Oleh: Muhamad Indra Kurniawan
Sebuah Episode dalam Dakwah
Dakwah Islam di Mekah menghadapi jalan buntu. Setelah wafatnya Abu Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam praktis tidak lagi memiliki himayah (perlindungan) di Mekah, bahkan nyawanya dalam kondisi terancam. Sementara kaum muslimin terpencar di antara Habasyah dan Mekah.
Menghadapi kondisi seperti itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berusaha mencari tempat baru sebagai pusat penyiaran dakwah. Tempat yang paling dekat dengan Mekah adalah Thaif. Beliau pergi kesana untuk mendatangi para pemuka Bani Tsaqif, diantaranya adalah tiga orang bersaudara, yaitu: Abdu Yalil bin Amer, Mas’ud bin Amer, dan Habib bin Amer. Kepada mereka, beliau menjelaskan maksud kedatangannya adalah untuk mencari pembelaan dalam menyebarkan Islam dan menghadapi kaumnya yang telah menentangnya. Namun, permohonan ini ditolak mentah-mentah. Bahkan mereka menghina dan menganiaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengerahkan orang-orang bodoh dan budak-budak untuk mencela dan meneriaki beliau. Sampai beliau terkepung di antara mereka dan terpaksa berlindung di kebun milik Utbah dan Syaibah bin Rabi’ah.
Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Thaif selama 10 hari, dan tidak ada satu pun pemuka Thaif yang tidak didatangi oleh beliau. Tetapi, mereka menjawab, “Pergilah kamu dari negeri kami.” Serta mengerahkan orang-orang untuk menyerbu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Musa bin Uqbah menceritakan bahwa orang-orang melempari kedua kaki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan batu sehingga kedua alas kakinya berlumuran darah. Apabila beliau merasakan sakitnya lemparan batu, beliau bersimpuh di tanah, kemudian orang-orang itu memegang kedua lengannya dan menegakkannya. Apabila beliau berjalan kembali mereka langsung melemparinya lagi seraya terkekeh-kekeh. Sementara itu Zaid bin Haritsah terus melindungi beliau sampai mengalami beberapa luka di kepalanya.[1]
Jaminan Keamanan dari Muth’am bin Adi
Ibnu Ishaq menyebutkan, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak masuk kembali ke Mekah, beliau mengutus kurir kepada Akhnas bin Syuraiq agar bersedia memberikan jaminan keamanan. Namun Akhnas tidak bersedia. Kemudian beliau meminta jaminan kepada Suhail bin Amer. Namun ia pun tidak bersedia. Akhirnya beliau meminta jaminan kepada Muth’am bin Adi, dan ia bersedia memenuhi permintaan tersebut. Lalu ia memanggil anak-anak dan kaumnya. Muth’am berkata kepada mereka, “Bawalah sejata dan bersiap-siaplah di sudut-sudut Ka’bah, karena aku telah memberikan jaminan keamanan kepada Muhammad.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Zaid bin Haritsah masuk ke Mekah hingga sampai di Masjidil Haram, lalu Muth’am bin Adi berdiri di atas tunggangannya seraya berkata, “Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya aku telah memberikan jaminan keamanan kepada Muhammad, maka janganlah ada seorang di antara kalian yang mengganggunya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhiri thawafnya dengan mencium Hajar Aswad dan shalat dua rakaat, kemudian beliau kembali ke rumahnya dengan dikawal oleh Muth’am bin Adi dan anak-anaknya dengan senjata lengkap hingga beliau masuk ke dalam rumah.
Siapakah Muth’am bin Adi?
Muth’am bin Adi adalah seorang musyrikin, pemimpin Bani Naufal bin Abdi Manaf. Mereka adalah cabang ketiga dari empat cabang Bani Abdi Manaf. Cabang Bani Abdi Manaf yang lainnya adalah Bani Hasyim, Bani Abdi Syams, dan Bani Muthallib.
Di dalam sirah dicatat bahwa Muth’am bin Adi adalah orang yang pernah berusaha serius berpihak kepada kaumnya membela agama nenek moyang, ketika suatu saat ia mencela Abu Thalib karena tidak mau menerima tawaran penukaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Imarah bin al-Walid. Waktu itu Muth’am berkata kepada Abu Thalib, “Demi Allah wahai Abu Thalib, sesungguhnya kaummu telah bertindak adil terhadapmu. Mereka telah berusaha maksimal untuk menghindarkan diri dari apa yang tidak engkau sukai, tetapi kulihat engkau tidak mau menerima sama sekali.” Abu Thalib menjawab, “Demi Allah, mereka tidak berlaku adil terhadapku, tetapi kamu telah sepakat memperdaya diriku dan mengerahkan massa untuk melawan aku. Maka perbuatlah sekehendakmu.”
