Pemberantasan Kaum Pemberontak
Di awal-awal masa pemerintahan Muawiyah terjadi pemberontakan-pemberontakan kecil yang dilakukan oleh kaum Khawarij:
- Pemberontakan Abdullah bin Abul Hausa di An-Nakhilah (sebuah tempat yang berdekatan dengan Kufah dari arah Syam)
- Pemberontakan Hautsarah bin Dzira’ Al-Asadi (41 H)
- Pemberontakan Farwah bin Naufal Al-Asyja’i (53 H)
- Pemberontakan Al-Mustairid bin Juwain Ath-Tha’i.
Syiah tidak Melakukan Pemberontakan
Kelompok Syiah tidak pernah melakukan pemberontakan bersenjata terhadap Muawiyah bin Abu Sufyan semasa kekhalifahannya (41 – 60 H). Selama rentang waktu tersebut kelompok syiah hanya melontarkan kritikan-kritikan kepada pemerintahan Muawiyah.
Al-Husain bin Ali pernah diajak melakukan pemberontakan oleh penduduk Irak namun menolak. Karena Muawiyah secara umum memperlakukan Al-Husain dan ahlul bait dengan baik.
Politik Luar Negeri Muawiyah
Pasca kondisi yang relatif stabil pada masa pemerintahannya, Muawiyah mengambil kebijakan untuk tidak memperluas futuhat seperti di masa-masa sebelumnya. Ia lebih mementingkan pengokohan internal umat Islam dan penjagaan wilayah-wilayah yang telah dikuasai, diantaranya dengan menumpas berbagai pemberontakan yang terjadi di daerah-daerah bekas Persia.
Memperkokoh Islam
Agar bangsa Persia merasakan betul ajaran Islam, Muawiyah sengaja menempatkan puluhan ribu keluarga Arab di daerah-daerah, terutama Khurasan. Dengan kebijakan ini diharapkan terjadi asimilasi perkawinan dan akulturasi antara masyarakat Arab dan Persia. Apalagi orang-orang Arab tersebut adalah para sahabat yang masih hidup serta para tabi’in.
Muawiyah berupaya memberikan kenyamanan kepada warganya agar mereka menyadari bahwa pemerintahan Islam jauh lebih baik daripada pemerintahan sebelumnya. Politik luar negeri seperti ini dijalankan pula oleh para walikota Irak: Abdullah bin Amr, Al-Mughirah bin Syu’abah, dan Ziyad bin Abu Sufyan dan Ubaidillah, putranya.
Dengan kebijakan ini umat merasa lebih tentram, juga kemanfaatannya terasa khususnya di bagian timur wilayah Islam. Menurut DR. Hasan Ahmad Mahmud dalam Al-Islam fi Asia Al-Wustha, hasil yang utama adalah kesadaran yang kuat dari bangsa Persia untuk segera memeluk Islam.
Memperhatikan Wilayah Barat
Muawiyah memberikan perhatian khusus di wilayah Barat, yaitu negeri Syam dan Mesir yang berhadapan langsung dengan imperium Romawi Byzantium. Ada bahaya mengancam yang bisa datang kapan saja melalui daerah-daerah perbatasan. Berbagai wilayah kekuasaan Byzantium di Asia Kecil, Eropa, dan Afrika Utara masih bertebaran dan memiliki kekuatan.
Kebijakan Penting dalam Upaya Menekan Konstantinopel
Pertama, Muawiyah memperhatikan peran industri perkapalan di Mesir dan Syam. Ia menyiapkan tenaga-tenaga professional serta menyiapkan dana untuk upah dan bonus para pekerja. Juga mengsinergikan pengolahan bahan baku industri perkapalan dari Syam dan Mesir.
Di Syam terdapat pohon shanbur (sejenis cemara), pohon ek, dan pohon juniper yang cocok untuk membuat kapal. Sementara di Mesir ada pohon shant (sejenis akasia) yang cocok untuk membuat lambung kapal. Juka pohon sikamore, pohon labakh (sejenis sirih), dan pohon doum yang sangat cocok untuk membuat dayung.
Tambang besi banyak terdapat di Mesir, Yaman, dan Syam dimanfaatkan untuk membuat paku, baling-baling, kapak, dll. Di Mesir banyak bahan ter/tir yang digunakan untuk mendempul atau menambal lubang-lubang kayu kapal. Juga pohon daqas untuk membuat tambang.
Muawiyah memerintahkan Maslamah bin Mukhallad (gubernur Mesir) untuk membangun galangan kapal di Pulau Ar-Raudhah pada tahun 54 H.
Kedua, memperkuat benteng-benteng pertahanan di daerah pesisir negara Mesir dan Syam serta memenuhinya dengan kapal-kapal dan para perwira angkatan laut.
