Oleh: Dr. Adian Husaini
(Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Dalam beberapa hari terakhir, saya menerima kiriman berita dari sejumlah sahabat tentang berita adanya seorang berjilbab yang menikah di sebuah Gereja. Pada 8 Maret 2022, jpnn.com menurunkan berita berjudul: ”Viral Perempuan Berjilbab Menikah di Gereja, MUI Tegas soal Pernikahan Beda Agama.”
Dikabarkan, bahwa Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan angkat bicara soal perempuan berjilbab di Semarang menikah di gereja yang videonya viral di medsos. Amirsyah mengatakan pernikahan dalam Islam adalah suatu perjanjian suci antara laki-laki dan perempuan yang ingin melanjutkan hubungan yang sah secara syar’i.
“Sehingga halal menjadi pasangan suami istri guna mengikat janji untuk menyatakan bahwa sudah siap membangun rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah,” kata Amirsyah kepada JPNN.com, Selasa (8/3/2022).
Amirsyah menegaskan berdasarkan Fatwa MUI bahwa pernikahan beda agama itu haram dan tidak sah. yang dimaksud Amirsyah ialah Fatwa MUI Nomor:4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama.
“Perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut Qaul Mu’tamad adalah haram dan tidak sah,” ujar Amirsyah. Hal itu juga sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. “Pada Pasal 2 Ayat 1 berbunyi perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Ayat 2 berbunyi tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Amirsyah.
Kita patut bersyukur, bahwa masalah agama masih menjadi urusan yang sensitif bagi masyarakat Indonesia. Meskipun kampanye kawin lintas agama terus-menerus diusahakan legalitasnya oleh sebagian kalangan, tetapi kritikan tajam tentang hal itu juga terus bermunculan. Itu tampak dalam komentar-komentar yang muncul dari para netizen yang merespon berita tersebut. Seorang netizen berkomentar singkat: “zina selamanya.”
Salah satu kampanye perkawinan lintas agama, misalnya, disebutkan dalam buku berujudul: ”Fiqih Lintas Agama”. Buku ini bukan hanya membolehkan perkawinan antar agama, tetapi melangkah lebih jauh lagi dengan menganjurkan masyarakat Indonesia agar melakukan perkawinan antaragama: ”Di tengah rentannya hubungan antar agama saat ini, pernikahan beda agama justru dapat dijadikan wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama. Bermula dari ikatan tali kasih dan tali sayang, kita rajut kerukunan dan kedamaian.”
Dalam hukum Islam, perkawinan antara muslimah dengan laki-laki non-muslim jelas haram hukumnya. Tidak ada khilafiyah dalam masalah ini. Begitu juga sebenarnya dalam hukum postif yang berlaku di Indonesia. Tahun 1992, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Muhammad Daud Ali pernah menulis buku kecil berjudul: ”Perkawinan Antar Pemeluk Agama Yang Berbeda”.
Setelah menguraikan pandangannya berdasarkan hukum Islam dan sejumlah peraturan hukum di Indonesia, Prof. Daud Ali menarik beberapa kesimpulan, diantaranya:
(1) Perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama dengan berbagai cara pengungkapannya, sesungguhnya tidaklah sah menurut agama yang diakui keberadaannya dalam Negara Republik Indonesia. Dan, karena sahnya perkawinan didasarkan pada hukum agama, maka perkawinan yang tidak sah menurut hukum agama, tidak sah pula menurut Undang-undang Perkawinan Indonesia.
(2) Perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama adalah penyimpangan dari pola umum perkawinan yang benar menurut hukum agama dan Undang-undang Perkawinan yang berlaku di tanah air kita. Untuk penyimpangan ini, kendatipun merupakan kenyataan dalam masyarakat, tidak perlu dibuat peraturan tersendiri, tidak perlu dilindungi oleh negara. Memberi perlindungan hukum pada warga negara yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila sebagai cita hukum bangsa dan kaidah fundamental negara serta hukum agama yang berlaku di Indonesia, pada pendapat saya selain tidak konstitusional, juga tidak legal.
Demikianlah kesimpulan Prof. Daud Ali tentang perkawinan antar agama di Indonesia. Sebenarnya sangatlah logis jika seorang yang memahami makna agamanya dengan baik, pastilah lebih mementingkan soal agama dibandingkan dengan soal-soal lainnya. Jika kehidupan keluarga tidak diatur dengan ajaran agama, lalu ajaran apa yang dipakainya?
Sebagian ulama memang berpendapat akan bolehnya seorang laki-laki muslim menikahi wanita ahlul kitab. Tetapi, kebolehan itu dengan syarat-syarat tertentu yang tidak akan merusak keimanan anak-anak dan keluarganya. Dalam Islam, keluarga adalah madrarah yang utama. Bagaimana mungkin pembinaan keimanan dan ibadah serta akhlak anak-anak diserahkan kepada seorang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya!
Karena itulah, MUI memilih hukum yang mengharamkan perkawinan beda agama, untuk mencegah kemudharatan yang lebih besar. Meskipun kasus-kasus perkawinan beda agama itu terus terjadi, tetapi yang masih patut kita syukuri adalah bahwa lembaga-lembaga keagamaan Islam memiliki pendapat yang sama tentang masalah ini.
Adapun kasus-kasus yang terjadi, semoga tidak menjadi tren di tengah amsyarakat kita. Kampanye yang dilakukan sebagian pihak insyaAllah akan gagal jika para ulama Islam terus aktif mengawal aqidah umat.
Sumber: https://dewandakwah.com/2022/03/09/lagi-viral-kawin-lintas-agama-dan-terus-menuai-kritik/