(Bulan Muharam 7 H / Juni 628 M)
Pada bulan Muharam tahun 7 H/Juni 628 M, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama kaum muslimin melakukan penyerangan kepada kaum Yahudi di Khaibar.
Khaibar adalah kota besar yang dikelilingi oleh benteng dan perkebunan, berjarak 86 km dari utara kota Madinah. Selama ini kota itu menjadi pusat makar dan provokasi yang selalu mengacaukan keamanan kaum muslimin.
Benteng-benteng di kota Khaibar terdiri dari dua lapis. Lapisan pertama terdiri dari lima benteng, yaitu: (1) Benteng Na’im, (2) Benteng Sha’b bin Mu’az, (3) Benteng Zubair, (4) Benteng Ubay, (5) Benteng Nizar. Sementara lapisan kedua terdiri dari tiga benteng: (1) Benteng Qamus, (2) Benteng Watih, (3) Benteng Salalim.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi bersama 1400 pasukan, mereka ini adalah para sahabat yang sebelumnya telah berbai’at dalam peristiwa baiatur ridwan / Hudaibiyah. Orang-orang munafik yang tidak ikut dalam perjanjian Hudaibiyah dilarang ikut oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah keberangkatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pemimpin kaum munafik, Abdullah bin Ubay segera memberitahu Yahudi Khaibar tentang keberangkatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Kaum Yahudi kemudian meminta bantuan suku Ghathafan yang selama ini terikat perjanjian dengan mereka. Kepada Ghathafan dijanjikan setengah hasil panen Khaibar jika mereka menang berperang.
Berangkatlah suku Ghathafan memberi bantuan kepada Yahudi Khaibar. Namun di tengah perjalanan, mereka mendengar isu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyerang kampung yang mereka tinggalkan. Karena diliputi kekhawatiran, akhirnya mereka kembali pulang.
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengepung benteng pertama milik Yahudi, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menunggu selama enam hari tanpa melakukan apapun. Pada malam ketujuh, Umar bin Khaththâb radhiyallâhu’anhu berhasil menangkap seorang Yahudi yang tengah keluar dari benteng dan membawanya ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam keadaan sangat takut, orang Yahudi tersebut mengatakan: “Jika kalian memberi jaminan keamanan kepadaku, akan aku tunjukkan kepada kalian sesuatu cara agar kalian berhasil menaklukkan mereka”. Selanjutnya ia mengatakan, “Penghuni benteng ini telah diliputi rasa lelah dan jemu. Mereka mengirim anak-anak mereka ke benteng yang ada di belakangnya. Dan mereka akan keluar menyerang kalian esok hari.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh, besok aku akan berikan panji perang kepada seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan dia dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah akan menaklukkan musuh dengan kedua tangannya.”
Keesokan harinya, beliau menanyakan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diberitahu bahwa Ali radhiyallâhu’anhu mengalami rasa sakit di kedua matanya. Selanjutnya, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Ali radhiyallâhu’anhu dan meludah di kedua matanya. Seketika itu juga Allah Ta’ala menyembuhkan kedua matanya; seakan-akan tidak pernah ada rasa sakit sebelumnya.
Kemudian, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan panji perang kepada Ali radhiyallâhu’anhu. Setelah itu, kaum Muslimin bergerak menyerang kaum Yahudi hingga berhasil menaklukkan benteng tersebut. Kaum Muslimin terus menaklukkan benteng demi benteng, hingga Allah Ta’ala menyempurnakan penaklukan Khaibar.
Dalam peperangan ini jumlah pasukan kaum muslimin yang syahid ada 16 orang, sedangkan korban dari orang-orang Yahudi berjumlah 93 orang. Allah Ta’ala hinakan kaum Yahudi dan memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin.
Hasil dari penaklukan Khaibar, kaum muslimin mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) yang sangat berlimpah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam segera membagi-bagikan harta ghanimah tersebut kepada setiap anggota pasukannya.
Pada saat itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Shafiyah binti Huyay yang ditawan oleh kaum muslimin, setelah dia bersedia masuk Islam. Dia adalah anak tokoh Yahudi Bani Quraizah; Huyay bin Akhtab.
Kaum Yahudi memohon kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mereka tetap dibiarkan tinggal di sana dan mengolah lahan pertanian dengan imbalan separuh hasil panen. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyetujuinya, Beliau bersabda, ”Kami menyetujui permohonan kalian sebatas kehendak kami.”