Makna Kata dan Kalimat:
عَنْ أَبِي عَبَّاسٍ عَبْدِ اللهِ بنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ : dari Abu ‘Abbas Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, dia berkata:
Abu ‘Abbas (bapaknya Abbas) adalah kun-yahnya, nama aslinya Abdullah, putera Abbas bin Abdul Muthalib. Keduanya adalah sahabat sekaligus famili Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Abbas bin Abdul Muthalib adalah adik dari ayah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abdullah. Maka, ‘Abbas bin Abdul Muthalib adalah paman nabi, sedangkan Abdullah bin ‘Abbas adalah sepupu nabi. Jadi, ayah beliau bernama ‘Abbas, anaknya juga bernama ‘Abbas.
Imam Ibnul Atsir Rahimahullah mengatakan:
“Abdullah bin ‘Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf, Abul Abbas Al Qursyi Al Hasyimi. Dia adalah anak dari paman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, diberikan kun-yah (gelar panggilan) dengan nama anaknya Al ‘Abbas, sebagai anaknya yang paling besar, dan ibunya bernama Lubabah Al Kubra binti Al Harits bin Khuznul Al Hilaliyah.
Abdullah bin Abbas juga dinamakan Al Bahr (samudera) karena ilmunya yang luas, dia juga dinamakan Hibrul Ummah (tintanya umat). Dia dilahirkan di celah bukit di Mekkah tiga tahun sebelum hijrah, Beliau di-tahnik[1] oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Usadul Ghabah, Hal. 630)
Imam Adz Dzahabi Rahimahullah menyebutnya dengan istilah Al Bahr (Samudera), Hibrul Ummah (tintanya umat), Faqihul ‘Ashr (ahli fiqih zamannya), dan Imamut Tafsir (imam ahli tafsir).
Beliau mengambalih hadits secara baik dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, juga meriwayatkan dari Umar, Ali, Muadz, ayahnya, Abdurrahman bin Auf, Abu Sufyan Sakhr bin Harb, Abu Dzar, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, dan lainnya. Beliau membacakan Al Quran di hadapan Ubay dan Zaid (karena Ubay dan Zaid di antara sahabat nabi yang menulis wahyu Allah Ta’ala, pen).
Sederetan nama beken dari kalangan tabi’in senior telah menjadi muridnya, seperti Urwah bin Zubeir, Said bin Jubeir, Ikrimah, Abu Asy Sya’tsa Jabir, Mujahid bin Jabr, Al Qasim bin Muhammad, Abu Raja’ Al ‘Atharidi, Abul ‘Aliyah, ‘Atha bin Yasar, ‘Atha bin Abi Rabah, Asy Sya’bi, Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin, Muhammad bin Ka’ab Al Qurzhi, Syahr bin Hausyab, Ibnu Abi Malikah, Amru bin Dinar, Dhahak bin Muzahim, Ismail As Suddi, dan lainnya.
Beliau memiliki beberapa anak, paling tua adalah Al Abbas, paling kecil Ali Abu Al Khulafa’. D antara mereka ada Al Fadhl, Muhammad, Ubaidullah, Lubabah, dan Asma’.
Ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat, usia beliau adalah 10 tahun, ada juga riwayat yang menyebut 13 tahun, ada juga yang menyebut 15 tahun. (Siyar A’lam An Nubala, 3/331-335)
Menurut Ali bin Al Madini, Ibnu Abbas wafat pada tahu 68 atau 67 Hijriyah. Sementara Al Waqidi, Al Haitsam, dan Abu Nu’aim mengatakan: tahun 68. Disebutkan bahwa Beliau hidup selama 71 tahun. (Ibid, 3/359)
Abdullah bin ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma memiliki banyak keutamaan dan pujian untuknya. Diantaranya sebagai berikut:
Beliau mengatakan:
دَعَا لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُؤْتِيَنِي اللَّهُ الْحِكْمَةَ مَرَّتَيْنِ
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendoakan untukku sebanyak dua kali, agar Allah memberikanku hikmah (ilmu). (HR. At Tirmidzi No. 3823, katanya: hasan gharib. Syaikh Al Albani menshahihkannya. Lihat Raudh An Nadhir No. 395, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 3823)
Ibnu ‘Abbas mengatakan, ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berada di rumah Maimunah, dia membawa air wudhu buat nabi, lalu berkata kepada nabi: “Abdullah bin Abbas telah menyediakan air wudhu untukmu.” Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
اللهم فقهه في الدين و علمه التأويل
Ya Allah, fahamkanlah agama baginya, dan ajarkanlah ia ta’wil. (HR. Imam Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 6280, katanya: shahih, dan Bukhari-Muslim tidak meriwayatkannya. Imam Adz Dzahabi menyepakati keshahihannya. Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 10587, Ath Thabari dalam Tahdzibul Atsar No. 2159)
Sementara dalam riwayat Imam At Tirmidzi yang lain berbunyi: ‘Allimhu Al Hikmah – Ajarkanlah dia Al Hikmah. (No. 3824, katanya: hasan shahih)
Ada pun dalam riwayat Imam Al Bukhari, hanya: “Allahumma faqqihhu fiddin – Ya Allah, fahamkanlah agama baginya. (HR. Bukhari No. 143), juga dalam Kitab Al Fadhail, berbunyi: Allahumma ‘allimhu Al kitab – Ya Allah ajarkanlah dia Al Kitab (Al Quran).