Ketiga, menguasai pulau-pulau yang terletak di sebelah timur laut Mediterania (53 H/672 M)
Dimulai dengan menguasai Cyprus. Dikuasai pula Pulau Rhodes, pulau subur ditumbuhi zaitun, wortel, dan buah-buahan serta melimpah airnya. Dikuasai pula Pulau Arward. Kemudian menguasai Pulau Kreta. Sisilia terus menerus diserang di bawah komando Muawiyah bin Hudaij.
Keempat, memperkokoh pertahanan di ujung-ujung wilayah utara negeri Syam yang berbatasan langsung dengan Byzantium.
Muawiyah juga menguasai benteng Samosata dan Melitene, juga merenovasi benteng-benteng Germanikea dan Adata. Selanjutnya menguasai benteng Sozopetra. Ia terus menerus melancarkan serangan militer dengan nama ash-shawaif (serbuan musim panas) dan asy-syawati (serbuan musim dingin).
Hal ini dilakukan agar pengokohan wilayah berkesinambungan, juga wilayah-wilayah itu menjadi medan latihan para prajurit Islam, mebiasakan mereka merayap, berjalan jauh, dan mendaki pegunungan yang sulit dijangkau.
Muncul Tokoh-tokoh Militer Terkemuka
Dari hasil tempaan di medan perang seperti itu, munculah dari umat Islam jenderal militer dan ahli strategi perang berikut:
- Abdullah bin Kurz Al-Bajali
- Yazid bin Syajarah Ar-Rahawi
- Malik bin Hubairah As-Sakuni
- Janadah bin Abu Umayyah Al-Azdi
- Sufyan bin Auf
- Fadhdhalah bin Ubaid
- Malik bin Abdullah Al-Khuts’ami bergelar Malikus Shawaif (Raja Serbuan Musim Panas).
Pengepungan Konstantinopel Pertama
Setelah persiapan-persiapan itu (persiapan perang darat dan laut, melatih prajurit, dan membentengi wilayah-wilayah perbatasannya) mulailah Muawiyah berupaya menggempur Konstantinopel.
Ia mengirimkan pasukan pengintai guna mengetahui sekuat apa pertahanan kota tersebut. Fadhdhalah bin Ubaid Al-Anshari ditugaskan memimpin pasukan dan menyapu bersih semua benteng Byzantium hingga ke Kota Chalcedon. Disana ia membangun pangkalan militer pada musim dingin 668 – 669 M. Pada musim dingin operasi militer berhenti sambil menunggu pasukan bala bantuan.
Setelah datang pasukan bala bantuan, serangan besar dilancarkan. Kepemimpinan militer diserahkan kepada Sufyan bin Auf, sementara Yazid bin Muawiyah ditugasi sebagai pengawas pasukan. Di dalam pasukan itu terdapat Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Abu Ayyub Al-Anshari, Abdul Aziz bin Zurarah Al-Kilabi, dan lain-lain.
Mereka memasuki wilayah Romawi hingga mencapai Konstantinopel. Mereka berperang selama beberapa hari. Abu Ayyub Al-Anshari syahid di Konstantinopel dan dimakamkan di dekat temboknya. Kampanye militer pertama ini tidak berhasil mendobrak Konstantinopel. Kondisi alam, cuaca ekstrim, dan besarnya ombak dari arah utara laut hitam menjadi faktor penghambat.
Namun serangan ini sukses dari sisi politik, karena memaksa Kaisar Constantine fokus mempertahankan ibu kota yang rentan terhadap serangan umat Islam.
Pengepungan Konstantinopel Kedua
Muawiyah mempersiapkan dan mengerahkan armada yang sangat besar guna mengepung Konstantinopel. Armada bersiaga di sepanjang tembok kota itu dari tahun 54 – 60 H (673 – 679 M). Dalam rentang waktu tersebut terjadi beberapa kali bentrokan antara armada Islam dan armada Byzantium sejak pagi hingga sore. Mereka berjaga dengan melontarkan panah dan ketapel raksasa. Hal ini berlangsung hingga 7 tahun, dan perang hanya terjadi pada dua musim, yaitu musim gugur dan musim panas.
Selama masa jeda Kaisar Constantine memperbaiki tembok-temboknya dan memperkuat sistem pertanahannya, ditambah pemenuhan logistik dan perlengkapan. Mereka memiliki senjata andalan ‘Api Yunani’ (persenyawaan kimia yang terdiri atas minyak, belerang, dan aspal) yang disulut dengan api dan dilempar ke arah kapal-kapal agar terbakar. Apinya membesar jika disiram air.
Penemu senjata ini adalah seorang insinyur berkebangsaan Suriah bernama Kalinkos. Awalnya ia bekerja untuk pasukan Islam tapi kemudian membelot.
Pengepungan Berakhir
Muawiyah melihat pengepungan ini belum membuahkan hasil, sementara ia memiliki firasat semakin dekatnya kematian. Sementara itu ia mengantisipasi kondisi politik dalam negeri yang akan terjadi seiring momentum pergantian kepemimpinan.
