Rakyat Irak masih menunggu para politisinya membentuk pemerintahan sejak pemilihan parlemen berlangsung di negara itu. Sudah hampir 8 bulan, dimana para elit politiknya masih tidak dapat menemukan kesepakatan.
Pemimpin agama Syiah Muqtada al-Sadr, yang Gerakan Sadrnya muncul sebagai partai terbesar dalam pemilihan Oktober lalu, dengan 73 dari 329 kursi, telah berupaya untuk mencoba membentuk koalisi, namun masih belum berhasil.
Dalam langkahnya itu, al-Sadr terhambat oleh blok saingan yang didukung Iran, Aliansi Kerangka Kerja Koordinasi (CFA), yang merupakan payung politik bagi sebagian besar milisi Pasukan Mobilisasi Populer Syiah.
CFA telah beberapa kali memboikot suara parlemen untuk presiden yang baru, dengan alasan bahwa terlebih dahulu diperlukan kesepakatan antara para Sadris dan CFA terkait siapa yang akan dicalonkan untuk presiden.
Hal ini menyebabkan al-Sadr pada 4 Mei memutuskan untuk meminta para anggota parlemen independen untuk bergabung dengan aliansinya, yang mereka sebut “Menyelamatkan Tanah Air,” setelah ultimatum 40 hari yang dia tawarkan kepada CFA untuk membentuk pemerintahan berakhir.
Koalisi baru Al-Sadr terdiri dari Blok Sadris, Aliansi Kedaulatan Sunni (al-Siyada), dan Partai Demokrat Kurdistan (KDP), terhitung mencapai 180 kursi.
Tetapi untuk membentuk pemerintahan, mayoritas dua pertiga suara parlemen atau 220 suara harus terpenuhi untuk memilih presiden negara itu, namun hal itu tidak terjadi karena anggota parlemen memboikot sesi pemungutan suara.
Perbedaan pendapat tentang presiden
Aliansi Penyelamatan Tanah Air telah setuju untuk mencalonkan menteri dalam negeri Pemerintah Daerah Kurdistan Irak, Rebar Ahmed, sebagai presiden, sementara saingannya KDP, Persatuan Patriotik Kurdistan, tetap pada kandidatnya Barham Saleh, presiden saat ini.
Sejumlah menteri di pemerintahan sementara juga telah mengindikasikan bahwa mereka ingin mempertahankan posisi mereka.
“Blok-blok politik utama memiliki kemampuan untuk menemukan solusi atas kebuntuan, tetapi tidak ada keinginan serius untuk melakukannya,” kata Ali al-Baider, seorang pengamat politik Irak. “Opsi untuk membubarkan parlemen tidak serius, karena banyak anggota parlemen mungkin tidak dapat memenangkan kursi yang mereka dapatkan dalam pemilihan terakhir.”
Seruan telah dibuat oleh beberapa politisi untuk membubarkan parlemen dan mengadakan pemilihan ulang. Secara konstitusional, seorang presiden seharusnya dipilih 30 hari setelah pemilihan ketua parlemen pada bulan Januari.
“Seperti biasa, rakyat Irak menjadi pihak yang dirugikan dari proses politik dan pemerintahan sejak invasi AS ke Irak pada 2003,” tambah al-Baider. “Kami (Rakyat Irak) masih membayar beban kegagalan parlemen, dan kami memasuki masa depan yang belum jelas.”
Al-Baider percaya bahwa al-Sadr memiliki kemampuan untuk mengeluarkan parlemen dari kebuntuan saat ini.
“Tidak logis untuk menyelesaikan satu masalah (kebuntuan) dengan membuat masalah lain (membubarkan parlemen),” kata al-Baider. “Bahkan jika parlemen dibubarkan, dan yang baru terpilih, apa jaminan bahwa parlemen berikutnya tidak akan memiliki masalah yang sama?”
Kekecewaan pada politisi Irak saat ini tercermin oleh PBB.
pada 17 Mei perwakilan khusus Sekjen PBB untuk Irak, Jeanine Hennis-Plasschaert, menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa rakyat Irak masih terus menunggu golongan politik yang lebih menyibukan diri memperebutan kekuasaan yang basi daripada mengangkat lengan bajunya untuk membuat kemajuan terhadap daftar panjang permasalahan dalam negeri Irak yang luar biasa”.
Kesepakatan diperlukan
Nisan al-Zayer, seorang anggota parlemen independen yang telah terlibat dalam negosiasi pemerintah yang sedang berlangsung.
Dia mengatakan kepada Al Jazeera bahwa satu-satunya solusi nyata saat ini adalah terjadinya kesepakatan yang kokoh antara elit politik.
“Membubarkan parlemen adalah upaya untuk membawa kekuatan politik utama, serta anggota parlemen independen, ke meja negosiasi,” kata al-Zayer. “Namun, langkah itu tidak realistis karena pemain besar akan menjadi pihak yang paling dirugikan.”
Al-Zayer menyebutkan beberapa solusi yang memungkinkan, diantaranya, al-Sadr melakukan kesepakatan dengan CFA, atau kesepakatan antara dua kekuatan utama Kurdi yaitu KDP dan PUK yang memungkinkan mereka berdua mendukung calon presiden tunggal, yang kemudian diajukan oleh kelompok Sadris atau CFA.
“Skenario apa pun mungkin terjadi,” kata al-Zayer. “Selalu ada kemungkinan kejutan setiap saat.”
Akibat dari partai-partai besar Irak yang tidak dapat menyepakati jalan keluar dari kebekuan politik saat ini, kelompok politik yang lebih kecil menemukan diri mereka dalam posisi yang lebih penting.
Abdulamir al-Mayahi adalah pemimpin salah satu aliansi dari partai kecil, Kontrak Nasional, yang memiliki empat kursi di parlemen.
Dia mengatakan kepada Al Jazeera bahwa politisi perlu mengutamakan rakyat Irak.
“Elite politik harus mempertimbangkan kepentingan rakyat di atas kepentingan mereka sendiri,” kata al-Mayahi.
Irak telah menyaksikan banyak protes selama beberapa tahun terakhir, yaitu ketika kaum muda mengutuk praktik korupsi, kemiskinan, dan cara negara itu dijalankan.
Protes massal yang dimulai pada Oktober 2019 akhirnya berujung pada pengunduran diri perdana menteri Irak sebelumnya, Adil Abdul-Mahdi.
Selalu ada kemungkinan protes seperti itu terjadi lagi.
“Tidak membentuk pemerintahan berarti tidak ada anggaran untuk menyediakan lapangan pekerjaan, pelayanan infrastruktur, dan lain-lain,” kata al-Mayahi. “Musim panas akan datang; kelangkaan air dan listrik akan terjadi lagi kecuali ada pemerintahan baru yang melakukan sesuatu.”
SUMBER : AL JAZEERA