Tetapi akhirnya Muth’am mengambil sikap mulia yang diabadikan sejarah. Ia memberikan ijarah (jaminan keamanan) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menurut Syaikh Munir Muhammad al-Ghadban, hal ini merupakan tamparan keras bagi Quraisy dan menyinggung perasaannya. Tetapi Quraisy tidak ingin kehilangan Bani Naufal, sebagaimana kehilangan Bani Muthallib dan Bani Hasyim yang berpihak kepada barisan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga mereka terpaksa mengambil sikap diam.
Sebelum pemberian ijarah itu, Muth’am bin Adi juga menjadi salah seorang tokoh Quraisy yang mendukung penghapusan boikot kepada kaum muslimin, selain Hisyam bin Amer bin al-Harits, Zuhair bin Umayyah bin al-Mughirah, dan Zam’ah bin al-Aswad. Di dalam sirah terungkap, Muth’am inilah yang berusaha menyobek naskah pemboikotan yang tergantung di Ka’bah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menghargai dan selalu mengenang jasa baik Muth’am bin Adi, sehingga beliau pernah bersabda di Badar ketika kaum muslimin berhasil menawan 70 orang pemuka Quraisy, “Seandainya Muth’am bin Adi masih hidup, niscaya mereka kuserahkan kepadanya sebagai hadiah.”
Ijarah Ibnu Daghnah untuk Abu Bakar
Peristiwa serupa pernah terjadi kepada Abu Bakar. Ketika kaum muslimin menghadapi cobaan berat, Abu Bakar pernah berniat hijrah ke Habasyah. Ketika sampai di Barkul Ghimad ia bertemu Ibnu Daghnah, kepala suku Qarah. Ibnu Daghnah bertanya, “Hendak kemana wahai Abu Bakar?” Abu Bakar menjawab, “Kaumku telah mengusirku maka aku ingin pergi di muka bumi dan menyembah Rabbku.” Ibnu Daghnah berkata, “Orang seperti kamu wahai Abu Bakar tidak pantas keluar dan tidak pantas pula diusir. Sesungguhnya kamu adalah orang yang suka membantu orang yang tak berpunya, menolong orang yang sengsara, menghormati tamu, dan membela orang yang berdiri di atas kebenaran. Karena itu, aku berikan perlindungan kepadamu. Kembalilah dan sembahlah Rabbmu di negerimu.”
Kemudian Ibnu Daghnah mengumumkan ijarah (jaminan keamanan) bagi Abu Bakar kepada pemuka Quraisy. Mereka tidak menolak, namun mengajukan syarat, “Suruhlah Abu Bakar untuk menyembah Rabbnya di rumahnya, shalat di dalamnya dan membaca apa yang dia suka asalkan tidak menyakiti kita dan tidak secara terang-terangan, karena kami khawatir para wanita dan anak-anak kita akan terfitnah (terpengaruhi)”.
Dengan perlindungan itu Abu bakar tetap tinggal di Mekah. Abu Bakar kemudian membangun masjid di halaman rumahnya. Di masjid ini Abu bakar melaksanakan shalat dan membaca al-Qur’an, sehingga para wanita dan anak-anak musyrikin tertarik dan memperhatikannya.
Apabila membaca al-Qur’an, Abu Bakar adalah seorang yang mudah menangis. Hal ini membuat para pemuka Quraisy cemas sehingga mereka memanggil Ibnu Daghnah dan berkata kepadanya, “Kami telah melindungi Abu Bakar karena jaminanmu dengan syarat dia harus menyembah Rabbnya di rumahnya. Tetapi dia sekarang telah melanggar syarat itu, dia telah membangun sebuah masjid di halaman rumahnya lalu mendemonstrasikan shalat dan mengeraskan bacaan al-Qur’an di dalamnya. Kami khawatir anak-anak dan para wanita kami terfitnah olehnya, maka cegahlah dia. Jika dia bersedia membatasi ibadahnya di rumahnya maka teruskanlah perlindunganmu terhadapnya, tetapi jika dia tidak bersedia kecuali melakukan ibadahnya secara demonstratif, maka mintalah agar dia menarik jaminanmu! Karena kami tidak ingin mencederai jaminanmu dan kami pun tidak menyetujui Abu bakar beribadah secara demonstratif.”
