Nenek Moyang Bani Abbasiyah
Nasab Bani Abbasiyah bersambung ke tokoh-tokoh berikut ini:
- Abdul Muthallib bin Hasyim bin Abdu Manaf, kakek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Hisyam berkata: “Abdul Muththalib bin Hasyim memiliki sepuluh orang putra dan enam orang putri, mereka adalah: Al-Abbas, Hamzah, Abdullah, Abu Thalib, Az-Zubeir, Al-Harits, Hajlaa, Al-Muqawwim, Dhirar, Abu Lahab (Abdul Uzza), Shafiyyah, Ummu Hakiim Al-Baidha’, ‘Atikah, Amiimah, Arwaa dan Barrah.”
Al-Abbas dan Abu Thalib adalah dua putranya yang menurunkan banyak keturunan hingga saat ini.
- Al-Abbas bin Abdul Muthallib, paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lahir 3 tahun sebelum peristiwa Al-Fil (567 M). Al-Abbas sering membantu dakwah Nabi (peristiwa Aqabah, menjadi informan bagi Nabi). Beliau hijrah ke Madinah sebelum Futuh Makkah, dan ikut dalam perang Hunain. Wafat pada masa Utsman bin Affan, Jumat 26 Rajab 32 H (5 Maret 653 M)
Istri dan Anak-anaknya:
Istrinya adalah Lubabah binti Al-Harits bin Huzn dan Jamilah binti Jundub. Anak-anaknya dari Lubabah: Al-Fadhl, Abdullah, Ubaidillah, Abdurrahman, Qatsam, Ma’bad, dan Ummu Habibah. Sedangkan anaknya dari Jamilah binti Jundub adalah Al-Harits. Al-Abbas juga memiliki anak-anak dari seorang Ummu Walad: Katsir, Tamam, Shafiyyah, dan Umaimah.
Al-Fadhl, Qatsam, Abdurrahman, Katsir, dan Tamam tidak memiliki keturunan. Al-Abbas memiliki cucu dari selain mereka, khususnya adalah dari Abdullah bin Al-Abbas. Abdullah bin Abbas inilah yang merupakan nenek moyang para khalifah Bani Abbasiyah.
- Abdullah bin Al-Abbas
Dia adalah putra kedua Al-Abbas bin Abdul Muthallib, dilahirkan dua tahun sebelum hijrah. Ketika Rasulullah wafat, Ibnu Abbas baru berusia 13 tahun.
Mengenai keutamaannya, ia pernah menceritakan bahwa suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di rumah Maimunah radhiyallahu ‘anha. Ia menyiapkan air wudhu untuk Rasulullah di waktu malam. Maimunah berkata, “Wahai Rasulullah, yang menyiapkan air wudhu untukmu adalah Ibnu ‘Abbas.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
اللّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ، وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ
“Ya Allah, pahamkanlah dia terhadap agama dan ajarkanlah (ilmu) tafsir kepadanya.” (HR. Ahmad dalam al-Musnad 1/328 dengan sanad yang hasan)
Umar bin Al-Khatab sering melibatkan Ibnu Abbas dalam forum sahabat senior. Bahkan Umar sering meminta pendapatnya meskipun usianya masih muda. Karena keutamaannya, Utsman bin Affan pernah mengangkat Ibnu Abbas menjadi Amirul Hajj pada tahun 35 H (Juni 656 M). Sedangkan Ali bin Abi Thalib pernah mengangkat Ibnu Abbas menjadi Gubernur Bashrah.
Selama masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Ibnu Abbas menetap di Thaif hingga wafatnya pada tahun 68 H (687 M), pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan.
Putra Abdullah bin Al-Abbas yang menjadi nenek moyang para khalifah Abbasiyah adalah Ali bin Abdullah bin Al-Abbas.
- Ali bin Abdullah bin Al-Abbas
Ibunya bernama Zur’ah binti Masyrah bin Ma’dikariba. Ia lahir pada hari terjadinya pembunuhan Ali bin Abi Thalib (Ramadhan 40 H / Januari 661 M). Ia adalah putra bungsu Ibnu Abbas; seorang yang shalih, mulia, tampan, banyak shalatnya, perawakannya tinggi.
Khalifah Bani Umayyah, Abdul Malik, sebelum wafatnya mewasiatkan kepada anaknya Al-Walid agar memberikan tempat kepada Ali bin Abdullah perkampungan bernama Asy-Syaratul Hamimah di wilayah Balqa, Syam. Berikutnya, disanalah lahir mayoritas anak-cucu Ali bin Abdullah.