Selanjutnya:
كُنْتُ خَلْفَ النبي صلى الله عليه وسلم يَومَاً : Suatu hari saya dibelakang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
akni bersama dalam satu kendaraan yang sama, Ibnu ‘Abbas diboncengi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, atau dia berjalan di belakang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam .
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah menjelaskan:
قوله “كُنْتُ خَلْفَ النبي” يحتمل أنه راكب معه ويحتمل أنه يمشي خلفه،وأياً كان فالمهم أنه أوصاه بهذه الوصايا العظيمة.
Ucapannya “Saya berada di belakang nabi” bisa bermakna dia berkendara bersama nabi, dan juga bermakna dia berjalan di belakangnya. Apa pun keadaanya yang terpenting adalah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan wasiat kepadanya dengan wasiat agung ini. (Syaikh ibnul ‘Utsaimin, Syarhul Arbain, Hal. 188. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Peristiwa ini menunjukkan kedekatan Ibnu ‘Abbas Radhiallahu Anhuma dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, walau beliau masih sangat belia. Sekaligus menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam begitu dengan semua lapisan umur di masyarakatnya.
Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim Rahimahullah mengatakan:
إن هذا الحديث العظيم، يبين مكانة ابن عباس رضي الله تعالى عنهما، وقد اختص بخصائص من بين أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم، ويطيل علماء الرجال والتراجم في ترجمة ابن عباس رضي الله عنهما، فقد حظي بدعوة المصطفى صلى الله عليه وسلم: ( اللهم! فقه في الدين، وعلمه التأويل
Hadits yang mulia ini menjelaskan kedudukan Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, Beliau telah dispesialkan dengan berbagai keistimewaan di antara sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, para ulama biografi telah banyak menceritakan biografi Ibnu abbas Radhiallahu ‘Anhuma, dia telah mendapatkan kehormatan dengan doa Al Mushthafa Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Ya Allah, fahamkanlah ilmu agama dan ajarkan dia ta’wil.” (Syaikh ‘Athiyah Salim, Syarhul Arbain An Nawawiyah, Syarah No. 19)
Selanjutnya:
فَقَالَ: (يَا غُلاَمُ : lalu beliau bersabda: “ Wahai ghulam (anak) …
Panggilan “ghulam” menunjukkan bahwa Ibnu ‘Abbas saat itu masah kecil. Telah disebutkan sebelumnya bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat, Ibnu ‘Abbas masih berusia 10 tahun, ada yang menyebut 13 tahun, dan ada yang menyebut 15 tahun. Usia berapa pun, tetap menunjukkan bahwa memang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihiwa Sallam memberikan wasiat ini kepada Ibnu ‘Abbas ketika masih anak-anak.
Oleh karenanya, Syaikh Ibnul ‘Utsaimin mengatakan:
” يَا غُلامُ” لأن ابن عباس رضي الله عنهما كان صغيراً، فإن النبي صلى الله عليه وسلم توفي وابن عباس قد ناهز الاحتلام يعني من الخامسة عشر إلى السادسة عشر أو أقل .
“Wahai anak” karena Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma saat itu masih kecil, dan ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat, Ibnu ‘Abbas mendekati usia baligh yakni usia 15 tahun sampai 16 tahun, atau lebih sedikit. (Syaikh Ibnul ‘Utsaimin, Syarhul Arbain An Nawawiyah, Hal. 188)
Serdangkan Syaikh Ismail Al Anshari menyebut “ghulam” itu anak-anak berusia sekitar 9 menuju 10 tahun. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 19)
إِنّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ : sungguh saya akan mengajarkan kamu beberapa perkataan
akni Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyampaikan beberapa pengajaran, nasihat, dan wasiat kepada Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma secara khusus. Tetapi, ‘ibrah dalam pengajaran tersebut juga berlaku dan bermanfaat untuk selain dirinya, bahkan berlaku bagi semua umat manusia.
