Oleh: Syaikh Muhammad Ali As-Shabuni rahimahullah
وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا
“…Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman…” (QS. Al-Baqarah, 2: 221)
Firman Allah Ta’ala ini menunjukkan haramnya menikahkan laki-laki musyrik dengan perempuan mu’minah. Adapun yang dimaksud الْمُشْرِكِيْنَ (laki-laki musyrik) disini ialah semua orang kafir pemeluk agama non Islam, mencakup penyembah berhala, Majusi, Yahudi, Nasrani, dan orang yang murtad dari Islam. Mereka itu haram dinikahkan dengan perempuan muslimah, dan Allah Yang Mahatinggi dan dan Mahaagung telah menjelaskan dalam firman-Nya,
اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ
“Mereka mengajak ke neraka…” (QS. Al-Baqarah, 2: 221)
Yakni mengajak kepada kekufuran yang akan menjadi sebab masuk ke neraka, karena seorang lelaki memiliki kekuasaan dan wewenang atas istrinya, maka dikhawatirkan ia akan memaksa istrinya yang muslimah itu kepada kekufuran sehingga akan meninggalkan agamanya dan anak-anak mereka akan mengikuti agama si ayah. Kalau si ayah seorang Yahudi atau Nasrani tentu ia akan mendidik dan mengarahkan anak-anak mereka sesuai agama yang dipeluknya sehingga jadilah anak-anak mereka orang-orang kafir ahli neraka.
Dari sisi lain, bahwa sesungguhnya seorang laki-laki Muslim tetap menghormati dan mengagungkan Nabi Musa dan Isa ‘alaihimassalam, serta mempercayai kerasulan mereka dan mempercayai kitab Taurat dan Injil sebagai kitab-kitab yang diturunkan Allah SWT—sebelum diubah dan dikotori oleh tangan-tangan pemalsunya, dan tentu saja si laki-laki Muslim yang beristrikan wanita Yahudi atau Nasrani tidak akan keyakinannya itu mengganggu perasaan keimanan istrinya yang Yahudi atau Nasrani itu. Hal ini berbeda sekali situasinya jika si laki-lakinya Yahudi atau Nasrani sedang istrinya perempuan Muslimah, dimana sang suami tidak mempercayai kitab suci Al-Qur’an dan tidak mempercayai kerasulan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hal itu tentu akan mengganggu perasaan istrinya yang Muslimah itu serta secara tidak langsungmerupakan penghinaan atas keimanannya kepada agamanya.
Saya (Muhammad Ali As-Shabuni) pernah ditanya seorang mahasiswa non muslim, yang saat itu saya sedang menyampaikan kuliah agama di Kota Allepo: “Mengapa laki-laki muslim boleh menikahi perempuan Nasrani, sedangkan laki-laki Nasrani tidak boleh menikahi perempuan Muslimah?”
Pertanyaan ini bermaksud menyindir kaum Muslimin, bahwa mereka adalah ta’ashub (fanatik). Lalu saya jawab: “Kami, kaum Muslimin mengimani Nabimu dan kitabmu, Injil. Maka jika kamu mengimani Nabi kami dan kitab kami, tentu kami akan menikahkan kamu dengan putri-putri kami. Maka siapakah yang ta’ashub (fanatik) diantara kita ini?” Maka menjadi bingunglah orang yang kafir itu.
(Dikutip dari: Rawai’ul Bayan Tafsiru Ayatil Ahkam Minal Qur’an, Syaikh M. Ali As-Shabuni)