Oleh: Memed Sosiawan (Ketua Komisi Kebijakan Publik MPP PKS)
Setelah pecahnya perang Ukraina – Rusia sejak februari 2022, selain terjadi kelangkaan sumber daya energi juga terjadi kelangkaan bahan pangan, diantaranya adalah minyak nabati. Karena negara-negara kawasan Laut Hitam menyumbang 60% produksi minyak bunga matahari dunia dan 76% ekspor minyak bunga matahari. Sedangkan Indonesia (56%) dan Malaysia (31%) menyumbang sebagian besar pengiriman minyak sawit, total sekitar 87% ekspor minyak sawit global. Argentina, Brasil, dan Amerika Serikat adalah pemasok utama minyak kedelai. Akan ada kekurangan pasokan minyak nabati di pasar global. Tidak ada cara pintas untuk meningkatkan pasokan minyak nabati secara cepat. Gangguan akibat konflik telah memperburuk kenaikan harga komoditas pangan, yang sudah mencapai level tertinggi 10 tahun dalam indeks Organisasi Pangan dan Pertanian, serta mengancam terjadinya lonjakan kekurangan gizi global.
Kekurangan pasokan minyak nabati dari bunga matahari mendorong kenaikan harga minyak nabati lainnya dari sawit (palm oil) dan dari kedelai. Menurut tradingeconomic.com, harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) pada 20 desember 2021 masih MYR (Ringgit Malaysia) 4.295 per ton, setelah invasi Rusia ke Ukraina harga minyak sawit melonjak hampir 70% menjadi MYR 7.074 per ton pada 9 maret 2022. Harga minyak sawit sempat turun sebentar pada bulan awal april dan kembali melonjak menjadi MYR 6.987 per ton pada 27 april 2022. Setelah pemerintah Indonesia melarang ekspor produk sawit dan turunannya sejak 28 april 2022, maka pada 29 april 2022 harga minyak sawit naik lebih tinggi menjadi MYR 7.104 per ton.
Minyak sawit adalah minyak nabati yang paling banyak digunakan, namun minyak sawit selain sebagai bahan pangan juga digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Indonesia dan Malaysia mewajibkan biodiesel untuk dicampur dengan minyak sawit dalam jumlah tertentu (masing-masing 30% dan 20%) dan bulan lalu menyatakan tetap berkomitmen pada mandat biodesel B30 dan B20 tersebut, meskipun harga sawit global menjadi lebih tinggi. Indonesia menyumbang 56% dan Malaysia menyumbang 31% dari pasokan minyak sawit global. Negara-negara lain juga membuat biofuel dari lemak hewani dan minyak nabati seperti jagung dan kedelai, serta memberlakukan mandat. Permintaan untuk biofuel tersebut telah meningkat sebagai upaya mitigasi perubahan iklim.
Saat ini harga biodiesel pasar internasional lebih tinggi dibandingkan harga pasar domestik. Kendati demikian, pelaku usaha tetap memilih untuk mengimplementasikan mandatori B30. Menurut Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Paulus Tjakrawan, harga biodiesel di pasar internasional mencapai USD1.790 per ton. Harga ekspor biodiesel CIF Rotterdam termasuk biaya pengapalan dan asuransi telah mencapai USD1.790 per ton atau lebih tinggi dibandingkan harga di dalam negeri. Terdapat selisih USD200 per ton dengan harga domestik USD1.500 per ton atau sekitar Rp15.599 per liter. Indonesia berkomitmen mengakselerasi transisi energi bersih melalui kebijakan biodiesel untuk meraih net zero emission. Komitmen menggunakan minyak sawit sebagai bahan dasar biofuel akan mendukung Indonesia mencapai target keamanan energi dan bauran energi sebesar 23% pada tahun 2025.
Dengan tingginya harga minyak sawit dan turunannya, diantaranya juga harga biodiesel di pasar global, maka pelaku usaha minyak sawit akan lebih mementingkan untuk memenuhi kebutuhan pasokan kepada pasar global yang akan memberikan keuntungan berlipat ganda daripada harus memenuhi kewajibannya kepada pasar domestik misalnya dalam bentuk pemenuhan kewajiban Domestic Market Obligation (DMO). Maka tidak mengherankan bahwa Indonesia sebagai produsen terbesar minyak sawit dunia juga mengalami kelangkaan minyak goreng sehingga harga minyak goreng melambung tinggi diluar jangkauan daya beli (affordability) masyarakat. Kasus kelangkaan minyak goreng ini mirip dengan adanya kelangkaan batubara di Indonesia sebagai negara penghasil batubara terbesar ketiga di dunia, bahwa adanya kemungkinan terjadinya pemadaman listrik terhadap 10 juta pelanggan (pribadi dan korporasi) karena kurangnya ketersediaan batubara untuk pembangkit Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Perusahaan Listrik Swasta (Independent Power Producer – IPP) pada awal tahun 2022 lalu.