Syaikh Ismail Al Anshari mengatakan: “yanfa’ukallah biha – dengan nasihat itu Allah memberikan manfaat buatmu.” (Ibid)
Kalimat yang digunakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah kalimat pengajaran sebagaimana guru kepada murid dan orang terhadap anak. Bukan kalimat perintah sebagaimana atasan kepada bawahan. Beliau tidak mengatakan: “Saya perintahkan kamu untuk melakukan ini dan itu …”
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy Syaikh mengatakan:
وهذا اللفظ فيه تودد المعلم والأب والكبير إلى الصغار ، وإلى من يريد أن يوجه بالألفاظ الحسنة ، فهو استعمل -عليه الصلاة والسلام- لفظ التعليم : إني أعلمك كلمات وهي أوامر ، فلم يقل له -عليه الصلاة والسلام- : إني آمرك بكذا وكذا، وإنما ذكر لفظ التعليم ؛ لأنه من المعلوم أن العاقل يحب أن يستفيد علما .
Lafaz ini mengandung kasih sayang seorang pengajar, ayah, dan orang tua kepada orang kecil, dan kepada orang yang menghendaki perkataan yang baik. Beliau – ‘Alaihis Shalatu was Salam– menggunakan lafaz pengajaran, saya akan mengajarkan kepadamu, yaitu perintah-perintah. Beliau –‘Alaihis Shalatu was Salam– tidak berkata kepadanya: saya memerintahkan kamu begini dan begitu. Sesungguhnya dipakainya metode lafaz pengajaran adalah karena telah diketahui bahwa orang yang berakal suka memanfaatkan pengetahuan. (Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy Syaikh, Syarhul Arbain An Nawawiyah, Hal. 154)
Selanjutnya:
احْفَظِ اللهَ يَحفَظك : jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu
Yakni jagalah syariatNya dengan menjalankan perintahNya dan meninggalkan laranganNya, semuanya. Menjaga Allah Ta’ala bukan bermakna menjaga zatNya, sebab Dia qiyamuhu binafsihi dan Maha Kuat dan Perkasa tidak membutuhkan penjagaan siapa pun.
Jika hal itu dilakukan, Allah Ta’ala akan memberimu balasan dan ganjaran, berupa penjagaan terhadap diri, harta, keluarga, dan kehidupan kita.
Imam Ash Shan’ani Rahimahullah menjelaskan:
والمراد من قوله “احفظ الله” أي حدوده وعهوده وأوامره ونواهيه وحفظ ذلك هو الوقوف عند أوامره بالامتثال وعند نواهيه بالاجتناب وعند حدوده أن لا يتجاوزها ولا يتعدى ما أمر به إلى ما نهى عنه فيدخل في ذلك فعل الواجبات كلها وترك المنهيات كلها
Maksud dari sabdanya “jagalah Allah” yaitu menjaga hududNya (aturanNya), janjiNya, perintahNya, dan laranganNya, menjaganya itu dengan berhenti dihadapan segala perintahNya dengan melaksanakan, dan terhadap laranganNya dengan menjauhkannya, terhadap hudud-Nya dengan tidak melanggarnya dan tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan untuk dicegah. Termasuk juga melakukan semua kewajiban dan meninggalkan semua larangan. (Subulus Salam, 4/176. Cet. 4, 1960M-1379H. Maktabah Mushtafa Al Baabi Al Halabi)
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah mengatakan:
(احفظ الله يحفظك) أي: قم بما يجب عليك نحو ربك من كل ما هو مطلوب منك وجزاؤك على ذلك أن يحفظك الله.
(Jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu) yaitu tegakkanlah kewajibanmu kepada Rabbmu dari semua hal yang dituntut darimu, dan niscaya kamu akan diberikan balasan atas itu berupa penjagaan Allah kepadamu. (Syarh Sunan Abi Daud, 28/259)
Syaikh Ibnul ‘Utsaimin Rahimahullah menjelaskan lebih detil tentang “Allah akan menjagamu”:
إذا احفظ الله يحفظك جملة تدل على أن الإنسان كلما حفظ دين الله حفظه الله ولكن حفظه في ماذا ؟ جـ: حفظه في بدنه وحفظه في ماله وأهله وفي دينه وهذا أهم الأشياء وهو أن يسلمك من الزيغ والضلال لأن الإنسان كلما اهتدى زاده الله هدى { والذين اهتدوا زادهم هدى وآتاهم تقواهم }
Jadi, “jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu” adalah kalimat yang menunjukkan bahwa manusia ketika menjaga agama Allah, maka Allah akan menjaganya, tetapi penjagaan dalam hal apa? Jawab: PenjagaanNya terhadap badannya, hartanya, keluarganya, dan agamanya, dan ini adalah hal yang paling urgen. Dan, Dia akan menyelamatkanmu dari penyimpanmgan dan kesesatan, karena manusia ketika menghendaki petunjuk maka Allah akan menambahkan petunjuk itu (Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketaqwaannya) . (Syarh Riyadhush Shalihin, Hal. 70. Mawqi’ Jami’ Al Hadits An Nabawi)
Selanjutnya:
احْفَظِ اللهَ تَجِدهُ تُجَاهَكَ : jagalah Allah niscaya kamu mendapatkan Dia bersamamu
Ini adalah ma’iyatullah (kebersamaan Allah) dengan hambaNya secara khusus, yang terjadi karena sebab tertentu (muqayyad). Secara umum (muthlaq) Allah Ta’ala memang bersama semua hambaNya yakni memberikan pengawasan kepada mereka. Tetapi, ada beberapa golongan hamba yang Allah Ta’ala khususkan mendapatkan kebersamaan denganNya selain yang disebutkan dalam hadits ini; yang dengan itu Dia selalu menjaga dan melindungi hamba tersebut.
