Oleh: Taufik M. Njong
Ramadhan tahun ini bisa jadi akan menjadi titik balik kembalinya gerakan Islam dalam kancah perpolitikan Sudan yang sedang mengalami krisis, terutama pasca dibubarkannya pemerintahan sipil yang dipimpin PM Abdella Hamdouk (pemerintahan transisi paruh kedua) oleh militer pada Oktober tahun lalu.
Sejumlah media mengabarkan bahwa pada hari Senin (18/04/22), 10 fraksi gerakan Islam berkumpul dalam sebuah acara buka puasa bersama di Khartoum dalam rangka memperingati peristiwa perang badar dimana pertemuan itu menghasilkan kesepakatan untuk membentuk sebuah aliansi bersama yang diberi nama At-Tayyar Al-Islamy Al-‘Ariidh.
Sementara itu, sebagaimana diberitakan Al-Jazeera, Selasa kemarin netizen Sudan dihebohkan oleh sejumlah foto dan video yang memperlihatkan mantan presiden Omar Al-Basyir berkunjung ke sebuah Rumah Sakit (Aliaa Specialist Hospital) di Omdurman. Padahal, mantan presiden Sudan yang didakwa oleh Mahkamah Pidana Internasional/International Criminal Court (ICC) atas kejahatan perang di Darfur itu harusnya sudah diserahkan ke ICC untuk diadili sesuai dengan keputusan pengadilan Sudan pada Agustus tahun lalu.
***
Perselisihan antara gerakan Islam di Sudan adalah perselisihan lama sejak At-Turabi menolak untuk tunduk di bawah Tanzhim ‘Alamy Ikhwanul Muslimin. Beberapa pendapat At-Turabi yang dianggap ‘nyeleneh’ kemudian membuatnya semakin disudutkan bahkan dikafirkan oleh sesama tokoh gerakan Islam sendiri. Puncaknya, At-Turabi kemudian berselisih dengan Omar Al-Basyir dan Basyir pun membubarkan parlemen.
4 Ramadhan tahun 1999 adalah hari bersejarah ketika kelompok islamis Sudan (yang sepuluh tahun sebelumnya bersama-sama mengkudeta pemerintahan Shadiq Al-Mahdi yang dipilih demokratis) kembali terbelah (setidaknya) menjadi dua kubu. Kubu pemerintah dan kubu oposisi.
Konflik internal antara gerakan Islam dan banyaknya tokoh militer (non islamis) yang merapat dan ‘diamankan’ oleh Basyir dalam pemerintahannya disinyalir mengakibatkan sebagian agenda-agenda kelompok islamis dan rahasia negara bocor serta makin memperparah korupsi di negara Afrika yang di embargo AS dan dunia internasional itu. Oktober 2012, pabrik senjata Yarmouk di selatan Ibukota Khartoum yang disinyalir kuat memasok senjata melalui rute darat melewati Mesir (era Mursi) ke para pejuang Hamas dibombardir oleh drone Israel.
Ketika Basyir ‘tumbang’ pada April 2019, pemerintahan transisi meluluskan UU ‘Tafkik Nidzam Inqadz (undang-undang pembongkaran/pembubaran rezim Inqaz/rezim Basyir). Tim pembubaran rezim Inqadz ini tidak hanya menyasar anasir-anasir National Congress Party (NCP) yang merupakan partainya Omar Al-Basyir, tapi juga menyasar hampir semua gerakan Islam lain termasuk Ikhwanul Muslimin. Kantor-kantor mereka ditutup, dirusak dan dibakar serta aset-asetnya disita dan para tokohnya dijebloskan ke penjara. Gerakan Islam yang sebelumnya saling berselisih mendadak menyadari bahwa ketika non islamis berkuasa, mereka tidak membedakan antara National Congress Party (NCP), Popular Congress Party (PCP/Partai At-Turabi), Ikhwanul Muslimin dan lain-lain. Semua harus dihabisi.
4 Ramadhan tahun lalu, kelompok Islamis yang bercerai berai kembali melakukan konsolidasi melalui acara buka puasa bersama di As-Sahah Al-Khadra’ (Green Yard) yang oleh demonstran Anti-Basyir namanya dirubah menjadi Freedom Yard. Buka puasa bersama tersebut dijadwalkan kembali digelar lebih besar pada 17 ramadhan tahun itu bertepatan dengan peringatan peristiwa perang badar al-kubra, namun dihalangi oleh pemerintahan transisi.