Kelangkaan bahan pokok kebutuhan pangan atau kebutuhan energi seperti itu, pada awal reformasi para pelakunya dapat dituntut dengan sanksi pidana karena melakukan ‘sabotase ekonomi’, yang termasuk dalam tindakan kejahatan terhadap keamanan negara sebagaimana disebutkan dalam pasal 107f ayat (b) UU No. 27 Tahun 1999. UU No. 27 Tahun 1999 adalah UU tentang Perubahan Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara yang merupakan warisan pemerintahan BJ. Habibie dan DPR saat itu. UU tersebut pada Pasal 107f meyatakan bahwa: ‘Dipidana karena sabotase dengan pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 (dua puluh) tahun, ayat (b) barangsiapa yang secara melawan hukum menghalangi atau menggagalkan pengadaan atau distribusi bahan pokok yang menguasai hajat hidup orang banyak sesuai dengan kebijakan Pemerintah’.
Setelah berlaku selama delapan tahun, pada masa pemerintahan SBY-JK tahun 2007, UU No. 27 tahun 1999 tentang Perubahan Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara dicabut melalui pasal 65 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Undang-undang baru tersebut adalah sebuah undang-undang yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan klausul ‘sabotase ekonomi’ atau tindakan yang mengarah kepada kejahatan terhadap keamanan negara. Undang-undang baru tersebut menandai lemahnya negara dalam melawan oligarki yang diduga melakukan ‘sabotase ekonomi’ sehingga merugikan kepentingan masyarakat luas dan selanjutnya dapat membahayakan keamanan negara. Dengan dicabutnya UU No. 27 Tahun 1999 tersebut pada tahun 2007 maka dapat dikatakan bahwa sejak saat itu negara tidak dapat memastikan perlindungan undang-undang terhadap jaminan pasokan pengadaan atau distribusi bahan pokok yang menguasai hajat hidup orang banyak ke seluruh wilayah Indonesia.
Jadi kelangkaan dan mahalnya minyak goreng sebelum Lebaran bukan sekedar sesederhana masalah ibu-ibu rumah tangga yang antri membeli minyak goreng karena tidak punya kerjaan dan tidak bisa memasak rebusan atau panggang tanpa minyak goreng. Tapi kelangkaan dan mahalnya minyak goreng di negara produsen minyak sawit terbesar di dunia ini terjadi karena ketidak-mampuan negara memastikan jaminan pengadaan dan distribusi minyak goreng yang menguasai hajat hidup orang banyak dengan harga terjangkau ke seluruh wilayah Indonesia.
Dengan demikian pada masa pemerintahan JKW-MA saat ini, pelaku usaha yang diduga menyebabkan terjadinya kelangkaan bahan pokok baik pangan (minyak goreng) atau energi (batubara) di Indonesia, sehingga harganya kemudian melambung diluar jangkauan daya beli masyarakat (kasus minyak goreng) atau korporasi (kasus batubara), hanya dapat dituntut dengan sanksi yang sifatnya administrasi atau sanksi bersifat perdata lainnya seperti pemenuhan kewajiban DMO, kenaikan pungutan ekspor, larangan sementara (moratorium) ekspor, kenaikan Pajak dan lain-lain, tanpa adanya tuntutan dengan sanksi pidana.
Indonesia memproduksi hampir 60% minyak sawit dunia, dengan sepertiganya (20%) dikonsumsi oleh pasar domestik untuk bahan pangan dan bahan biodiesel. India, China, Uni Eropa dan Pakistan termasuk di antara pelanggan utama minyak sawit Indonesia. Dalam kasus kelangkaan minyak goreng, Indonesia sebagai produsen dan pengekspor minyak nabati utama dunia, akhirnya pada Jumat (22/4/2022) mengirimkan pesan kejutan ke pasar global ketika mengumumkan akan memberlakukan larangan sementara (moratorium) ekspor mulai Kamis (28/4/2022). Pemerintah Indonesia melarang semua ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng, larangan itu termasuk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO), red palm oil (RPO), RBD Palm Olein, POME dan minyak jelantah (Used Cooking Oil). Larangan itu akan tetap berlaku sampai harga minyak goreng curah turun menjadi Rp 14.000 per liter.
Disisi lain pemerintah sudah harus mulai memikirkan dan pada saatnya harus memilih penggunaan minyak sawit untuk prioritas pangan atau untuk prioritas energi (biodiesel). Negara pengekspor dan negara pengimpor juga harus memiliki prioritas yang benar dalam kondisi kelangkaan minyak nabati ini. Sekarang saatnya untuk mempertimbangkan kembali prioritas pangan versus bahan bakar untuk sementara. Sangat penting bagi negara-negara untuk memastikan minyak dan lemak yang tersedia digunakan untuk makanan sebagai kebutuhan primer dan menghentikan sementara atau mengurangi mandat biodiesel, kemudian negara-negara tersebut dapat melanjutkan mandat biodiesel setelah pasokan minyak nabati global kembali normal (Depok, 4 Mei 2022).