Siapakah mereka? Di antaranya:
Orang-orang sabar (Shabirin).
Secara khusus Allah ‘Azza wa Jalla bersama orang-orang yang bersabar. FirmanNya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al Baqarah (2): 153)
Orang-orang yang berbuat baik (Muhsinin)
FirmanNya:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al ‘Ankabut (29): 69)
Orang-orang bertaqwa (muttaqin)
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
Dan ketahuilah sesungguhnya Allah bersama orang-orang bertaqwa. (QS. Al Baqarah (2): 194. At Taubah (9): 36, 123)
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad menjelaskan:
قوله: (( احفظ الله تجده تجاهك )) تُجاهك بمعنى أمامك، كما في الرواية الأخرى: (( احفظ الله تجده أمامك ))، والمعنى: تجده يحوطُك ويرعاك في أمور دينك ودنياك.
Sabdanya: (Jagalah Allah niscaya kamu mendapatkan Dia bersamamu) tujaahaka maknanya di hadapanmu, sebagaimana riwayat lain: (jagalah Allah niscaya kamu mendapatkanNya di hadapanmu), maknanya kamu mendapatkannya menguasaimu dan menjagamu, di segala urusan agama dan duniamu. (Fathul Qawi Al Matin, Hal. 61)
Selanjutnya:
إِذَاَ سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ : jika kamu meminta mintalah kepada Allah
Yakni jika kamu berdoa, memohon, dan bermunajat, maka lakukanlah semuanya kepada Allah Ta’ala, karena Dialah yang Maha Kaya dan Maha Mendengar terhadap semua keinginan hamba-hambaNya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al Baqarah (2): 186)
Imam Ibnu Katsir menceritakan tentang sebab turunnya ayat ini:
قال ابن جُرَيج عن عطاء: أنه بلغه لما نزلت: { وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ } [غافر: 60] قال الناس: لو نعلم أي ساعة ندعو؟ فنزلت: { وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ }
Berkata Ibnu Juraij, dari ‘Atha, bahwa dia menyampaikan ketika turun ayat: (berfirman Rabb kalian: “Berdoalah kepadaKu niscaya akan aku kabulkan untukmu” (QS. Ghafir: 60), manusia berkata: “Seandainya kami tahu waktu kapankah mesti kami berdoa?” Maka turunlah ayat: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.(Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Juz. 1, Hal. 506. Daruth Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’)
وَإِذَاَ اسْتَعَنتَ فَاسْتَعِن بِاللهِ : jika kamu menghendaki pertolongan mintalah pertolongan Allah
Ini adalah penegas dan pengkhususan dari sebelumnya. Berdoa lebih umum daripada meminta pertolongan. Seandainya disebutkan: “jika anda meminta, maka mintalah kepada Allah,” sebenarnya sudah mencukupi. Tapi, dalam hadits ini ditekankan lagi dengan meminta pertolongan.
Sama halnya dengan hadits: “barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang diinginkan, atau wanita yang ingin dinikahinya … dst.” Seandainya hanya disebut hijrahnya karena dunia, itu sudah cukup sebab wanita adalah bagian dari perhiasan dunia, tetapi hadits ini mengkhususkan lagi dengan hijrah karena wanita. Masih banyak lagi contohnya.
Ini menunjukkan bahwa hal tersebut membutuhkan perhatian tersendiri.
Jika kamu menghendaki pertolongan, yaitu jika kamu membutuhkan bantuan, kemudahan, kekuatan menghadapi masalah, dan kemenangan dari musuh, bantuan urusan agama dan dunia, “ mintalah pertolongan kepada Allah ‘Azza wa Jalla,” karena Dia yang Maha Kuat dan Berkuasa atas segalanya.
