(Diringkas dari Ghairul Muslimin fil Mujtama’ Al-Islami, karangan DR. Yusuf Qaradhawi)
Pendahuluan
Masyarakat muslim adalah masyarakat yang bertumpu di atas akidah dan ideologi yang khas. Mereka menjadikan Islam sebagai konsep hidupnya, konstitusi pemerintahannya, sumber hukumnya serta penentu arahnya, dalam semua urusan kehidupan dan hubungan-hubungannya secara individual dan komunal, material dan spiritual serta nasional dan internasional.
Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa masyarakat Islam memvonis mati segala unsur lain di dalamnya yang kebetulan memeluk agama selain Islam. Hubungan antara sesama warga negara, yang muslim dan yang bukan, sepenuhnya ditegakkan atas asas-asas toleransi, keadilan, kebajikan, dan kasih sayang.
Hubungan dengan Orang-orang Non-Muslim
Landasan hubungan dengan orang-orang non-Muslim ialah firman Allah SWT,
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8-9)
Demikianlah, setiap muslim dituntut agar memperlakukan semua manusia dengan kebajikan dan keadilan, walaupun mereka itu tidak mengakui Islam, selama mereka itu tidak menghalangi penyebarannya, tidak memerangi penyerunya dan tidak menindas para pemeluknya.
Kedudukan Khusus Ahlul Kitab
Orang-orang Ahlul Kitab memiliki kedudukan khusus yang tidak dimiliki oleh orang-orang non-Muslim selain mereka, dalam perlakuan umum maupun penentuan hukum.
Yang dimaksud Ahlul kitab ialah mereka yang agamanya pada mulanya berdasarkan Kitab Samawi meskipun kemudian mengalami perusakan dan penggantian, seperti kaum Yahudi dan Nasrani yang agama mereka berdasarkan Taurat dan Injil.
- Al-Qur’an melarang perdebatan dan perbantahan dengan mereka tentang agama mereka kecuali dengan cara yang sebaik-baiknya, sehingga tidak menyebabkan panasnya hati dan tidak pula mengobarkan api ashabiyah (fanatisme) dan kebencian.
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang dzalim di antara mereka, dan katakanlah: ‘Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri’.” (QS. Al-Ankabut, 29: 46)
- Islam membolehkan makan bersama-sama Ahlul Kitab dan makan daging sembelihan mereka, sebagaimana Islam juga membolehkan terjadinya hubungan semenda (periparan) dengan mereka serta mengawini wanita-wanita mereka yang sopan dan menjaga kehormatannya, sedangkan Al-Qur’an menetapkan tegaknya perkawinan atas dasar cinta dan kasih sayang. Hal ini merupakan toleransi amat besar bagi agama Islam; membolehkan seorang non-Muslim menjadi ratu rumah tangga seorang Muslim, sekutu dalam hidupnya, dan ibu putra-putrinya, di samping menjadikan paman-paman dan bibi-bibi anaknya itu dari non-Muslim pula. Firman Allah SWT,
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. Al-Maidah, 5: 5)[1]
Hukum yang berkaitan dengan Ahlul Kitab ini tetap berlaku walaupun mereka berdiam di luar negeri Islam. Adapun mereka yang menjadi warga negara dan berdiam di negeri Islam, mereka ini memiliki kedudukan dan hak perlakuan yang khusus. Mereka disebut Ahludz Dzimah.
(Bersambung)
Catatan Kaki:
[1] Allah mendahulukan penyebutan wanita mukminah karena dia lebih layak dan lebih utama untuk dinikahi (red.)