Dan 17 Ramadhan tahun ini (18/04/22), setelah pemerintahan transisi PM Hamdouk dijatuhkan oleh militer, gerakan Islam kembali menggeliat dan membentuk aliansi baru dengan nama At-Tayyar Al-Islamy Al-‘Aridh serta menandatangani beberapa kesepakatan bersama. 10 fraksi yang ikut membentuk aliansi tersebut terdiri dari: Ikhwanul Muslimin (Tanzhim ‘Alamy), Ikhwanul Muslimin Fis Sudan, Mimbar As-Salam Al-‘Adil, Al-Harakah Al-Islamiyah As-Sudaniyah, Tayyar An-Nahdhah, Hizb Daulah Al-Qanun Wa At-Tanmiyah, Harakah Al-Mustaqbal Li Al-Ishlah Wa At-Tanmiyah, Harakah Al-Ishlah Al-Aan, Hizb Al-Adalah Al-Qaumy, dan Mubadarah Wihdah As-Shaf Al-Islamy.
Dalam kesepakatan tersebut, ditegaskan diantaranya bahwa “Persatuan gerakan Islam adalah sebuah kewajiban syar’i dan keharusan realitas ditengah ancaman serius yang berupaya menyerang identitas dan prinsip-prinsip luhur negara kita.” Hassan Rizq, wakil ketua Harakah Al-Ishlah Al-Aan juga menyeru “agar semua gerakan Islam di seluruh dunia untuk bersatu sebagaimana kami telah bersatu.”
***
Kurang lebih setahun lalu, saya pernah mengatakan kepada sesama alumni Sudan bahwa jika militer Sudan menolak menyerahkan mantan presiden Omar Al-Basyir ke ICC untuk diadili atas dakwaan kejahatan perang di Darfur, patut diduga bahwa militer Sudan masih loyal kepada Basyir atau setidaknya mereka masih respect dan menghargai mantan presiden dari militer tersebut agar jika harus diadili, Basyir harus diadili didalam negeri dengan alasan kedaulatan negara dan prinsip-prinsip luhur bangsa.
Dugaan tersebut bukan tanpa dasar, pasalnya, Mohamed Hamdan Dagalo atau yang sering dipanggil Hemedti yang menjabat sebagai wakil ketua dewan militer transisi sejatinya adalah orang kepercayaan Basyir dan komandan milisi Janjaweed yang melakukan ‘pembantaian’ di Darfur. Hemedti dan milisi Janjaweed kemudian direstrukturisasi menjadi Pasukan Ad-Da’m As-Sari’ (Dukungan Cepat) yang diakui resmi sebagai bagian dari militer Sudan. Pasukan ini juga paling bertanggungjawab dalam Khartoum massacre 3 Juni 2019 yang menewaskan lebih dari 150 demonstran. Jika Basyir harus diadili di ICC, Hemedti dan milisinya harusnya juga mesti diadili (hal yang tak akan dilakukan oleh militer Sudan).
Banyak rakyat Sudan dan demonstran saat ini tidak percaya pada militer dan gerakan Islam dan konflik antara keduanya. Tahun 1989, ketika Omar Al-Basyir mengkudeta pemerintahan Shadiq Al-Mahdi, Basyir kemudian menjebloskan At-Turabi kedalam penjara agar mendapatkan pengakuan internasional atas kudetanya dan bahwa kudeta tersebut bukan didalangi oleh gerakan Islam. Di kemudian hari, At-Turabi dibebaskan dan diketahui bahwa At-Turabi ternyata adalah otak yang mendesain kudeta tersebut dan pemenjaraan At-Turabi hanya sandiwara belaka. Bahkan, ada kecurigaan di sebagian rakyat Sudan bahwa ‘normalisasi’ (pemerintahan transisi yang dikuasai militer) dengan Israel bisa jadi adalah trik dari militer untuk mengelabui publik.
Dikudetanya PM Abdalla Hamdouk oleh militer pada Oktober tahun lalu dan semakin terbukanya ruang gerak kelompok islamis di Sudan disinyalir memang masih ada hubungan antara (sebagian) militer dan gerakan Islam di Sudan yang pernah memerintah selama 30 tahun. Idealnya, Sudan memang diperintah oleh pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis oleh rakyat dibawah penjagaan militer dan jauh dari korupsi. Sekitar 85% BUMN Sudan saat ini dikuasai oleh para petinggi militer. Membiarkan kekuasaan kembali ketangan militer secara penuh dimana gerakan Islam hanya menjadi bagian pelengkap pemerintahan akan kembali membuat Sudan terperosok dalam kemiskinan dan embargo internasional dan gerakan Islam juga akan menanggung getah kebobrokan tersebut serta menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap gerakan Islam di Sudan.
Wallahu A’lam.