Kemudian Ibnu Daghnah mendatangi Abu bakar dan berkata, “Engkau tahu bahwa aku telah memberikan perlindungan kepadamu dengan persyaratan yang ada, sekarang pilihlah engkau membatasi ibadahmu atau engkau kembalikan perlindunganku, karena aku tidak suka orang-orang Arab mendengar bahwa aku mencederai perjanjian yang aku berikan kepada seseorang.” Abu Bakar menjawab, “Aku kembalikan perlindunganmu dan aku ridha dengan perlindungan Allah saja.” [2]
Bergaul dan berbuat baik di tengah-tengah masyarakat akan mendatangkan manfaat bagi perjuangan
Mengapa Muth’am bin Adi mau memberikan ijarah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apa yang mendorong Ibnu Daghnah memberikan ijarah kepada Abu Bakar? Mengapa mereka melakukannya padahal mereka adalah golongan musyrik yang tidak mau menerima Islam?
Salah satu jawaban yang mungkin untuk pertanyaan di atas adalah: ‘Mereka bersedia memberikan ijarah karena telah mengenal dan mengakui integritas serta kebaikan-kebaikan yang ada pada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar’.
Integritas dan kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan Rasulullah saw dan Abu Bakarlah nampaknya yang menanamkan simpati ke dalam hati Muth’am bin Adi dan Ibnu Daghnah sehingga rela memberikan ijarah.
Perhatikanlah ucapan Ibnu Daghnah kepada Abu Bakar: “Orang seperti kamu wahai Abu Bakar tidak pantas keluar dan tidak pantas pula diusir. Sesungguhnya kamu adalah orang yang suka membantu orang yang tak berpunya, menolong orang yang sengsara, menghormati tamu, dan membela orang yang berdiri di atas kebenaran. Karena itu, aku berikan perlindungan kepadamu. Kembalilah dan sembahlah Rabbmu di negerimu.”
Terlebih lagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukankah beliau sejak sebelum bi’tsah (masa kenabian) sudah digelari al-Amin oleh masyarakat Quraisy, yang artinya ‘orang yang dapat dipercaya’ atau ‘orang yang jujur’?
Kita tentu mengetahui sebuah riwayat masyhur ketika beliau berkata kepada kerabat-kerabatnya dari Quraisy, “Jika kalian kuberitahu bahwa di lembah sana terdapat pasukan berkuda hendak menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?”
Mereka menyahut, نَعَمْ، مَاجَرَبْنَا عَلَيْكَ اِلاَّ صِدْقًا, “Ya, kami belum pernah menyaksikan engkau kecuali selalu berada dalam kejujuran.” [3]
Selain dikenal sebagai al-Amin, Quraisy juga mengakui keutamaan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang yang cerdas, penyantun, dan berbudi luhur, sehingga di usianya yang relatif masih muda, 20 tahun, sudah diikutsertakan sebagai anggota Hilful Fudhul, sebuah perserikatan yang bertujuan memulihkan keamanan dan menegakkan keadilan bagi penduduk Mekah dan sekitarnya.[4]
Setelah diangkat menjadi nabi dan rasul, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bercerita tentang Hilful Fudhul,
لَقَدْ شَهِدْتُ فِى دَارِ عَبْدِ اللهِ بْنِ جُدعَانَ حِلْفًا مَا اُحِبُّ أَنَّ لِى حُمْرَ النِّعَمِ. وَلَوِادَّعَى بِهِ فىِ الْاِسْلاَمِ لَأَجَبْتُ
“Sesungguhnya aku telah menyaksikan di rumah Abdullah bin Jud’an sebuah perjanjian/persekutuan, yang aku tidak suka menggantinya dengan unta merah (guna menyalahi perjanjian/persekutuan itu). Seandainya aku diajak kepada perjanjian/persekutuan itu di masa Islam, sungguh aku akan menyambutnya.” [5]
Selain itu, saat berusia 35 tahun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun ikut aktif dalam perbaikan Ka’bah. Beliau ikut ‘kerja bakti’ memanggul batu di atas pundaknya dengan beralaskan sehelai kain. Saat itu beliau juga memainkan peranan sangat penting dalam memecahkan masalah pelik ketika terjadi pertengkaran sengit di antara kabilah tentang siapa yang paling berhak mendapatkan kehormatan mengembalikan Hajar Aswad ke tempat semula. Beliau kemudian berhasil memecahkan masalah itu dengan sangat brilian.[6]
Jadi, sejak sebelum masa kenabian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar sudah dikenal integritasnya di tengah-tengah masyarakat. Beliau dikenal sebagai orang yang selalu bergaul dan berbuat baik kepada sesama.
