Kita–sebagai seorang muslim—berpandangan bahwa kita oleh agama diperintahkan untuk melakukan dialog dengan pihak lain. Hal itu adalah bagian dari konsep dakwah Islam, yang Allah perintahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan orang-orang Islam sesudah beliau. Allah berfirman,
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Debatlah mereka dengan cara yang baik.[1]
Dalam ayat di atas Alllah mengajarkan agar dalam memberi nasehat cukup dengan cara yang baik, serta dalam melakukan dialog harus dengan cara yang lebih baik lagi. Sebab, nasehat baru bisa diterima oleh orang-orang yang sepaham, sementara dialog dan debat dilakukan kepada orang-orang yang tidak sefaham (berbeda pandangan). Karena itu, dalam menyampaikan pesan harus dengan kata-kata yang lembut dan cara-cara yang santun guna menarik simpati mereka serta guna mendekatkan antara mereka dan kaum muslim.
Barang siapa yang mencermati Alquran, maka ia akan mendapati bahwa Alquran adalah kitab dialog yang tidak ada bandingannya. Di dalamnya terdapat dialog antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kaumnya, dialog Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Hud, Saleh, Syuaib, dan juga nabi-nabi lain bersama kaumnya.
Juga terdapat dialog Allah dengan makhluknya Malaikat ketika hendak menciptakan Adam. Bahkan, Alquran juga menyebutkan dialog antara Allah yang Maha Tinggi dan makhluk-Nya yang jahat, Iblis. Ia merupakan dialog yang panjang yang disebutkan dalam beberapa surat dalam Alquran (surat al-A’raf, surat al-Hijr, surat al-Isra’, surat Shad).
Oleh karenanya, kita menyambut baik setiap dialog yang bersifat konstruksif dan positif dengan semua orang yang berbeda pandangan dengan kita selama dia menghendaki kebenaran dan tidak bermaksud memaksakan pemahaman-pemahaman tertentu, falsafah tertentu, atau politik tertentu. Terutama dengan ahlul kitab, dan lebih khusus lagi dengan kalangan Nasrani.
Alquran telah mengajarkan tentang bagaimana cara berdialog, dalam firman-Nya,
وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ وَقُولُوا آَمَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَهُنَا وَإِلَهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Janganlah kalian berdebat dengan Ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka. Katakanlah, “Kami beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu. Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu. Hanya kepada-Nya kami berserah diri.[2]
Kita diperintahkan untuk melakukan dialog dengan para ahli kitab; Yahudi dan Nasrani, dengan cara yang terbaik dan yang paling bisa mendekatkan. Kecuali dengan kalangan yang zalim dan melampaui batas. Maka, tidak ada dialog antara kita dan mereka. Adapun yang lain, mereka itulah yang kita ajak berdialog dengan cara yang terbaik. Yaitu dengan mempergunakan kata-kata yang lembut, cara yang santun. Juga, perlu disampaikan sejumlah kesamaan, dan hal-hal yang kita sepakat dengan mereka untuk mengurangi perbedaan dan perselisihan. Oleh sebab itu Allah Swt berfirman,
وَقُولُوا آَمَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَهُنَا وَإِلَهُكُمْ وَاحِدٌ
Katakanlah, “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu. Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu.[3]
Dalam ayat di atas disebutkan kesamaan-kesamaan yang ada, sehingga mendekatkan kedua belah pihak. Dikecualikan darinya orang-orang yang zalim. Tidak ada dialog antara kita dan mereka.
Ketika Yahudi Zionis menzalimi kita, merampas tanah kita, mengusir keluarga kita, menumpahkan darah kita, maka tidak ada sikap kepada mereka kecuali perlawanan. Namun demikian, kita tetap berdialog dengan Yahudi yang lain, yang tidak ikut serta melakukan kriminal penjajahan. Kita pun berdialog dengan ahli kitab dari kalangan nasrani dengan cara yang terbaik, lapang dada, ikhlas, dengan meyakini pentingnya sikap saling memahami; bukan kontradiksi dam permusuhan.
