Para pejabat AS mengatakan kepada Reuters bahwa pemerintahan Presiden AS Joe Biden telah secara resmi menyimpulkan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap minoritas Muslim Rohingya adalah genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, sebuah langkah yang menurut para pendukungnya perlu ditingkatkan upaya-upaya untuk menekan junta militer yang sekarang memerintah Myanmar.
Para pejabat AS mengatakan bahwa Menteri Luar Negeri Anthony Blinken akan mengumumkan keputusan tersebut hari ini, Senin (21/02/22) di Museum Peringatan Holocaust di Washington, yang saat ini menjadi tempat pameran tentang penderitaan Rohingya.
Rencana pengumuman ini terjadi hampir 14 bulan setelah Biden menjabat dan berjanji akan meninjau kembali kekerasan tersebut.
Angkatan bersenjata Myanmar melancarkan operasi militer pada tahun 2017, memaksa setidaknya 730.000 Rohingya, yang mayoritas adalah Muslim, meninggalkan rumah mereka ke negara tetangga Bangladesh, dimana mereka menyampaikan tentang adanya pembunuhan, pemerkosaan berjama’ah, dan pembakaran.
Pada tahun 2021, tentara Myanmar merebut kekuasaan melalui kudeta.
Para pejabat AS dan firma hukum luar negeri sebenarnya telah mengumpulkan bukti sebagai upaya untuk segera mengakui sadisnya kekejaman militer Myanmar, namun Menteri Luar Negeri AS saat itu Mike Pompeo menolak untuk membuat keputusan.
Para pejabat AS yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan kepada Reuters bahwa Blinken telah memerintahkan “analisis hukum dan faktual” khusus, yang menyimpulkan bahwa militer Myanmar telah melakukan genosida.
Washington percaya bahwa keputusan resmi akan meningkatkan tekanan internasional untuk meminta pertanggungjawaban Dewan Militer.
“Ini akan membuat lebih sulit bagi mereka untuk melakukan lebih banyak pelecehan,” kata seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri.
Pejabat di kedutaan Myanmar di Washington dan juru bicara dewan militer tidak segera menanggapi email yang meminta komentar mereka pada hari Minggu.
Militer Myanmar telah membantah melakukan genosida terhadap Rohingya, yang kehilangan kewarganegaraan Myanmar, dan mengklaim telah melakukan operasi terhadap “teroris” pada tahun 2017.
Sebuah misi pencari fakta PBB menyimpulkan pada 2018 bahwa telah terjadi kampanye militer termasuk “tindakan genosida,” tetapi Washington pada saat itu menyebut kekejaman itu sebagai “pembersihan etnis,” sebuah istilah yang tidak memiliki definisi hukum di bawah hukum pidana internasional.
Sumber: TRT Arabic.