Sekitar 113 anggota dan pemimpin gerakan An-Nahdhah mengajukan pengunduran diri mereka menyusul pertemuan Dewan Syura gerakan itu pada subuh hari Sabtu.
Sebuah pernyataan yang ditandatangani oleh mereka yang mengundurkan diri mengatakan bahwa mereka mengambil langkah itu karena “kegagalan partai di tingkat internal dan nasional, yang membuka pintu terjadinya kudeta terhadap konstitusi dan lembaga-lembaga lain yang berasal darinya.”
Pernyataan itu menyatakan: “Pilihan politik yang salah dari kepemimpinan gerakan An-Nahdhah telah menyebabkan terisolasinya gerakan serta kegagalannya untuk secara aktif terlibat dalam 1 blok bersama manapun untuk melawan bahaya otoriter yang terjadi dan terwakili oleh keputusan 22 September (keputusan Presiden Kais Saied membekukan Parlemen ).”
Pengunduran diri tersebut termasuk nama-nama tokoh terkemuka diantaranya mantan Menteri Abdel Latif Al-Makki, Menteri Samir Dilo, anggota parlemen, dan anggota Dewan Syura.
Dalam sebuah pernyataan yang diposting di halaman resmi Facebooknya, Abdellatif El-Makki menggambarkan pengunduran diri itu sebagai “rasa sakit luar biasa, namun tidak ada pilihan lain yang tersisa setelah berusaha mencoba, terutama dalam beberapa bulan terakhir.”
Pernyataan itu juga menyampaikan tentang hilangnya sikap demokratis di internal gerakan, sentralisasi yang berlebihan di dalam gerakan, dan monopoli keputusan oleh sekelompok anggota yang loyal kepada pemimpin gerakan, terutama dalam beberapa tahun terakhir.
Kami (Arabi21) menghubungi sebuah sumber resmi dari gerakan itu dan dia mengkonfirmasikan kepada “Arabi 21” bahwa ide untuk mengundurkan diri itu telah ada sejak berbulan-bulan lalu, penyebab utamanya adalah adanya perselisihan dengan pemimpin gerakan dan kebijakannya dalam mengelola krisis.
Sumber itu juga menegaskan bahwa mereka yang mengajukan pengunduran diri tidak menghadiri pertemuan luar biasa Syura yang diadakan tadi malam untuk memastikan sikap politik yang perlu diambil terkait krisis yang sedang dialami negara tersebut.
Selama berbulan-bulan, gerakan An-Nahdhah telah menderita ketidaksepakatan dan perpecahan yang tajam di antara para pemimpinnya dimana dua kubu kemudian muncul. Yang pertama adalah yang setia kepada ketuanya Rached Ghannouchi, dan satu lainnya adalah yang diklasifikasikan sebagai kubu reformis yang menentang ketua gerakan.
Pada hari Rabu lalu, Presiden Kais Saeid memutuskan untuk menghapus konstitusionalitas badan pemantau undang-undang, mengeluarkan undang-undang dengan keputusan presiden, dan mengambil alih kekuasaan eksekutif dengan bantuan pemerintah, menurut pernyataan kepresidenan sebagaimana dilaporkan oleh Koran resmi “Al-Raed”.
Sejak 25 Juli lalu, Tunisia telah mengalami krisis politik parah ketika Presiden Saied memutuskan untuk membekukan Parlemen, mencabut kekebalan para anggota dewan, dan memberhentikan Perdana Menteri Hicham El Mechichi. Setelahnya, Saeid mengambil alih eksekutif dengan bantuan pemerintah yang diangkatnya, kemudian dikeluarkannya perintah pemecatan para pejabat dan mengangkat yang lain.
Sumber: Arabi21