalah makanan seperti daging, obat-obatan, buah-buahan, pakaian, dan tempat tinggal.
- Ketentuan tentang sejumlah sarana yang sifatnya opsional yang ditujukan Islam untuk menutupi kekurangan dalam pendisitribusian harta di masyarakat. Misalnya sedekah sunah, sedekah jariyah, waqaf, wasiat, hibah, hadiyah, pinjaman, dan lain-lain.
Catatan Kaki:
[1] H.R. Ahmad dan Ibn Hibban.
[2] H.R. Ibn Mâjah dan al-Tirmidzî dari Abû Dzarr ra.
[3] Qawâ’id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anam karya al-Izz ibn Abdussalam, 1/161, Muassasah al-Rayyan, Beirut.
[4] Q.S. al-Maidah: 87-88.
[5] Q.S. Hûd: 61.
[6] H.R. H.R. al-Bukhârî dan Muslim dari Jâbir ra.
[7] H.R. Ahmad dari Anas ra.
[8] H.R. Abû Dâwud, dan al-Tirmidzî dari Sa’îd ibn Zayd.
[9] H.R. al-Bukhârî dan Ibn Mâjah dari Miqdâd ra.
[10] H.R. al-Tahbrâni dalam al-Awsâth, al-Haitsami dalam Majma al-Zawâ`id,, al-Baihaqi, Abû Ya’la, dan al-Suyuthi.
[11] Q.S. al-Taubah: 34.
[12] H.R. al-Thabrânî dalam al-Mu’jam al-Awsath dari Anas ibn Mâlik ra.
[13] Qawa’id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm, 1/235.
[14] Q.S. al-Nisâ`: 29.
[15] Q.S. al-Hajj: 28.
[16] H.R. al-Tirmidzî, Sunan Abû Dâwud, dan Sunan Ibn Mâjah dari Anas ra.
[17] Q.S. al-Isrâ`: 29
[18] Q.S. al-A’râf: 31.
[19] H.R. Muslim dan al-Nasâ`I dari Jâbir ibn Abdullah ra.
[20] H.R. Abû Dâwud dan Ahmad dari Auf ibn Mâlik ra.