Dr Kurniasih Mufidayati
(Ketua DPP PKS Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga)
Umat Islam di dunia memperingati Hari Iduladha sebagai bagain syiar hari besar umat Islam. Ada dua ritual besar yang terjadi sebagai bagian ibadah yang tidak lepas dari sejarah.
Pertama umat Islam dari seluruh dunia tengah khusyu menunaikan rukun Islam kelima, ibadah haji di Makkah. Ibadah haji pertama yang dibuka untuk seluruh dunia setelah pandemi Covid-19.
Sementara itu umat Islam di berbagai belahan dunia lainnya, menunaikan ibadah kurban dengan menyembelih hewan kurban dan dibagikan secara merata kepada siapa saja tanpa memandang suku dan agama apalagi kebangsaan.
Dalam dua peristiwa besar ini ada laku sejarah di dalamnya. Peristiwa kurban adalah perintah nyata kepada Nabi Ibrahim AS dan keluarganya. Iya keluarga. Peristiwa kurban ini diabadaikan dalam Al Qur’an surah As-Saffat ayat 99 hingga 111.
Dalam fragmen tersebut, Ismail dikisahkan sebagai sosok yang amat sabar. “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS As-Saffat: 102).
Menjadikan anak sebagai sosok yang amat sabar dalam peritiswa yang butuh pengorbanan tidaklah mudah. Peran keluarga amat dominan dalam membentuk karakter Ismail. Ismail memiliki support system keluarga yang kuat. Nabi Ibrahim AS dan Siti Hajar yang keteguhan dan kesabarannya bisa ditilik dalam didikannya kepada Ismail.
Fragmen Ayah, Perempuan dan Keluarga dalam Idul Adha
Saat Iduladha, fragmen yang paling sering diceritakan adalah tentang relasi ayah dan anak, Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS. Yang patut dicatat disini bukan hanya hikmah kesabaran dan taat dalam perintah agama tapi juga relasi yang kuat antara ayah dan anak.
Ayah menjadi sosok yang penting dalam pengasuhan. Keteladanan yang didapatkan anggota keluarga hadir dari sosok Ayah. Lalu dalam setiap persoalan, ada dialog yang dipaparkan sang Ayah.
Sosok Nabi Ibrahim AS ingin mengajak anggota keluarga terlibat dalam keputusan keluarga. Nabi Ibrahim AS pun menanyakan apa pendapat Nabi Ismail AS meski sudah mengetahui itu adalah perintah dan ketetapan dari Allah SWT. Inilah relasi yang kuat, demokratis yang dibangun dalam keluarga.
Fragmen lain yang juga kerap terlupakan adalah peran Siti Hajar sebagai sosok ibu dan perempuan. Peran Siti Hajar amat penting dalam dua peristiwa sekaligus, kurban dan ibadah haji.
Menjadikan Ismail sebagai anak yang amat sabar dalam usia belia pastilah besar peran sosok seorang ibu. Ibu yang membimbing, ibu yang mendidik, ibu yang memiliki hubungan terkuat dengan anak. Kata-katanya akan menjadi panduan sang anak. Naluri anak akan semakin terasah dengan bimbingan seorang ibu. Inilah peran pertama Siti Hajar.
Peran kedua adalah sifat sabarnya saat perintah kurban turun. Anak yang dinanti-nantikan oleh Nabi Ibrahim AS diperintahkan untuk dikurbankan. Ibu mana yang akan sanggup menghadapi ujian ini. Namun, Siti Hajar sanggup. Sanggup menerima keputusan Allah SWT dengan kesabaran yang paripurna. Sebagaimana kesabaran Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS. Inilah peran kedua Siti Hajar.
Jejak perempuan dalam Ibadah Haji dan Umrah
Siti Hajar adalah sosok perempuan yang menyejarah. Jejak amaliyahnya telah abadi sebagai sebuah praktik keagamaan haji dan umrah yang telah dilakukan beradab-abad dan akan terus dilakukan.
Selain kesabaran paripurna dalam kurba, Siti Hajar sebagai sosok perempuan membuktikan kesabarannya yang luar biasa. Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Ibrahim AS untuk meninggalkan Siti Hajar dan Ismail kecil di Makkah. Tanah tandus yang saat itu tidak bertuan. Ditinggalkannya mereka sendiri tanpa keterangan apapun dari Ibrahim.
Lalu Hajar bertanya,”Wahai Ibrahim, akankah engkau pergi meninggalkan kami di sini tanpa bekal cukup dan orang yang menemani?”. Ibrahim AS tak menoleh. Lalu Siti Hajar kembali bertanya. Tak ada jawaban apapun dari sang suami.
Lantas ia bertanya, “Apakah Allah yang memerintahkan ini padamu?” “Ya” Ibrahim menjawab dengan singkatnya. “Jika demikian maka Allah tidak akan menyia-nyiakan kami” tegas Hajar sambil kembali ke tempatnya.
Inilah bentuk keyakinan dan kesabaran dari sosok perempuan. Yang akhirnya menjadikan tindakannya sebagai tindakan bersejarah. Saat Ismail meraung kehausan, naluri seorang ibu membuat Hajar berdiri. Ia naik ke bukit Shafa untuk mencari air skealigus bantuan. Ia seperti melihat air di seberang. Ia lantas setengah berlari menuju Bukit Marwah. Tujuh kali bolak-balik ia melakukannya tapi tak kunjung ada air dan bantuan.
Lalu Allah SWT mengirimkan pertolongan, dari kaki mungil Ismail kemudian menghentak tanah dan memancarkan air. Inilah air zam-zam yang hingga kini tidak pernah kering dan telah menjadi air sajian bagi jamaah haji dan umrah dari seluruh dunia.
Inilah peran luar biasa perempuan tangguh bernama Hajar. Amaliyah dari Shafa ke Marwa kini menjadi amalan Sai, yang menjadi salah satu rukun haji dan umrah. Dilakukan miliaran manusia untuk kembali mengingat perjuangan Siti Hajar.
Perjuangannya pula telah menjadi sebab munculnya air zam-zam yang manfaatnya telah dirasakan beberapa generasi setelah Hajar dan Ismail.
Perempuan secara faktual telah menjadi bagian penting dalam sejarah sekaligus ibadah dalam Islam. Inilah pesan yang tidak boleh terlupakan. Bahwa perempuan memiliki peran sentral dalam kehidupan. Sekali lagi dalam momentum yang serentak hari ini, peran perempuan dan keluarga amat besar. Ini harus menjadi ruh dalam berbagai kebijakan, bahwa perempuan dan keluarga bukan hanya pelengkap tapi sebagai sebuah subjek dan pelaku.