Khadijah pernah berkata tentang kebaikan-kebaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sesaat setelah wahyu Allah SWT pertama kali diturunkan,
وَاللهِ مَايُخْزِيْكَ اللهُ أَبَدًا، اِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ المَعْدُوْمَ، وَتُقْرِى الضَّيْفَ، وَتُعِيْنُ عَلَى نَوَائِبِ الحَقِّ
“Demi Allah, Dia tidak akan pernah mencelakaimu, karena engkau selalu menjalin kekeluargaan, dan menanggung yang berat (orang kesusahan), dan membantu orang yang tak berpunya, menghormati tamu, dan menolong orang-orang yang benar.”
Dari uraian di atas dapat ditarik sebuah hikmah, sebagai muslim, wabil khusus sebagai du’at ila-Llah, kita harus tampil di masyarakat, bergaul, eksis, dan selalu menebarkan kebaikan; memberikan kemanfaatan kepada siapa pun (ifadah). Setelah itu dengan sendirinya kebaikan itu akan kembali kepada kita.
Sebagai du’at, kita tidak boleh menghindarkan diri dari masyarakat; tidak mau kenal, tidak berbaur, tidak mau memberi manfaat atau bahkan malah membencinya dengan alasan masyarakat telah jauh dari ajaran Islam.
Rasulullah saw bersabda,
الْمُسْلِمُ إِذَا كَانَ مُخَالِطًا النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ خَيْرٌ مِنْ الْمُسْلِمِ الَّذِي لَا يُخَالِطُ النَّاسَ وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ
“Jika seorang muslim bergaul dengan orang lain dan bersabar atas gangguan mereka, adalah lebih baik daripada seorang muslim yang tidak bergaul dengan orang lain dan tidak bersabar atas gangguan mereka.” (Sunan Tirmidzi No. 2431 dan dishahihkan Albani).
Jika kita selalu berbuat baik kepada masyarakat, maka kita pun akan dapat memanfaatkan kebaikan yang ada pada mereka (istifadah). Kita harus menghargai kebaikan-kebaikan dari mana dan dari siapa pun ia berasal.
Perhatikanlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu bakar mau meminta dan menerima ijarah dari Muth’am bin Adi dan Ibnu Daghnah yang musyrik. Perhatikan pula bagaimana beliau menghargai kebaikan-kebaikan Raja Najasyi yang beragama nasrani. Saat menyuruh para sahabat hijrah ke Habasyah, beliau bersabda,
لَوْ خَرَجْتُمْ اِلَى اَرْضِ الْحَبَشَّةَ فَاِنَّ بِهَا مَلِكًا لاَ يُظْلَمُ عِنْدَهُ أَحَدٌ وَهِىَ اَرْضُ صِدْقٍ حَتَّى يَجْعَلَ اللهُ لَكُمْ فَرَجًا مِمَّا اَنْتُمْ فِيْهِ
“Hendaknya kalian pergi ke Habasyah, karena di sana ada seorang raja yang di dalam kekuasaannya tidak seorang pun boleh dizalimi, dan di sana adalah bumi kejujuran. Sampai Allah memberikan jalan keluar kepada kalian.”
Maka, sekeras apa pun perbedaan dan pertentangan antara kita dengan ‘musuh’ kita, tidak seharusnya menghapuskan ‘hubungan baik’, sikap proporsional, dan penghargaan atas kebaikan-kebaikan mereka.
Sesungguhnya, Muth’am bin Adi dan Ibnu Daghnah adalah seorang kafir yang berlainan aqidah dengan kaum muslimin sebagaimana orang Quraisy lainnya. Abu Jahal dan Abu Lahab adalah juga kafir sebagaimana Muth’am bin Adi dan Ibnu Daghnah. Tetapi, ada perbedaan besar antara kedua jenis manusia kafir tersebut. Yang satu adalah golongan kafir yang suka damai dan mendukung kaum muslimin, sedangkan yang lain adalah golongan kafir yang memusuhi dan memerangi kaum muslimin.
Bermusyarakah dengan masyarakat untuk meraih cita-cita dakwah
Islam adalah agama yang adil dan penuh kasih sayang. Dalam kaitan aturan pergaulan dengan sesama manusia, Islam telah menggariskan nilai yang sangat proporsional dan bijaksana. Allah SWT berfirman,
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu, dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Mumtahanah: 8-9)
Dalam ayat ini, Allah SWT menerangkan bahwa Dia tidak melarang orang-orang yang beriman berbuat baik, mengadakan hubungan persaudaraan, tolong-menolong dan bantu-membantu dengan orang-orang kafir selama mereka tidak mempunyai niat menghancurkan Islam dan kaum muslimin, tidak mengusir dari negeri-negeri mereka dan tidak pula berteman akrab dengan orang-orang yang hendak mengusir itu.
