Oleh: Ali M. Latifi
Sekarang ini ke mana pun Anda pergi di Afghanistan, dari ruang olahraga di ibu kota Kabul hingga lapangan di provinsi Logar, semua orang bertanya-tanya: “Apa yang akan terjadi?”
Orang-orang telah mencoba menjawab pertanyaan itu, tetapi kebenaran yang menyedihkan dan menakutkan adalah, kita tidak akan tahu sampai kita sampai di sana. Kurangnya jawaban yang jelas menghantui seluruh rakyat yang takut dengan skenario apa pun yang tidak mengarah pada perdamaian sejati.
Suatu malam, seorang pejabat pemerintah mengatakan: “Tidak ada alasan bagi orang untuk putus asa.”
Duduk di teras rumah pejabat tersebut, saya melihat kembali perjalanan saya baru-baru ini ke Logar, Parwan, Herat dan Nangarhar dan berkata, “Tidak, orang-orang tidak punya harapan. Mereka ketakutan.”
Saya teringat akan sesuatu yang dikatakan putri sepupu saya yang berusia sembilan tahun waktu itu, sekarang seorang seniman berbakat dan penggemar berat BTS, dalam bahasa Pashto malam itu dia bilang: “Kami akan tinggal dan mati di sini.”
Dia lahir setelah Taliban digulingkan dari kekuasaan dalam invasi militer pimpinan AS pada 2001.
Dia belajar di sekolah swasta terkenal tempat ibunya mengajar. Dia merasakan ketakutan yang mengganggu bahwa politik telah membuat dia dan keluarganya tidak berdaya, bahkan untuk melarikan diri.
Perang tidak memberikan apa-apa bagi siapa pun, juga bagi generasi baru Afghanistan. Saat ini rakyat Afghanistan seolah-olah hanyut tanpa tujuan. Mereka tidak tahu apakah mereka akan hanyut menuju jurang yang dalam dan gelap dari kekerasan dan perang lebih lanjut atau semacam perdamaian.
Mereka yang memiliki sarana memilih untuk tidak mau mengambil risiko menunggu lebih lama. Seperti yang dikatakan seorang teman yang sama-sama wartawan kepada sekelompok dari kami: “Saya sudah ada disini ketika tank-tank Soviet datang. Saya melihatnya sendiri. Mengapa kini saya harus menunggu untuk melihat apakah Kabul diambil alih lagi, saya harus mengeluarkan keluarga saya sekarang.”
Hidup dalam ketidak-berdayaan
Beberapa minggu terakhir, teman-teman dan keluarga saya di Kabul dan Amerika Serikat menelepon saya untuk menanyakan tentang proses mendapatkan Visa Imigran Khusus yang dijanjikan Pemerintah Amerika Serikat kepada jurnalis, wanita-wanita terkemuka, dan mereka yang bekerja untuk AS. Sekali lagi, satu-satunya jawaban yang bisa saya berikan kepada mereka adalah: “Saya tidak tahu.”
Saya tidak pernah merasa begitu tidak berdaya untuk membantu orang-orang saya sejak saya tinggal sebentar di Istanbul Turki (2016-2017), di mana para pengungsi dari Nangarhar yang datang ke negara itu akan menelepon saya untuk meminta bantuan ketika Ankara mulai mendeportasi orang Afghanistan kembali ke wilayah perang.
Sebagian orang, termasuk legislator yang kuat dan mantan pejabat, menyalahkan Washington yang memutuskan ditarik- mundurnya pasukan AS di Afghanistan pada 31 Agustus. Yang membuat orang marah adalah bagaimana AS pergi, tanpa memperhatikan kondisi nyata pemerintah atau Taliban.
Menjelang liburan Idul Adha, saya melakukan perjalanan ke Herat, tapi saya melihat kota yang berbeda. Dulu di kota itu pasukan keamanan mendirikan pos pemeriksaan dalam perjalanan ke daerah-daerah yang biasa kami kunjungi dengan bebas. Itu hanya dua tahun yang lalu. Dulu disitu ada pasar yang ramai, di belakang Masjid Jami yang terkenal.
Ini adalah pertama kalinya dalam delapan tahun terakhir saya ke sana lagi. Orang -orang bertanya apakah saya yakin mau pergi ke Herat. “Bagaimana jika bandara tutup saat Anda berada di sana,” seorang jurnalis bertanya kepada saya tepat sebelum saya memesan tiket. Dua hari kemudian, ketika saya sedang duduk di Bandara Internasional Hamid Karzai di Kabul, kata-katanya terngiang-ngiang di telinga.
Perang merenggut segalanya. Perang memerangkap Anda dalam sangkar yang semakin lama semakin terkurung setiap hari. Perang merampas mobilitas Anda bahkan di negara yang penuh dengan sungai, gunung, gurun, tanaman hijau subur, dan situs bersejarah. Perang merampas keluarga Anda dan perang melucuti liburan dari kegembiraan Anda dan keluarga.
Sumber: Al Jazeera.