Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdouk mengumumkan pengunduran dirinya fajar hari Senin (03/01/22) ditengah memanasnya kondisi politik di negara itu.
Hamdouk mengajukan pengunduran dirinya melalui pidato yang ia sampaikan kepada semua rakyat Sudan. Ia mengatakan “Saya memutuskan untuk mengembalikan amanah ini kepada kalian (rakyat Sudan). Saya mengumumkan pengunduran diri saya dari jabatan perdana menteri dan membuka jalan kepada siapapun putra-putri negeri ini untuk melanjutkan kepemimpinan tanah air kita yang mulia menuju negara yang demokratis.”
Hamdouk menambahkan bahwa “solusi untuk semua permasalahan rumit yang terus menerus ini adalah melanjutkan kembali dialog di meja perundingan antara semua elemen masyarakat dan negara untuk menyepakati sebuah pakta nasional dan menggariskan peta baru untuk menyempurnakan proses transisi yang demokratis.”
Dalam pidatonya, Hamdouk mengakui kegagalannya menyatukan semua elemen kekuatan pemerintahan transisi dalam satu pandangan yang sama. Ia menjelaskan bahwa krisis terbesar yang dialami Sudan hari ini adalah krisis politik. Dan krisis tersebut terus berkembang secara berkala dan mempengaruhi sisi kehidupan ekonomi dan sosial lalu menjadi krisis total yang menyeluruh.”
Hamdouk juga menegaskan bahwa pemerintahan transisi yang diketuainya telah berusaha menghadapi banyak tantangan berat diantaranya adalah anjloknya ekonomi, isolasi dunia internasional, korupsi, utang yang mencapai 60 miliar dolar AS, buruknya pelayanan masyarakat, pendidikan dan kesehatan serta benturan antar lapisan masyarakat yang terlihat dalam konflik Darfour, Kordofan Selatan dan Nil Biru.
Kesepakatan politik antara elemen sipil dan militer gagal bertahan dengan baik seperti saat awal kesepakatan. Perpecahan dan konflik antara keduanya terus memburuk dan mempengaruhi aktifitas pemerintahan secara umum dan masyarakat yang menyebabkan absennya kehadiran negara di banyak lini.
Demonstrasi massal terus terjadi di Sudan, setelah militer melakukan kudeta pada Oktober lalu. Kudeta tersebut membuat Hamdouk sempat menjadi tahanan rumah. Namun, ia kemudian dibebaskan sebulan kemudian setelah menandatangani perjanjian kekuasaan yang baru.
Hamdok, yang merupakan mantan pejabat PBB dipandang sebagai wajah sipil pemerintah transisi Sudan diangkat kembali pada November lalu di tengah tekanan internasional dalam kesepakatan yang menyerukan Kabinet teknokratis independen di bawah pengawasan militer yang dipimpin olehnya.
Kesepakatan tersebut ditolak oleh gerakan pro-demokrasi, yang bersikeras bahwa kekuasaan harus diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah sipil yang bertugas memimpin transisi.
Sumber: RT Arabic.