Berkata Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah:
( وإذا استعنت ) أي أردت الاستعانة في الطاعة وغيرها من أمور الدنيا والآخرة ( فاستعن بالله( فإنه المستعان وعليه التكلان
(Jika kamu minta pertolongan) yaitu jika kamu menghendaki pertolongan dalam ketaatan dan selainnya dari urusan dunia dan akhirat (maka mintalah pertolongan Allah) karena Dia adalah tempat minta tolong dan kita bersandar. (Tuhfah Al Ahwadzi, 7/220)
Meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala adalah bukti kejernihan tauhid seseorang. Allah Ta’ala berfirman:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami meminta pertolongan. (QS. Al Fatihah (1): 5)
Dalam tafsir Al Muyassar di sebutkan:
إنا نخصك وحدك بالعبادة، ونستعين بك وحدك في جميع أمورنا، فالأمر كله بيدك، لا يملك منه أحد مثقال ذرة. وفي هذه الآية دليل على أن العبد لا يجوز له أن يصرف شيئًا من أنواع العبادة كالدعاء والاستغاثة والذبح والطواف إلا لله وحده
Sesungguhnya kami mengkhususkanMu dan mengesakanMu dalam beribadah, dan kami meminta pertonganMu semata pada semua urusan kami, maka semua urusan ada di tanganMu, tidak ada seorang pun yang memiliki kekuasaan terhadapnya walau sebesar atom. Pada ayat ini merupakan dalil bahwa seorang hamba tidak boleh mempersembahkan sedikit pun berbagai macam ibadahnya seperti doa, istighatsah, dan thawaf, kecuali untuk Allah semata. (Tafsir Al Muyassar, Hal. 11)
Dibolehkan meminta pertolongan kepada manusia pada hal-hal yang memang manusia dapat melakukannya jika memang harus seperti itu, itu pun meyakininya sebagai sebab saja bukan tempat pijakan utama. Ada pun meminta hal yang menjadi prerogatif Allah Ta’ala hanya dibolehkan meminta kepadaNya, bukan kepada selainNya.
Syaikh Ibnul ‘Utsaimin Rahimahullah menjelaskan:
وكذلك أيضا إذا استعنت فاستعن بالله الاستعانة طلب العون فلا تطلب العون من أي إنسان إلا للضرورة القصوى ومع ذلك إذا اضطررت إلى الاستعانة بالمخلوق فاجعل ذلك وسيلة وسببا لا ركنا تعتمد عليه
Demikian juga, jika engkau meminta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah. Al Isti’anah adalah meminta pertolongan, maka janganlah kamu meminta pertolongan kepada manusia siapapun kecuali sangat mendesak, bersamaan itu jika kamu terpaksa meminta pertolongan kepada makhluk maka jadikan itu sebagai sarana dan sebab saja, bukan sebagai rukun yang kamu bersandar kepadanya. (Syaikh Ibnul ‘Utsaimin, Syarh Riyadhush Shalihin, Hal. 70. Mawqi’ Jami’ Al Hadits An Nabawi)
Ada bentuk permintaan pertolongan yang dilarang syariat bahkan termasuk kesyirikan, seperti meminta pertolongan dukun, ahli sihir, jimat, orang mati, arwah nenek moyang (animisme) dan benda-benda keramat (dinamisme). Semua ini mesti dijauhi dan diperangi, dan tidak boleh diberi ruang sedikit pun untuk eksis, sebab syirik adalah sebesar-besarnya dosa dan kedurhakaan.
Ada pun manusia saling menolong bersama manusia lainnya sangat banyak diterangkan dalam Al Quran dan Al Hadits, yakni dalam hal kebaikan, ketaqwaan, keilmuan, dan hal lain yang memang dibenarkan dan diakui oleh akal, tradisi, dan syariat.
Selanjutnya:
وَاعْلَم أَنَّ الأُمّة لو اجْتَمَعَت عَلَى أن يَنفَعُوكَ بِشيءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلا بِشيءٍ قَد كَتَبَهُ اللهُ لَك : ketahuilah seandainya segolongan umat berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak bisa memberikan manfaat kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu
Yaitu ketahuilah dan yakinilah, bahwa walaupun semua manusia dan makhluk Allah Ta’ala lainnya berkumpul, bekerjasama, dan berupaya keras untuk memberikan manfaat untukmu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak akan mampu memberikan kamu apa-apa sedikit pun kecuali dengan sesuatu yang sudah Allah Ta’ala tetapkan bagi kamu.
Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari mengatakan:
الأمة : المراد بها هنا سائر المخلوقات .
