Islam adalah risalah universal. Dalam Islam tidak ada perbedaan antara Barat dan Timur. Keduanya adalah bagian dari negeri Allah yang luas. Hal ini sebagaimana bunyi firman-Nya,
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ
Kepunyaan Allah timur dan barat. Maka, kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.[1]
Orang-orang Barat merupakan bagian dari penduduk dunia yang Allah kirimkan Rasul-Nya, Muhammad, sebagai rahmat bagi mereka. Allah berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Tidaklah Kami mengirimmu (wahai Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.[2]
Hanya saja persoalannya terletak pada orang-orang Barat itu sendiri, atau lebih tepatnya berada pada jiwa dan sikap mereka terhadap Islam. Mereka membuat sebuah persepsi tentang Islam yang sama sekali tidak terkait dengannya.
Persepsi tersebut mereka warisi sejak perang salib ketika pasukan mereka berdatangan dari Eropa dalam sebuah ekspansi yang berkelanjutan, dengan menduduki sejumlah wilayah yang sudah terpecah belah, serta dengan mendirikan sejumlah kerajaan di dalamnya. Pada awalnya mereka mendapatkan kemenangan. Namun, tidak lama kemudian mereka kalah dalam perang Hittin, Baitul Maqdis, dan al-Manshurah, serta Louis kesembilan ditawan di Dar Ibn Luqman.
Perang tersebut meninggalkan kesan psikologis dan mental. Setelah itu, ia menjadi salah satu faktor kebangkitan Barat yang diambil dari peradaban Timur Islam. Hanya saja sebagian orientalis dan tokoh agama Masehi menggambarkan Islam dan kaum muslimin kepada masyarakat umum dengan gambaran yang buruk dan negatif yang sama sekali tidak terkait dengan hakikat Islam dan umatnya. Namun, gambaran tersebut tertanam kuat dalam benak orang Barat dan jiwa mereka. Hal itu terus terwarisi dari generasi ke generasi.
Karena itu, Anda bisa melihat bagaimana orang-orang yang sedang kita bicarakan ini, ketika berbicara tentang agama lain selain Islam atau tentang umat selain umat Islam, mereka menyajikannya dengan cukup objektif dan adil. Namun, ketika berbicara tentang Islam, peradaban, dan umatnya, mereka mengambil sikap yang berbeda. Di dalamnya mereka lebih cenderung dan condong kepada hawa nafsu semata. Mereka yang ingin berlaku adil harus melepaskan diri dari ikatan yang terwarisi sebelumnya dan tampil dengan pribadi lain yang lebih mengedepankan objektivitas dan fakta kebenaran. Inilah yang diakui oleh Gustav Lebonn, Mongomery Watt, dan penulis serta sejarawan Barat lainnya.
Sikap Kita terhadap Barat
Kita kaum muslimin ingin bersikap terbuka terhadap Barat. Agama kita mendorong kepada hal tersebut. Kita tidak mau menutup diri atau memusuhi yang lain. Ada sejumlah faktor yang mengajak kita kepada sikap tersebut:
Pertama, kita adalah penggeggam risalah universal yang diperuntukkan bagi semua manusia di seluruh penjuru dunia.
Benar bahwa kitab suci Islam berbahasa Arab, Rasul-Nya juga merupakan orang Arab, dan Islam tumbuh berkembang di Timur. Namun, ini tidak berarti Islam hanya untuk satu jenis atau golongan tertentu. Akan tetapi, Islam adalah untuk seluruh penduduk dunia. Agama kristen juga tumbuh di Timur lalu berkembang dan menyebar di seluruh dunia.
Kedua, faktor yang bisa mempertemukan, saling mendekatkan, dan saling memahami sangat banyak. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
Wahai manusia, kami menciptakan kalian terdiri dari laki-laki dan perempuan, serta menjadikan kalian beragam suku bangsa agar kalian saling mengenal.[3]
Saling mengenal—bukan saling membelakangi—merupakan kewajiban seluruh penduduk dunia.
Kita tidak sejalan dengan sastrawan Eropa yang berkata, “Timur adalah timur dan barat adalah barat. Keduanya tidak akan pernah bertemu.” Namun, pertemuan sesuatu yang mungkin terlaksana. Bahkan, ia menjadi wajib saat akal lebih dominan daripada hawa nafsu dan sikap bijaksana lebih dominan daripada emosi.