Ayat ini merupakan ayat yang memberikan ketentuan umum dan prinsip agama Islam dalam menjalin hubungan dengan orang-orang yang bukan Islam dalam satu negara. Kaum muslimin diwajibkan bersikap baik dan bergaul dengan orang-orang kafir, selama orang-orang kafir itu bersikap dan ingin bergaul baik terutama dengan kaum muslimin. [7]
Jika terhadap seorang kafir yang mau berdamai kita dapat bersikap baik dan adil serta ber-istifadah (mengambil manfaat), apalagi terhadap sesama muslim se-aqidah—yang bersyahadat mengakui keesaan dan beribadah kepada Allah SWT serta mengakui Muhammad sebagai Nabi dan Rasul-Nya, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, berpuasa, dan melaksanakan haji—yang kalaupun memiliki perbedaan atau memiliki cacat dalam agamanya, besar kemungkinan perbedaannya tidak sejauh perbedaan antara kita dengan seorang kafir.
Maka, marilah kita perluas pergaulan kita. Mari kita perluas musyarakah kita. Ajaklah masyarakat di sekitar kita—pejabat, birokrat, ulama, tokoh masyarakat, pemimpin ormas, pemimpin partai, tokoh perempuan, budayawan, kalangan profesional, buruh, tani, nelayan, tokoh lintas agama, dll—untuk bekerjasama dalam kebajikan.
“…dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Q.S. Al-Maidah: 2)
Namun sikap seperti ini (baca: semangat bermusyarakah) jangan sampai memadamkan kewaspadaan kita untuk selalu bersiap siaga menghadapi ancaman dari musuh-musuh dakwah; jangan sampai jadi kebablasan sehingga melupakan komitmen kita pada aqidah, syariah, akhlak, serta cita-cita dakwah Islam.
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (Q.S. Al-Anfal: 60)
Allahu Akbar wa li-Llahil hamd!
Catatan Kaki:
[1] Diringkas dari kutipan Syaikh Munir Muhammad al-Ghadban terhadap buku tahdzibu Sirah, hal. 97-98 dan Mukhtaru as-Sirah, hal. 123 dalam bukunya Manhaj Haraki, terjemahan Rabbani Press.
[2] Dikutip dari Manhaj Haraki, Syaikh Munir Muhammad al-Ghadban, dengan sedikit perubahan redaksi, bersumber dari Mukhtaru as-Sirah, Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 87-88.
[3] Lihat: Shahih Bukhari, 2/702-743
[4] Deklarasi Hilful Fudhul diadakan di rumah Abdullah bin Jad’an at-Taimi, yang dibicarakan dalam pertemuan itu berkaitan tidak adanya kehakiman dan undang-undang yang melindungi kepentingan segenap penduduk Mekah dan sekitarnya, terutama untuk melindungi kaum lemah dan golongan lapisan bawah yang dianiaya oleh pihak yang kuat (lihat: Kelengkapan Tarikh Muhammad Jilid 1, KH. Moenawar Chalil, hal. 78-79).
[5] Dikutip dari Sirah Ibnu Hisyam, dan ada pula hadits serupa itu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya.
[6] Atas usulan Huzaifah bin Mughirah, perkara itu diserahkan kepada seorang hakim, dan hakim yang dipilih adalah siapa saja yang keesokan harinya lebih dulu masuk ke masjidil haram. Keesokan harinya orang melihat bahwa Muhammadlah yang lebih dulu masuk ke masjidil Haram. Beliau kemudian memecahkan perkara itu dengan seadil-adilnya. Beliau meminta sehelai kain, kemudian kain itu dihamparkannya. Lalu Hajar Aswad beliau letakkan di tengah-tengahnya. Kemudian para pembesar Quraisy dimintanya supaya bersama-sama memegang tepi kain itu ke tempat Hajar Aswad akan diletakkan. Setelah itu, Hajar Aswad itu diambil oleh Nabi saw dan diletakkannya pada tempatnya semula (lihat: Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad hal. 96-97 dan Fikih Sirah Al-Buthy hal. 65-66).
[7] Lihat: Al-Qur’anul Karim wa tafsiruhu