Al Ummah : yang dimaksud di sini adalah seluruh makhluk. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 19)
Syaikh Abdul Muhsin Hamd bin Al ‘Abbad Al Badr menjelaskan pula:
بعد أن ذكر أنَّ السؤال لله وحده والاستعانة بالله وحده، أخبرَ أنَّ كلَّ شيء بيده، وأنَّه لا مانع لِمَا أعطى، ولا مُعطي لِمَا منع، وأنَّ كلَّ شيء لا يخرج عن إرادته ومشيئته، وأنَّ العبادَ لا يُمكنهم أن ينفعوه بشيء لم يُقدِّره الله، ولا أن يضرُّوه بشيء لم يُقدِّره الله، وأنَّ كلَّ شيء يقع أو لا يقع سبق به القضاء والقدر
Setelah Beliau menyebutkan bahwa berdoa hanya kepada Allah satu-satunya dan meminta pertolongan kepada Allah semata, Beliau mengabarkan bahwa segala sesuatu ada ditanganNya, dan tidak ada yang memapu mencegah apa yang diberikanNya, dan tidak ada yang mampu memberi apa-apa yang dicegahNya, dan segala sesuatu tidak akan keluar dari lingkup kehendak dan kemauanNya, sesungguhnya para hamba tidak akan bisa memberikan manfaat kepadanya dengan sesuatu dengan apa-apa yang belum Allah taqdirkan, dan tidak pula memberikan mudharat dengan sesuatu selama Allah belum menetapkannya pula, dan sesungguhnya segala sesuatu terjadi atau tidak sudah didahului oleh qadha dan qadar. (Fathul Qawwi Al Matin, Hal. 62)
Ya, jika Allah Ta’ala sudah menetapkan kebaikan kepada seseorang maka dia akan mendapatkannya, dan Allah Ta’ala Maha Berkuasa untuk melakukannya tanpa usah dibantu oleh semua makhlukNya. Dan, kebaikan itu tidak akan ada yang mampu membatalkannya walau semua makhluk bersatu untuk menghilangkannya.
Selanjutnya:
وإِن اِجْتَمَعوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشيءٍ لَمْ يَضروك إلا بشيءٍ قَد كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ : dan seandainya mereka berkumpul untuk memudharatkanmu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak akan mampu memudharatkanmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu
Yakni seandainya semua makhluk berkumpul, bekerja sama, dan berusaha untuk mencelakakan, merugikan, dan merusak kehidupan kamu dengan sesuatu, mereka tidak akan mampu melakukannya, tidak akan berhasil, dan selalu gagal, kecuali dengan mudharat yang sudah Allah Ta’ala tulis untuk kamu.
Maka, baik atau buruk yang menimpa manusia adalah ketentuanNya. Berkata Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah:
كذلك في الضر وهذا هو الإيمان بالقدر والإيمان به واجب خيره وشره وإذا تيقن المؤمن هذا فما فائدة سؤال غير الله والاستعانة به وكذلك إجابة الخليل عليه الصلاة والسلام جبريل عليه السلام حين سأله وهو في الهواء: “ألك حاجة؟ قال: أما إليك فلا”
Demikian juga dalam hal keburukan, ini adalah keimanan terhadap qadar dan mengimaninya adalah wajib, baik terhadap qadar baik maupun yang buruk, jika seorang mukmin meyakini ini maka tidak ada manfaatnya berdoa dan meminta tolong kepada selain Allah. Begitu juga jawaban Al Khalil (Ibrahim) Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kepada Jibril ‘Alaihis Salam ketika Jibril bertanya kepadanya saat itu dia di udara: “Apakah kamu ada perlu?” Ibrahim menjawab: “Ada pun kepadamu, tidak ada.” (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarhul Arbain An Nawawiyah, Hal. 77. Maktabah Misykah)[1]
Ya, jika Allah Ta’ala sudah menetapkan keburukan dan kehinaan kepada seseorang maka dia akan mendapatkannya, dan Allah Ta’ala Maha Berkuasa untuk melakukannya tanpa usah dibantu oleh semua makhlukNya untuk mendatangkan keburukan itu. Dan, keburukan itu tidak akan ada yang mampu membatalkannya walau semua makhluk bersatu untuk menghilangkannya, dan menggantikannya dengan kemuliaan.
Karena Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ
Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki. (QS. Al Hajj (22): 18)
Oleh karenanya dilanjutkan dengan sabdanya:
رُفعَت الأَقْلامُ، وَجَفّتِ الصُّحُفُ : pena-pena telah diangkat, dan lembaran-lembaran telah mengering tintanya
Yakni semua urusan telah ditetapkan, semua sudah ada batasan, ukuran, waktu, corak dan warnanya sesuai apa yang dikehendakiNya, dan tidak ada yang bisa merubahnya kecuali Dia. Itulah Lauh Mahfuzh. Oleh karena itu, manfaat dan mudharat yang direncanakan semua makhluk terhadap seseorang, tidak akan bisa berdaya apa-apa, tidak ada tulis ulang, karena pena sudah diangkat dan tinta sudah mengering.