Ketiga, dunia sudah semakin dekat, terutama pasca revolusi komunikasi dan elektronika. Bahkan seorang penulis berkata, “Dunia ini sudah menjadi desa besar.” Namun, menurut kita dunia sudah menjadi desa kecil; tidak lagi besar. Dulu, pada desa yang besar orang-orang yang berada di bagian timur baru mengetahui apa yang terjadi di bagian barat satu atau dua hari kemudian. Atau paling tidak beberapa jam kemudian sesudah peristiwanya berlangsung. Akan tetapi, sekarang orang-orang sudah mengetahui apa yang terjadi di tempat manapun dalam beberapa saat kemudian. Bahkan, kadangkala mereka bisa mengikuti peristiwa tersebut secara langsung.
Karena itu, para pemeluk risalah langit mau tidak mau harus berdialog dan para pemilik peradaban harus bisa saling memahami. Dialog dan upaya untuk saling memahami lebih utama daripada permusuhan dan kebencian. Kita umat Islam sebagaimana telah disebutkan sebelumnya diperintahkan oleh ayat-ayat Alquran untuk melakukan dialog dengan mereka yang berlawanan lewat cara yang terbaik. Terutama, ahlul kitab di antara mereka.
Apa yang Kita Inginkan dari Barat?
Yang kita inginkan dari Barat terangkum dalam sejumlah hal berikut ini:
Agar mereka membuang segala kedengkian masa lalu. Kita adalah generasi masa kini; bukan sisa masa lalu.
Agar mereka membuang segala ketamakan dan keinginan untuk kembali menguasai negeri dan kekayaan kami. Masa imperialis telah berlalu.
Agar mereka membangun pandangan yang bersifat universal dan humanis serta membuang pandangan superior yang dianut oleh bangsa Romawi. Mereka memandang bangsa di luar mereka sebagai barbar.
Agar mereka membuang rasa takutnya kepada kita. Apalagi sejak beberapa abad kita telah menjadi korban kezaliman bangsa Barat.
Agar mereka tidak ikut campur dalam urusan kita dengan memaksakan filsafat mereka kepada kita lewat kekuatan atau tipu daya. Kita adalah bangsa merdeka yang berada di negeri sendiri. Kita berhak mengatur hidup kita sesuai dengan akidah kita dan kehendak kita.
Tidak ada alasan bagi Barat untuk menjadikan kita sebagai musuh dengan memobilisasi perasaan bangsa mereka untuk memusuhi kita pasca runtuhnya Uni Soviet. Juga tidak alasan bagi mereka untuk menyebut kita sebagai “bahaya hijau” setelah runtuhnya “bahaya merah” dan berdekatan dengan “bahaya kuning.”
Islam hanya menjadi bahaya bagi sikap permisif, atheis, kezaliman, perbudakan, kehinaan, dan kerusakan. Di luar itu, ia menjadi rahmat Allah bagi alam semesta. Kaum muslimin merupakan penyeru kepada kebaikan, cinta, dan kedamaian bagi dunia.
Jika ada di antara kaum muslimin sejumlah individu atau kelompok tertentu yang mempergunakan kekerasan tidak pada tempatnya, mereka tidaklah mewakili seluruh umat Islam. Namun, mereka hanya kelompok kecil yang dibesar-besarkan oleh media Barat sendiri. Pada umumnya mereka terdorong untuk melakukan sikap esktrim karena berbagai kezaliman, permusuhan, dan ketidakadilan Barat terhadap kaum muslimin, serta karena sikap mereka yang selalu berpihak kepada Israel yang telah merampas negeri umat Islam dengan mengusir penduduknya. Tentu saja tekanan yang melampaui batas melahirkan ledakan.
Kita umat Islam merasa senang dan lapang jika bertemu dengan orang yang bersikap adil kepada kami serta memandang kami dengan pandangan yang bersih dari sikap fanatik. Manakala kita bertemu dengan kondisi tersebut kita sangat bersukur dan kita sambut mereka. Kita buka hati dan rumah kita untuk mereka.
Catatan Kaki:
[1] Q.S. al-Baqarah: 115.
[2] Q.S. al-Anbiyâ`: 107.
[3] Q.S. al-Hujurât: 13.