Sudah selayaknya bagi umat Islam—terlebih lagi aktivis dakwah—menjadikan hidupnya sebagai ‘prajurit’ yang senantiasa siap menghadapi perjuangan di jalan Allah. Sejarah umat Islam adalah sejarah perjuangan yang terus-menerus berkesinambungan dalam menjunjung tinggi kebenaran agama Allah SWT dan menjaga kelestarian dakwahnya, serta menjauhi segala godaan dunia lahir dan batin.
Karakter al-jundiyah diantaranya termanifestasikan dalam bentuk amal yang berkesinambungan tanpa lelah dan tanpa bosan.
Karakter keprajuritan yang lainnya adalah senantiasa berkobarnya ruhul jihad (semangat jihad). Urutan jihad yang pertama dituntut dari mereka adalah pengingkaran hati terhadap kemaksiatan pada Allah, dan puncaknya adalah berperang di jalan Allah Ta’ala. Diantara keduanya ada jihad dengan lisan, pena, tangan, dan kata-kata yang benar di hadapan penguasa yang zalim.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Hajj, 22: 78)
Ibnu Abbas ra berkata tentang pengertian jihad, “Jihad adalah menguras potensi dalam membela agama Allah, dan tidak takut cercaan orang yang mencerca dalam melaksanakan agama Allah.”
Muqatil berkata, “Makna jihad adalah: Bekerjalah untuk Allah dengan sebenar-benar kerja, dan beribadahlah dengan sebenar-benar ibadah.”
Ibnul Mubarak berkata,“Jihad adalah mujahadah terhadap jiwa dan hawa nafsu.”
Sa’id Ramadhan Al-Buthi berkata,“Jihad adalah mencurahkan potensi dalam rangka meninggikan kalimat Allah, dan membentuk masyarakat muslim. Sedangkan mencurahkan tenaga dengan melakukan perang adalah salah satu jenis dari jihad. Tujuan jihad adalah membentuk masyarakat yang islami, dan membentuk negara Islam yang benar.”
Sifat keprajuritan ditunjukkan pula dengan at-tadhiyah, yakni mengorbankan jiwa, harta, waktu, kehidupan, dan segala-galanya demi mencapai tujuan. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS. At-Taubah, 9: 111)
Berikutnya ditunjukkan pula dengan ketaatan kepada qiyadah (pemimpin perjuangan). Karena itu para aktivis dakwah harus senantiasa siap melaksanakan perintah qiyadah dan merealisir dengan segera, baik dalam keadaan sulit maupun mudah, saat bersemangat maupun malas.
Seorang mujahid dakwah sejati akan senantiasa tsabat, yakni teguh beramal sebagai mujahid dalam memperjuangkan tujuannya, betapa pun jauh jangkauan dan lama waktunya. Ia tetap dalam keadaan seperti itu sampai bertemu Allah Ta’ala.
Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya), (QS. Al-Ahzab, 33: 23)
Selain itu, sebagai prajurit dakwah mereka akan selalu bersungguh-sungguh pada suatu urusan. Ia tidak merasa berat mempersembahkan jiwa di jalan Allah ta’ala dan mengatur segala urusannya serta seluruh kehidupannya sejalan dengan hukum-hukum dan perintah-perintah Allah ta’ala. Para aktivis dakwah harus mampu menegakkan al-haq di dalam jiwa, nurani, dan kehidupan mereka, dalam bentuk aqidah, akhlak, ibadah, dan perilaku sehari-hari. Hasan Hudhaibi berkata: “Wahai Ikhwan, tegakkanlah Islam di dalam hatimu, tentu ia akan tegak di bumimu.”
Sifat keprajuritan yang tak kalah penting adalah tsiqah, yakni rasa puasnya seorang prajurit atas komandannya dalam hal kemampuan dan keikhlasannya, dengan kepuasan mendalam yang menumbuhkan rasa cinta, penghargaan, penghormatan, dan ketaatan.
(Bersambung)