Berkata Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah:
أي كتب في اللوح المحفوظ ما كتب من التقديرات ولا يكتب بعد الفراغ منه شيء آخر
Yaitu (Allah) menulis di Lauh Mahfuzh berupa berbagai taqdir, Dia tidak menulis apa pun yang lain setelah selesai dari itu. (Tuhfah Al Ahwadzi, 7/220)
Dari keterangan ini, nampak adanya perbedaan pendapat di antara ulama, apakah apa yang telah ditulisNya dalam Lauh Mahfuzh , dapat diubah sesuai kehendakNya atau tidak. Hadits ini menunjukkan apa-apa yang telah ditulisNya tidak akan dihapus dan diubah.
Namun Allah Ta’ala berfirman:
يَمْحُوا اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh). (QS. Ar Ra’du (13) : 39)
Ayat ini menjadi dalil bagi ulama yang mengakui bahwa apa yang tertera dalam Lauh mahzfuh dapat diubah sesuai kehendakNya. Mari kita perhatikan ta’wil ayat ini, Imam Abul Hasan Al Mawardi Rahimahullah menyebutkan ada tujuh pendapat:
- Allah ‘Azza wa Jalla akan menghapus sesuai kehendakNya urusan hamba-hambaNya, dan merubahnya, kecuali urusan susah dan senangnya, keduanya tidak berubah. Ini pendapat Ibnu Abbas.
- Allah ‘Azza wa Jalla menghapuskan dan menetapkan apa yang Dia kehendaki di dalam Kitab selain Ummul Kitab (lauh mahfuzh). Ada dua kitab, pertama adalah Ummul Kitab yang Dia tidak menghapusnya dan tidak merubahnya sedikit pun sebagaimana kehendakNya. Ini pendapat ‘Ikrimah.
- Allah ‘Azza wa Jalla menghapus sesuai kehendakNya hukum-hukum yang ada dalam kitabNya, dan Dia metetapkan apa yang dikehendakiNya maka Dia tidak menghapusnya. Ini pendapat Qatadah dan Ibnu Zaid.
- Allah ‘Azza wa Jalla menghapuskan orang-orang yang telah datang ajalnya dan menetapkan orang-orang yang belum datang ajalnya. Ini pendapat Al Hasan Al Bashri.
- Allah ‘Azza wa Jalla mengampuni dosa-dosa siapa saja yang dikehendakiNya dari hambaNya, dan membiarkan apa-apa saja yang dihendakiNya, Dia tidak mengampuni. Ini pendapat Said bin Jubeir.
- Seorang laki-laki mendahulukan berbuat ketaatan lalu mengakhirinya dengan maksiat maka terhapuslah apa yang telah lalu, dan ada orang hang mendahulukan berbuat maksiat lalu mengakhirinya dengan ketaatan lalu terhapuslah yang telah lalu. Ini juga pendapat Ibnu Abbas.
- Bahwa adanya penjagaan dari malaikat, mereka mengangkat ucapan dan perbuatan manusia, lalu Allah menghapus sebagiannya yang tidak terdapat pahala dan siksa, dan menetapkan bagian yang memiliki pahala dan siksa. Ini pendapat Adh Dhahak. (Lihat Imam Abul Hasan Al Mawardi, An Nukat wal ‘Uyun, 2/318. Mawqi’ At Tafasir)
Manshur berkata:
سألت مجاهدًا فقلت: أرأيت دعاءَ أحدنا يقول:”اللهم إن كان اسمي في السعداء فأثبته فيهم، وإن كان في الأشقياء فامحه واجعله في السعداء”، فقال: حَسنٌ .