Byzantium pun menghendaki berhentinya peperangan yang menguras tenaga dan seluruh potensinya. Maka diutuslah Yohanes sebagai diplomat ke Damaskus. Disepakatilah gencatan senjata selama 30 tahun.
Seiring dengan kebijakan politik dan strategi Muawiyah dalam menekan Byzantium, berbagai serangan juga dilancarkan ke Afrika Utara, dengan menjadikan Mesir sebagai pangkalan militernya, hingga berhasil menaklukkan Ifriqiyyah (Tunisia). Uqbah bin Nafi’ berhasil mendirikan Kota Kariouan pada tahun 50 H untuk dijadikan pangkalan militer dalam serangan ke seluruh wilayah Afrika Utara
Arti penting Wilayah Ifriqiyyah:
- Wilayah Afrika Utara mencakup perbatasan Mesir bagian Barat.
- Afrika Utara adalah wilayah yang tunduk pada kekuasaan Negara Byzantium.
Kontroversi Muawiyah
Pada tahun 60 H (679 M), Muawiyah mengangkat anaknya, Yazid, menjadi putra mahkota. Hal ini menimbulkan sorotan tajam kepadanya karena dianggap telah menyimpang dari manhaj kenabian.
Pemilihan khalifah selama era Khulafaur Rasyidin dilandasi musyawarah dan baiat. Umar bahkan menjauhkan sepupunya, Sa’id bin Zaid bin Amr bin Nufail, dari keanggotaan Ahlu Syuro. Umar juga menolak mentah-mentah usulan pengangkatan anaknya, Abdullah, menjadi khalifah.
Ide pengangkatan putra mahkota ini ditentang tiga orang sahabat terkemuka: Al-Husain bin Ali, Abdullah bin Zubair, dan Abdullah bin Umar
Ijtihad Muawiyah?
Tentang penunjukan putra mahkota ini Ibnu Khaldun berkata: “Motif yang mendasari Muawiyah melimpahkan kekuasaannya kepada Yazid putranya, bukan kepada orang lain, adalah demi kepentingan umum, yaitu persatuan dan kesatuan masyarakat, sekaligus menyetujui keinginan ahlul halli wal aqdi yang beranggotakan Bani Umayyah….Ia lebih memilih orang yang tidak diunggulkan daripada yang diunggulkan demi menjaga persatuan dan kesatuan masyarakat…kehadiran para sahabat senior dalam baiat itu dan sikap diam mereka terhadapnya menunjukkan tidak adanya keraguan tentangnya…toh yang menentang pengangkatan yang disepakati mayoritas ini hanyalah Ibnu Zubair seorang…” (Al-Muqaddimah, 2: 613)
Terbuktinya Sabda Nabi
‘Ala kulli hal, tindakan Muawiyah tersebut menjadi bukti kebenaran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْخِلاَفَةُ فِى أُمَّتِى ثَلاَثُونَ سَنَةً ثُمَّ مُلْكاً بَعْدَ ذَلِكَ
“Khilafah di tengah umatku selama 30 tahun. Kemudian setelah itu diganti kerajaan.” (HR. Ahmad 22568, Turmudzi 2390 dan sanadnya dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Khilafah Abu Bakar berlangsung 2 tahun 3 bulan, Khilafah Umar berlangsung 10 tahun 6 bulan, Khilafah Utsman berlangsung 12 tahun, Khilafah Ali berlangsung 4 tahun 9 bulan, dan Khilafah Hasan berlangsung 6 bulan. (Syarh Aqidah Thahawiyah, Ibnu Abil Izz, 3/172)
Hadits di atas menyebutkan khilafah berlangsung selama 30 tahun, maksudnya adalah khilafah yang tidak terpengaruh oleh sistem kerajaan, yaitu masa keberlangsungan khulafaur-rasyidin. Sedangkan masa pemerintahan setelahnya adalah masa kekhalifahan yang terpengaruh oleh sistem kerajaan, namun tetap dapat disebut sebagai khilafah.
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu’ Al-Fatawa mengutip Qadhi Abu Ya’la untuk menjawab pertanyaan seseorang apakah setelah masa 30 tahun Khilafah telah berubah menjadi kerajaan sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits. Kata Ibnu Taimiyyah : “Qadhi Abu Ya’la menjawab bahwa ada kemungkinan yang dimaksud dengan ‘Khilafah’ dalam hadits ‘Khilafah itu berlangsung 30 tahun’, adalah Khilafah yang tidak terpengaruh oleh kerajaan setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan yang dimaksud ‘berlangsung 30 tahun’ adalah Khilafah dari para khalifah yang empat. Adapun Khilafah Mu’awiyah telah terpengaruh dengan sistem kerajaan, namun hal ini tidaklah membuat cacat kekhalifahan Mu’awiyah.” (Ibnu Taimiyah, Majmuu’ Al-Fatawa, Juz XXVIII, hlm. 18)