Ali bin Abdullah bin Abbas wafat pada tahun 117 H (735 M), pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik. Ia meninggalkan 22 anak laki-laki dan 11 anak perempuan. Diantara anak laki-lakinya adalah: Muhammad, Dawud, Isa, Sulaiman, Shaleh, Ahmad, Bisyr, Mubasyir, Ismail, Abdullah Al-Akbar, Ubaidillah, Abdul Malik, Utsman, Abdurrahman, Abdullah Al-Ashghar, Yahya, Ishaq, Ya’qub, Abdul Aziz, Ismail Al-Ashghar, dan Abdullah Al-Ausath.
- Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Al-Abbas
Dia adalah ayah dari Ibrahim Al-Imam, Abul Abbas As-Saffah, dan Abu Ja’far Al-Manshur, yang merupakan perintis gerakan Bani Abbasiyah. Bahkan disebutkan pula bahwa dia inilah perintis paling awal ide kekhalifahan Bani Abbasiyah. Hal itu tercetus ketika ayahnya, Ali bin Abdullah masih hidup.
Latar Belakang Munculnya Ide Kekhalifahan Bani Abbasiyah
Saat Abdullah bin Az-Zubair melakukan pemberontakan kepada Bani Umayyah, kalangan Bani Hasyim di Makkah, yakni Muhammad bin Ali bin Abi Thalib (Ibnu Al-Hanafiyyah) dan Abdullah bin Abbas enggan membaiatnya, hingga mereka ditawan.
Situasi kacau itu dimanfaatkan oleh Al-Mukhtar bin Ubaid At-Tsaqafi untuk mencapai tujuan politiknya. Ia memanfaatkan kecenderungan penduduk Kufah kepada ahlul bait. Ia menyeru orang-orang untuk mengangkat Muhammad bin Ali menjadi pemimpin.
Muhammad bin Ali sendiri menyatakan pembaiatannya kepada pemimpin Bani Umayyah saat itu, Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Tetapi banyak dari para pendukung Muhammad bin Ali yang menyatakan bahwa dialah yang berhak menjadi khalifah.
Syiah Mengalami Kekacauan
Ketika Muhammad bin Ali wafat, pendukungnya (kaum syiah) berkata: “Ia hanya menghilang dan akan kembali lagi.” Sebagian lain dari mereka mengangkat Abu Hasyim, putra Muhammad bin Ali, sebagai penggantinya. Kelompok pendukung Muhammad bin Ali dan Abu Hasyim ini dikenal juga dengan nama Syiah Al-Kisaniyah.
Sebagian lain (Syiah Imamiyah) mengangkat Ali bin Al-Husain yang dikenal Ali Zainal Abidin sebagai khalifah yang sah sepeninggal Al-Husain padahal Ali Zainal Abidin ini termasuk yang membaiat Yazid bin Muawwiyah dan Abdul Malik bin Marwan.
Setelah Ali Zainal Abidin wafat, kaum Syiah Imamiyah meyakini bahwa Muhammad Al-Baqir adalah orang yang berhak menjadi pemimpin setelah ayahnya.
Diantara kalangan syiah ada yang mendukung Zaid bin Ali bin Al-Husain menjadi pemimpin. Mereka inilah yang dikenal dengan Syiah Zaidiyah yang melakukan pemberontakan kepada Khalifah Hisyam bin Abdul Malik.
Wasiat Abu Hasyim
Abu Hasyim bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib menjelang wafatnya melepaskan hak sebagai khalifah kepada Ali bin Abdullah bin Abbas dan putra-putranya. Karena itulah Syiah Kisaniyah mendukung Ali bin Abdullah bin Abbas.
Prinsip Pergerakan Bani Abbasiyah
Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas berpandangan bahwa pemindahan kekuasaan dari suatu dinasti kepada dinasti lain haruslah didahului dengan kesiapan mental dan pemikiran umat yang matang sebagai persiapan awal pemindahan kekuasaan tersebut.
Semua upaya pemindahan kekuasaan yang sifatnya mendadak tanpa konsep yang memadai pastilah berakibat pada kegagalan. Ia berpandangan hal tersebut harus diselesaikan dengan berhati-hati dan tekad yang kuat.
Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Al-Abbas menyerukan kepada para pendukungnya agar membentuk dan merekrut juru dakwah yang menyerukan kepada masyarakat untuk loyal kepada ahlul bait tanpa menyebutkan seseorang sebagai pemimpin tertinggi demi menghindari kecurigaan dan pengawasan Bani Umayyah.
Kufah dan Khurasan: Basis Teritorial Pergerakan Bani Abbasiyah
Wilayah yang paling kondusif untuk menyebarkan gagasan saat itu adalah Kufah dan Khurasan. Kufah adalah basis pendukung ahlul bait, terutama Ali bin Abi Thalib.
Di Khurasan ide pemindahan kekuasaan kepada Ahlul Bait mudah diterima, karena penduduk Khurasan terbiasa dengan sistem kekuasaan turun temurun di kalangan keluarga kerajaan.
