Ahmad bin Muhammad bin Al-Mu’tashim bin Ar-Rasyid. Lahir pada 220 H/835 M dari seorang ummu walad dari Sicilia bernama Makhariq.
Al-Mustain dibaiat menjadi khalifah pada hari wafatnya Al-Muntashir, 5 Rabi’ul Akhir 248 H/11 Juni 862 M, hingga 4 Muharram 252/29 Januari 866 M.
Bagaimana Al-Mustain Terpilih Menjadi Khalifah?
Para panglima Turki berkumpul, diantaranya: Bugha As-Shaghir, Bugha Al-Kabir, Atamusy, dan lain-lain. Mereka bersepakat tidak akan mengangkat anak-anak Al-Mutawakil menjadi khalifah, dan hendak memunculkan khalifah dari anak-anak Al-Mu’tashim, tuan mereka.
Munculah nama Ahmad bin Muhammad bin Al-Mu’tashim. Bugha Al-Kabir sempat tidak setuju, menurutnya mereka harus mengangkat orang yang mereka segani dan mereka hormati; bukan mengangkat orang yang ‘takut’ kepada mereka. Namun akhirnya pilihan tetap jatuh pada Ahmad Al-Mustain bin Muhammad bin Al-Mu’tashim. Ia adalah khalifah pertama dari Bani Abbasiyah yang ayahnya bukan seorang khalifah.
Koruptor di Sekitar Al-Mustain
Khalifah Al-Mustain tidak memiliki kekuatan dan pengaruh. Kalangan tentara Turkilah yang berkuasa dalam pemerintahan. Mereka awalnya menyerahkan jabatan menteri kepada Ahmad bin Al-Khashib. Ketika mereka tidak menyukainya, ia diasingkan dan hartanya disita. Mereka kemudian mengangkat Atamusy, salah seorang panglima Turki.
Yang terjadi selanjutnya, Atamusy bersama Syahak (pelayan Al-Mustain) bebas menggunakan harta khalifah. Selain itu, Makhariq (ibunda Al-Mustain), juga bebas melakukan apa saja tanpa bisa dicegah. Bisa dikatakan, harta-harta yang sampai dari berbagai penjuru negeri kini berada dalam genggaman mereka. Barulah sisa harta yang diambil oleh tiga orang ini diberikan kepada Al-Abbas (putra Al-Mustain). Selain mereka, Dalil bin Ya’qub, seorang petugas administrasi beragama nasrani, juga ikut mencicipi bagian harta ini dengan jumlah yang cukup besar.
Para Panglima Turki melihat keadaan tersebut. Harta negara habis, sementara ekonomi negara semakin sulit. Tokoh panglima Turki lainnya, Washif dan Bugha, memprovokasi masyarakat tentang hal ini hingga menimbulkan gejolak. Maka, pada 12 Rabiul Awwal 249 H/8 Mei 863 M, orang-orang Turki, Farghana, masyarakat Ad-Dur dan Al-Kharaq bergerak memburu Atamusy. Saat itu Atamusy mencoba berlindung kepada Al-Mustain, tapi ia tidak mampu melindunginya. Akhirnya pasukan ini berhasil membunuhnya dan melakukan penjarahan.
Setelah peristiwa itu, Al-Mustain mengangkat Abu Shaleh Abdillah bin Muhammad bin Yazid sebagai menteri. Namun Bugha As-Shaghir tidak menyenanginya. Maka ia melarikan diri ke Baghdad pada bulan Sya’ban 249 H/Oktober 863 M.
Setelah itu diangkatlah Muhammad bin Al-Fadhl Al-Jarjari. Namun Al-Mustain tidak menyebutnya sebagai menteri.
Kaum Alawiyyin
Imam Syiah Imamiyah pada masa Al-Mustain adalah Ali Al-Hadi. Adapun Syiah Zaidiyah melakukan beberapa kali pemberontakan:
- Di Kufah dipimpin oleh Yahya bin Umar bin Yahya bin Husain bin Ali bin Al-Husain pada 13 Rajab 250 H/24 Agustus 864 M, yang menuntut para pejabat memperbaiki urusannya. Pemberontakan ini bisa ditumpas dengan mudah.
- Di Thabaristan dipimpin oleh Al-Hasan bin Zaid bin Muhammad bin Ismail bin Al-Hasan bin Zaid bin Al-Hasan bin Ali, berawal dari urusan penyerobotan tanah oleh pejabat khalifah. Pemberontakan berhasil sehingga berdirilah Daulah Zaidiyah (250 H – 355 H / 864 – 966 M).
Perpecahan di Kalangan Militer
Baghir At-Turky (pembunuh Khlaifah Al-Mutawakil) merencanakan pembunuhan Al-Mustain, Bugha, dan Washif; lalu mengangkat Ali bin Al-Mu’tashim atau Ibnu Al-Watsiq, karena merasa tidak mendapat bagian dari ketiga orang ini.
Setelah pembunuhan kepada Atamusy, Washif dan Bugha bersepakat membunuh Baghir. Setelah Baghir terbunuh, para pendukungnya berontak. Pada 4 Muharram 251 H / 8 Februari 865 M, Washif dan Bugha segera melarikan Khalifah Al-Mustain ke Baghdad.
Al-Mu’taz Dibaiat Menjadi Khalifah
Sejumlah pasukan Turki mengejar Khalifah Al-Mustain dan meminta maaf kepadanya. Salah seorang pemimpin mereka, Baikabak, meminta Al-Mustain pulang ke Samara. Namun, ia menolak secara halus, dan mereka pun kembali dengan marah, lalu bersepakat mengeluarkan Al-Mu’taz dan Al-Muayyad dari penjara, lalu membaiatnya menjadi khalifah dan putra mahkota.
Saat itu, Baghdad dikuasai Khalifah Al-Mustain didukung oleh Muhammad bin Abdillah At-Thahir, sedangkan Samara dikuasai Khalifah Al-Mu’taz.
Khalifah Al-Mu’taz menyiapkan pasukan dan menyerang Baghdad pada akhir Muharram 251 H / Maret 865 M. Terjadilah perang sengit sejak 7 Shafar 251 H / 13 Maret 865 M. Akhirnya Muhammad bin Abdillah At-Thahir menyarankan agar Khalifah Al-Mustain mengajukan perdamaian. Namun, masyarakat Baghdad berontak dan marah kepadanya. Hal ini bisa diredam sementara, selanjutnya masayarakat marah kembali.
Pada bulan Dzulhijjah 251 H / Desember 865 M, mereka berpindah ke rumah Razak sang pembantu. Hal ini bukan berdasar keinginan Al-Mustain.
Pengunduran diri Khalifah Al-Mustain
Muhammad bin Abdillah At-Thahir berikutnya tidak lagi mendukung Khalifah Al-Mustain, karena ia mendapat kabar dari Ubaidillah bin Yahya bin Khaqan bahwa Al-Mustain memerintahkan Washif dan Bugha untuk membunuhnya.
Pada 10 Dzulhijjah 251 H / 5 Januari 866 M, ia menuju Ar-Rushafah dan mengumpulkan para hakim dan ahli fikih, meminta mereka untuk mendatangi Khalifah Al-Mustain secara bergelombang memintanya mengundurkan diri.
Akhirnya Al-Mustain bersedia dengan mengajukan syarat, dan ia dicopot dari jabatannya sebagai khalifah pada 4 Muharram 252 / 29 Januari 866 M.