Mantan Deputi Hubungan Internasional Ikhwanul Muslimin, Youssef Nada menegaskan bahwa pintu Ikhwanul Muslimin terbuka untuk berdialog dan berjabat tangan dengan rezim Mesir, setelah “radd al-mazhalim atau pengembalian hak-hak Ikhwan yang dirampas oleh rezim secara zhalim (tanpa merinci maksud dari radd al-mazhalim tersebut). Nada juga kembali menyerukan untuk diaktifkannya kembali Pasal 241 Konstitusi Mesir tentang penerbitan undang-undang keadilan transisi.
Dalam sebuah surat khusus yang salinannya diterima Arabi 21, Nada mengatakan bahwa: “Kami, Ikhwanul Muslimin, belajar dari Kitab Allah tentang kisah dua putra Adam, bagaimana salah satu dari mereka melanggar aturan persaudaraan dan pergi untuk kembali menanggung dosanya dan dosa saudaranya, lalu dia pun membunuhnya. Adapun saudaranya yang lain, dia berkata kepadanya sebelum dia dibunuh: {Jika kamu mengulurkan tanganmu untuk membunuhku, aku tidak akan mengulurkan tanganku untuk membunuhmu, sesungguhnya aku takut kepada Tuhan semesta alam.} (Q.S Al-Maidah ayat 28)
Dia menambahkan: “Mesir kita tercinta melewati tahun-tahun di mana kebaikan dan kejahatan telah bercampur aduk, generasi kita tersesat meraba-raba jalan menuju masa depan yang lebih baik.”
Nada melanjutkan: “Darah kami memang belum mengering bahkan masih menetes, meskipun demikian, kami takkan membiarkan setan-setan yang licik meyakinkan kami untuk menempuh jalannya Qabil, jalan balas dendam. Semua basis-basis kami sepakat untuk terus mengulangi seruan ( Sesungguhnya aku takut kepada Tuhan Semesta Alam.} (Q.S Al-Maidah ayat 28). Atas dasar inilah pemikiran jama’ah berjalan sebagaimana yang diungkapkan Mursyid ‘Am IM, Dr. Muhammad Badi’ yang selalu menyuarakan “bahwa suara damai kami lebih kuat dari peluru”.
Youssef Nada juga menambahkan, “Inilah halaman sejarah Mesir kita tercinta yang belum diubah, jadi bisakah kita mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih jernih dan lebih murni, dinaungi oleh toleransi dan pemaafan? Bisakah kita memulai berjalan dengan mengembalikan hak-hak mereka yang terzalimi, kita menghentikan permusuhan, kita mengakhiri penderitaan wanita dan pria yang dipenjara serta penderitaan keluarga mereka dengan menerapkan apa yang diatur dalam Pasal 241 konstitusi Mesir saat ini? “.
Pasal 241 dari konstitusi Mesir menegaskan bahwa: “Dewan Perwakilan Rakyat dalam sidang pertamanya setelah berlakunya undang-undang ini, wajib menerbitkan undang-undang keadilan transisi yang menjamin pengungkapan kebenaran, akuntabilitas, prinsip-prinsip kerangka rekonsiliasi nasional, dan ganti rugi atas korban, sesuai dengan standar internasional.” Namun, sayangnya pasal ini belum diaktifkan dalam bentuk apapun.
Youssef Nada berkata: “As-Sisi sendiri telah menyatakan apa yang kami bawa dan serukan adalah sebuah pemikiran yang telah bertahan selama sembilan puluh tahun (meskipun ia tidak mendukungnya atau tidak puas dengannya). Dan sejatinya pemikiran tidak bisa dihilangkan dengan pembunuhan atau penolakan, tetapi oleh pemikiran lain yang lebih baik darinya, lebih bijaksana atau lebih dekat dengan llogika”
“Penyebaran pemikiran kami selama sembilan puluh tahun, seperti yang disebutkan (Al-Sisi), meskipun diperangi sedemikian rupa baik dari dekat dan jauh adalah bukti terbaik dari kemampuannya untuk meyakinkan bangsa ini bahwa jamaah ini mewakili kebaikannya dan mampu mengembalikan kejayaannya sekali lagi.” Tambah Nada.
Nada menambahkan, “Saya akan terus mengatakan bahwa pintu kami terbuka untuk dialog dan berjabat tangan setelah hak-hak yang dirampas secara zalim dikembalikan. “
Presiden Mesir telah menyerukan dalam sebuah acara buka puasa bersama beberapa hari yang lalu, untuk meluncurkan dialog antara semua kekuatan politik “tanpa diskriminasi atau pengecualian”. Seruan tersebut merupakan yang pertama sejak ia berkuasa di musim panas 2014, lalu ia mengumumkan pengaktifan kembali kerja komite pengampunan presiden yang dibentuk akhir 2016.
Perlu dicatat bahwa sebelumnya Youssef Nada pernah mengumumkan pada tanggal 14 September 2021, dalam sebuah pesan berjudul “Mesir ke Mana?” bahwa pintu dialog dan rekonsiliasi terbuka dengan rezim tanpa prasyarat. Hal tersebut ia sampaikan sebagai tanggapan atas pernyataan yang dibuat oleh Al-Sisi saat itu terkait sikapnya dengan organisasi Ikhwanul muslimin.
Al-Sisi mengatakan pada saat itu bahwa dia tidak anti dengan ideologi yang telah mewarnai masyarakat Mesir selama 90 tahun, namun dengan syarat ideologi tersebut “menghormati jalan saya, tidak berkonfrontasi dengan saya, dan tidak menargetkan saya.” Ungkapnya menyindir jama’ah Ikhwanul muslimin. Sebuah pemikiran, saya mungkin akan menerimanya, tetapi itu tidak bisa dipaksakan kepada saya, saya bukan sebagai pribadi, tapi sebagai negarawan.”
Sejak kudeta 3 Juli 2013 hingga sekarang, banyak inisiatif rekonsiliasi politik telah diajukan oleh berbagai individu dan kekuatan-kekuatan politik baik di dalam dan luar negeri, untuk mencoba mengakhiri krisis yang sedang dialami negara Mesir, namun semua inisiatif tersebut berakhir dengan kegagalan.
Turki yang dekat dengan Ikhwanul muslimin saat ini juga sedang mencoba memperbaiki hubungannya dengan Mesir setelah sebelumnya dengan UEA dan Arab Saudi. Jika rekonsiliasi ini sukses, tidak tertutup kemungkinan dialog antara Ikhwanul Muslimin dan rezim Mesir saat ini juga bisa dibangun kembali.
Sumber: Arabi21