Penduduk Khurasan pun merasa diperlakukan tidak adil oleh Bani Umayyah karena mereka bukan bangsa Arab. Dengan upaya pemindahan kekuasaan itu mereka berharap memperoleh nasib yang lebih baik.
Pergerakan Rahasia Bani Abbasiyah
Di Kufah pergerakan ini dipikendalikan oleh Maisarah, loyalis Ali bin Abdullah bin Abbas. Sedangkan di Khurasan pergerakan ini dipimpin oleh Muhammad bin Khunais dan Abu Ikrimah As-Siraj dengan 12 anggota, yaitu: Sulaiman bin Katsir Al-Khuzai, Malik bin Haitsam Al-Khuzai, Thalhah bin Zuraiq Al-Khuzai, Amr bin A’yun Al-Khuzai, Isa bin A’yun Al-Khuzai, Quthubah bin Syabib At-Thai, Lahiz bin Quraizh At-Tamimi, Musa bin Ka’ab At-Tamimi, Al-Qasim bin Mujasyi At-Tamimi, Abu Dawud Khalid bin Ibrahim Asy-Syaibani, Abu Ali Al-Harawi Syubul bin Thahman Al-Hanafi, dan Imran bin Ismail Al-Muithi. Selain itu, dipilih juga 70 orang da’i atas perintah mereka.
Dua Fase Pergerakan
Fase Pertama (100 – 129 H / 718 – 746 M)
Para da’i menyebar ke berbagai wilayah. Menciptakan opini umum di masyarakat agar menentang Bani Umayyah dan mendukung berdirinya negara Ahlul Bait.
Mereka memfokuskan gerakan di Khurasan guna mengangkat propaganda kesetaraan antar warga Arab dan non Arab.
Fase Kedua (129 – 132 H / 747 – 750 M)
Mulai dideklarasikan pemberontakan bersenjata dan penumpasan Bani Umayyah. Kepemimpinan saat itu berada di tangan ‘Al-Imam’ Ibrahim bin Muhammad bin Ali.
Ibrahim menyerahkan komando kepada Abu Muslim Al-Khurasani. Hal ini membuat penduduk Khurasan lebih bersemangat mendukung gerakan. Sementara orang-orang Arab, yakni saat itu, Yaman Rabiah dan Mudhar tengah berpecah belah.
Deklarasi Revolusi
Saat Abu Muslim datang, Nasr bin Sayyar, kepala daerah Khurasan pemerintahan Bani Umayyah berusaha meminta bantuan kepada Khalifah Marwan bin Muhammad bin Marwan. Namun khalifah sedang sibuk menghadapi pergolakan di Irak, Syam, Mesir, dan negeri lainnya.
Abu Muslim memulai revolusinya di Khurasan pada 129 H (747 M) dan tidak terbendung serta tidak terpengaruh oleh penangkapan Al-Imam Ibrahim bin Muhammad bin Ali.
Menyerang Irak
Saat menyerang ke Irak, tongkat komando diserahkan kepada Qathabah bin Syabib At-Thai (bangsa Arab). Namun ia wafat sebelum Irak dapat dikuasai.
Kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya, Al-Hasan, berhadapan dengan Ibnu Hubairah gubernur jenderal Irak yang berhasil dikalahkannya. Al-Hasan menduduki Kufah pada bulan Rabiul Awwal 132 H (22 Oktober 749 M), dan menyerahkan kepemimpinan kepada Abu Salamah Al-Khallal yang diberi gelar Wazir Ali Muhammad.
Abul Abbas As-Saffah Dibaiat Menjadi Khalifah
Abu Salamah Al-Khallal awalnya berupaya mengalihkan kekhalifahan dari Abbasiyyun (keturunan Abbas bin Abdul Muthalib)) kepada Alawiyyun (Ali bin Abi Thalib), tetapi tidak berhasil, sebab pembaiatan terlanjur diberikan kepada Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Al-Abbas alias Abul Abbas As-Saffah (saudara Al-Imam Ibrahim bin Muhammad) yang dibaiat pada hari Kamis, 13 Rabiul Awwal 132 H / 3 Nopember 749 M
Pertempuran Az-Zab dan Kekalahan Marwan II
Khalifah Marwan II memimpin prajurit menuju Mosul. Sedangkan Abul Abbas As-Saffah menugaskan pamannya Abdullah bin Ali untuk memimpin pertempuran.
Pertempuran terjadi di Sungai Zab (cabang Tigris). Pasukan Khalifah Marwan II yang berjumlah 120 ribu personil dapat dikalahkan oleh 20 ribu personil pasukan Abbasiyah. Peristiwa ini terjadi pada Jumadil Akhir 132 H (Januari 750 M).
Khalifah Marwan awalnya berhasil menyelamatkan diri ke Mesir. Namun berhasil dikejar dan dapat dibunuh pada bulan Dzulhijjah 132 H (5 Agustus 750 M)