Yusuf Qardhawi, ketua Persatuan Ulama Islam se-Dunia, ketika memberi sambutan pada pembukaan pertemuan perdana berkata, ”Kita sampaikan dengan terus terang bahwa Persatuan Ulama Islam se-Dunia tidaklah eksklusif, Pintu dan jendelanya terbuka bagi semua pihak yang ada di sekililingnya, bagi semua agama, peradaban, dan pemikiran yang ada. Dengan bertitik tolak dari agama, mereka meyakini pluralitas ras, bahasa, agama, dan peradaban. Hanya Allah yang Maha Esa, sementara yang lain adalah banyak dan beragam. Keragaman ini ada karena kehendak Allah dan terkait dengan hikmah-Nya. Ia meyakini pentingnya dialog dengan kalangan yang berbeda pandangan; bukan permusuhan dengan mereka. Dialog bisa berbuah jika didasari tujuan yang baik, niat yang jernih, kemauan yang benar, serta berpegang dengan etika dialog. Maka, seperti yang diperintahkan Alquran, ia akan menjadi dialog yang dilakukan lewat cara yang terbaik.
Oleh karenanya kita menyambut dialog, khususnya antara Islam dan kristen, dikarenakan al-Masih, ibunya, dan kitabnya mempunyai kedudukan khusus dalam Alquran dan kaum muslimin.
Kita melihat terdapat sejumlah aspek penting yang memungkinkan bagi kedua belah pihak untuk melakukan kerjasama di dalamnya. Diantaranya adalah:
Pertama: masalah iman kepada Allah dan hari kiamat. Hal itu untuk menghadapi paham materialisme yang mengingkari perkara gaib sekaligus menyebarkan pemahaman ateis ke seluruh dunia. Menurut mereka cerita hidup ini tidak lain adalah rahim yang melahirkan dan bumi yang menelan. Tidak ada sesuatupun setelah itu.
نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ
Kita mati dan kita hidup, serta tidak ada yang akan membinasakan kita selain perjalanan waktu.[4]
Juga untuk menghadapi kelompok yang beriman kepada Allah secara teori tanpa pernah menghadirkan Allah dalam kehidupan dan pola pikirnya, serta tanpa memberikan hak kepada-Nya untuki memerintah dan melarang. Itu adalah keimanan yang rusak dan tidak berguna.
Kedua: masalah norma-norma akhlak, yang secara turun temurun diwarisi oleh manusia dari para nabi yang memberikan petunjuk. Hal ini guna menghadapi kelompok permisif, yang nyaris menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan yang mulia, sehingga kita saksikan di Barat orang-orang kristen –yang mengaku sebagai kristen (pengikut Isa)- membolehkan telanjang, penyimpangan seksual, zina atas landasan suka sama suka, pernikahan sejenis, serta membolehkan aborsi dan lain-lain.
Ketiga: masalah keadilan, kehormatan, dan kebebasan, serta segala yang berhubungan dengan hak-hak manusia, kekuasaan rakyat, serta hak mereka untuk mengambil kembali hak-hak dan kebebasan mereka di tanah kelahirannya. Contoh yang paling jelas adalah seperti hak rakyat Palestina yang dizalimi, yang darah mereka ditumpahkan setiap hari, rumah-rumah mereka di hancurkan, tanah mereka dijarah, pohon-pohon ditumbangkan, hak tanah mereka dicabut, kehormatan mereka dilanggar, kesucian mereka dinodai, di mana semua itu disaksikan oleh dunia.
Inilah sejumlah aspek yang di dalamnya pihak manapun yang meyakini Allah, risalah-Nya, dan hari kiamat bisa bekerja sama guna melawan orang-orang yang menentang agama, menentang keimanan, serta memerangi kaum yang beriman kepada-Nya.
Catatan Kaki:
[1] Q.S. al-Nahl: 125.
[2] Q.S. al-Ankabût: 46.
[3] Q.S. al-Ankabut: 46.
[4] Q.S. al-Jâtsiyah: 24.