Tentang surat Al Baqarah ayat 114 dan At Taubah ayat 18 yang sering digunakan untuk mendeligitimasi fatwa ulama tentang penutupan masjid di masa pandemi covid-19, menurut Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, penutupan masjid di saat ini tidak bertentangan dengan prinsip orang beriman.
Mengutip Syaikh Salih al Utsaimin, Fathurrahman Kamal menjelaskan, penutupan masjid-masjid termasuk Masjidil Haram demi adanya suatu keperluan merupakan perkara yang tidak ada persoalan dan tidak bisa penutupan ini dianggap sebagai kegiatan melarang berdzikir kepada Allah SWT, karena hal ini dimaksudkan untuk terwujudnya maslahat atau untuk memenuhi sesuatu yang sangat urgent.
“Persoalan kita bukan di narasi keagamaan, persoalan kita adalah kita tidak sanggup lagi melawan emosi dan gejolak psikologis yang ada di diri kita sendiri,” tutur Fathur pada (9/7) di acara Pengajian Umum PP Muhammadiyah.
Terlebih ijtihad saat ini, imbuh Fathur, fatwa yang diproduksi merupakan hasil ijtihad kolektif ulama kredibel, hal ini menjadi garansi atas fatwa yang mereka keluarkan dan yang perlu diingat lagi adalah mereka inilah yang memiliki otoritas untuk berfatwa.
Serta yang penting untuk diketahui, fatwa tentang menonaktifkan masjid di masa pandemi bukan hanya diproduksi oleh otoritas fatwa di Indonesia, tapi juga otoritas fatwa di dunia.
“Konstruksi hukum yang mereka susun termasuk juga dalil-pendalilan dan semuanya itu persis sama dengan apa yang di dalam fatwa-fatwa baik yang diterbitkan oleh Majelis Ulama Indonesia, atau juga yang diterbitkan oleh kita di Majelis Tarjih Muhammadiyah,” ungkapnya.
Fathur melanjutkan, bahwa fatwa itu tidak boleh saling membatalkan. Karena fatwa ini bukan persoalan haq dan bathil, melainkan fatwa adalah produk ijtihad sehingga yang ada bisa benar atau salah. Apabila benar dapat dua dan jika salah mendapat satu. Ia menegaskan bahwa fatwa bukan alat untuk saling mendeligitimasi.
Dari fatwa-fatwa tentang menonaktifkan masjid di seluruh dunia yang berhasil dihimpun, ditemukan diantara ulama memiliki perbedaan pandangan, namun diantara mereka tetap saling menghormati.
Dari tiga kelompok ulama besar, baik yang setuju masjid ditutup, setuju ditutup dengan persyaratan, dan yang tidak setuju sama sekali, mereka semua tidak ada yang menjadikan teori konspirasi sebagai pijakan argumentasinya.
“Mereka murni berbicara persoalan hukum, tidak ada lagi di situ perspektif politik, ini yang menarik perbedaannya dari mereka tidak ditemukan mereka saling teror dari perspektif politik, dan apa yang terjadi direalitas media sosial kita,” urai Fathur.