Aku bertanya kepada Mujahid: “Apa pendapat anda tentang doa dari salah seorang kami yang berkata: “Ya Allah jika namaku ada pada deretan orang-orang bahagia maka tetapkanlah bersama mereka, dan jika berada pada deretan orang-orang sulit maka hapuslah dan jadikanlah bersama orang-orang bahagia.” Mujahid menjawab: “Bagus.” (Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ Al Bayan fi Ta’wilil Quran, Juz. 16, Hal. 480. Cet. 1. 1420H-2000M. Tahqiq: Syaikh Ahmad Syakir. Muasasah Ar Risalah)
Kaum salaf –seperti Syaqiq dan Abu Wa-il- juga berdoa:
اللهم إن كنت كتبتنا أشقياء، فامحنَا واكتبنا سعداء، وإن كنت كتبتنا سعداء فأثبتنا، فإنك تمحو ما تشاءُ وتثبت وعندَك أمّ الكتاب
“Ya Allah, jika Engkau menetapkan kami bersama orang-orang yang sengsara, maka hapuskanlah kami, dan tulislah kami bersama orang-orang yang bahagia. Jika Engkau tetapkan kami bersama orang-orang yang bahagia, maka tetapkanlah, sesungguhnya Engkau menghapus apa-apa yang Kau kehendaki, dan menetapkannya, dan pada sisiMu terdapat Ummul Kitab.” (Ibid)
Diriwayatkan dari Abu Utsman Al Hindi, bahwa Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu berdoa –dan dia sedang thawaf di baitullah sambil menangis:
اللهم إن كنت كتبت علي شِقْوة أو ذنبًا فامحه، فإنك تمحو ما تشاء وتثبت . وعندك أم الكتاب، فاجعله سعادةً ومغفرةً
“Ya Allah, jika Engkau menetakan atasku kesulitan atau dosa maka hapuslah, sesungguhnya Engkau menghapuskan apa-apa yang Engkau kehendaki dan menetakannya. Dan pada sisiMu ada Ummul Kitab, maka jadikanlah dia menjadi bahagia dan ampunan.” (Ibid)
Sementara Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu berdoa:
اللهم إن كنت كتبتني في [أهل] الشقاء فامحني وأثبتني في أهل السعادة
“Ya Allah, jika Engkau tetapkan aku pada kelompok orang yang malang, maka hapuskanlah aku, dan tetapkanlah aku pada golongan orang yang bahagia.” (Ibid, Juz. 16, Hal. 483)
Apa yang dilakukan para salaf, bukanlah tanpa dalil, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri menegaskan:
لَا يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلَّا الدُّعَاءُ وَلَا يَزِيدُ فِي الْعُمْرِ إِلَّا الْبِرُّ
“Tidaklah ketetapan Allah dapat ditolak kecuali dengan doa, dan tidaklah menambahkan usia kecuali berbuat kebaikan.” (HR. At Tirmidzi no. 2139, katanya: hasan gharib. Syaikh Al Albani mengatakan hasan, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2139. Lihat Juga Shahihul Jami’ No. 7687. Lihat juga Shahih At Targhib wat Tarhib No.1639, 2489. Lihat juga As Silsilah Ash Shahihah No. 154)
Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun mengajarkan doa sebagai berikut: Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمْ الْمَوْتَ مِنْ ضُرٍّ أَصَابَهُ فَإِنْ كَانَ لَا بُدَّ فَاعِلًا فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتْ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتْ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي
“Janganlah kalian mengharapkan kematian lantaran buruknya musibah yang menimpa, sekali pun ingin melakukannya, maka berdoalah: “Allahumma Ahyini Maa Kaanat Al Hayatu Khairan Liy, wa Tawaffani Idza Kaanat Al Wafaatu Khairan Liy (Ya Allah, hidupkanlah aku selama kehidupan itu adalah baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika memang wafat itu baik bagiku).” (HR. Bukhari No. 5990, Muslim No. 2680, At Tirmidzi No. 970, Ibnu Hibban No. 968, Abu Ya’la No. 3799, 3891, Ahmad No. 13579 )
Dari berbagai keterangan ini, nampak bagi kami bahwa pendapat yang menyebutkan bahwa apa-apa yang ditulisNya dapat diubah dengan kehendakNya adalah lebih kuat. Wallahu A’lam
Catatan Kaki:
[1] Kisah Nabi Ibrahim dan Jibril yang dikutip Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id ini, diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 1077, dengan sanad Abu Abdillah Al Hafizh, Abul Abbas bin Yaqub, Muhammad bin Abdul Wahhab, Ali bin’Atsam, Bisyr bin Al Harits, lalu dia cerita seperti di atas.
Kisah ini juga terdapat dalam beberapa kitab tafsir, seperti Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 5/351, Dar Ath Thayyibah. Adhwa’ul Bayan, 3/425 dan 4/163, Darul Fikr. Lalu Aysar At Tafasir, 2/480, Mawqi’ At Tafasir. Lihat juga Al Bahrul Muhith, 8/185, Mawqi’ At Tafasir. Lihat juga Al Bahrul Madid, 4/91-92, Mawqi’ At Tafasir. Lihat Ad Durul Mantsur, 7/73, Mawqi’ At Tafasir. Lihat juga Al Kasysyaf, 4/243, dan lain-lainnya.
Syaikh Al Albani Rahimahullah mengatakan tentang riwayat ini: laa ashala lahu – tidak ada dasarnya dari nabi, merupakan riwayat Israiliyat. (As Silsilah Adh Dhaifah No. 21). Wallahu A’lam