Oleh: Dr. Taufikurahman (Dosen SITH-ITB)
Tidak kurang dari 25 ribu pasukan muslim bersama keluarga mereka meninggal terkena wabah “thoun amwas” di Syam (sekarang Syria), termasuk beberapa Gubernur Syam: Abu Ubaydah bin Al Jarah dan Muadz bin Jabal, selain itu juga Yazid bin Abi Sufyan dan Syurahbil bin Hasanah.
Peristiwa itu terjadi pada zaman Khalifah Umar bin Khattab (638-639 M atau tahun ke 17-18 H). Banyak yang meninggal dengan perantaraan wabah tersebut adalah para sahabat nabi, para pejuang muslim.
Wabah baru reda setelah Gubernur Syam berikutnya, Amr bin Ash, menyerukan penduduk untuk berpencaran, saling berjauhan, menuju gunung-gunung/bukit-bukit yang sepi atau tidak berpenduduk. Ini adalah prinsip “physical distancing” yang paling mendasar dalam mengendalikan wabah: jangan berdekatan apalagi berkerumun bahkan untuk alasan ibadah sekalipun.
Wabah itu REAL, apakah itu dari virus yang hanya berupa DNA atau RNA yang dilapisi protein, yang tidak termasuk dalam kategori makhluk hidup, atau mikroorganisma hidup yang biasanya berupa bakteri. Wabah itu jelas dapat menyebabkan penyakit yang parah dan bahkan kematian.
Umat manusia sudah mengalami serangan wabah ini sejak zaman dahulu, ada wabah Yustinianus (tahun 541) yang berawal dari Mesir dan Palestina lalu menyebar ke Kontantinopel. Wabah Yustinianus ini diduga yang muncul kembali menjadi wabah Amwas di Syam pada era Khalifah Umar bin Khattab tersebut.
Selanjutnya ada the black death atau bubonic plague (1315-1317) yang disebabkan oleh bakteri yersinia pestis yang menumpang pada tungau dan dibawa oleh tikus hitam, dan tikus hitam hitam ini terbawa kapal laut. Wabah ini menyebabkan meninggalnya 75-200 juta jiwa, termasuk 30-40% populasi penduduk Eropa.
Tahun 1918-1920 ada wabah flu spanyol dari virus H1N1 yang berasal dari unggas, menjangkiti lebih kurang 500 juta penduduk (sepertiga penduduk bumi saat itu), dan menyebabkan korban meninggal tidak kurang dari 50 juta, bahkan ada yang memperkirakan hingga 100 juta jiwa. Dampak wabah flu spanyol menjadi parah karena bersamaan dengan terjadinya Perang dunia I.
Selain itu ada flu burung yang kemunculan pertamanya dilaporkan di Italia tahun 1878, tetapi baru diidentifikasi sebagai virus influenza tahun 1955. Tahun 1997 terjadi wabah ini di Hongkong, Tiongkok, Vietnam, Thailand, Kamboja dan Indonesia, namun syukurnya tidak sampai menjadi pandemi. Data WHO hingga tahun 2019, flu burung memakan korban 455 jiwa. Selanjutnya ada wabah MERS CoV (Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus) yang mulai terdeteksi di Jordan April 2012 dan Saudi Arabia pada September 2012, dan menyebabkan kematian sekitar 886 jiwa. Virus MERS CoV ini diduga berasal dari unta. Kita juga bersyukur wabah MERS CoV ini tidak mengglobal.
Saat ini kita ditakdirkan menjadi saksi sejarah terjadinya wabah Covid-19 yang menyerang umat manusia di hampir seluruh penjuru dunia, termasuk di negeri kita, yang telah berlangsung satu setengah tahun lebih, dan belum ada tanda-tanda akan segera berakhir. Bahkan di negeri kita kondisinya semakin mengkhawatirkan. Pergerakan manusia di era modern ini dengan pesawat terbang menyebabkan penularan virus ini berlangsung dengan sangat cepat, disamping juga aktivitas sosial-ekonomi, budaya dan keagamaan yang susah dibendung sehingga menyebabkan terjadinya kerumunan manusia.
Lepas dari kontroversi asal muasal dari virus SarCov-2 ini, apakah dari kelelawar atau dari rekayasa di laboratorium, yang jelas wabah yang menjadi pandemi ini telah menelan korban yang banyak di berbagai penjuru dunia. Data Worldometer hari kemarin, 12 Juli 2021, covid-19 telah menyebabkan kematian lebih dari 4 juta jiwa penduduk dunia.
Mari kita bersama melakukan upaya yang maksimal untuk melindungi diri masing-masing, keluarga, sanak saudara, karib kerabat dan masyarakat sekitar kita, dengan mentaati protokol kesehatan yang telah ditetapkan dan sedapat mungkin mengurangi interaksi dengan orang lain.