Media bagi generasi kekinian merupakan suatu keniscayaan, keberadaan media melekat dan kerap kali dijadikan sebagai medium oleh remaja untuk mengekspresikan identitasnya. Tidak terkecuali remaja yang kesehariannya beraktivitas di masjid, atau yang sering disebut sebagai remaja masjid.
Melihat keadaan tersebut, Pusat Studi Muhammadiyah (PSM) mendorong remaja untuk memiliki keadaban digital atau kesalehan digital. Ketua PSM, Bachtiar Dwi Kurniawan mengajak remaja masjid untuk lebih adaptif dan menampilkan konten-konten yang tidak menimbulkan SARA, fitnah, pencemaran nama baik, dan perilaku negatif lain.
“Kami mengajari supaya para penggerak remaja masjid ini ketika berinteraksi, berdakwah di media sosial memberi rambu-rambu supaya tidak fitnah, tidak mencemarkan nama baik, tidak SARA,” ucapnya pada (17/7) di Gedung DPD RI, Yogyakarta dalam acara Seminar Pendidikan Literasi Media Bagi Remaja Masjid di DI. Yogyakarta yang bekerjasama dengan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) RI.
Kegiatan ini berkepentingan untuk mengubah mentalitas remaja masjid ketika berinteraksi di media sosial. Kesalehan sosial merupakan output dari kepentingan ini, kata Bachtiar, hal ini selaras dengan program besar yang dimiliki oleh Kemenko PMK. Selain itu, kerja sama ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan remaja masjid dalam berdakwah di media digital.
“Ini untuk melakukan peningkatan kapasitas remaja masjid dalam berdakwah di media sosial, di dunia digital. Bagaimana bisa menampilkan dakwah yang lebih progresif lagi di dunia maya, jadi tidak hanya berdakwah dari mimbar ke mimbar,” ucapnya.
Sementara itu, Tri Haryanto, Asisten Deputi Literasi, Inovasi, dan Kreativitas Kemenko PMK secara daring menyampaikan bahwa Kemenko PMK berupaya mewujudkan manusia yang berkualitas dan berdaya saing melalui tiga layanan pilar SDM yakni layanan dasar dan perlindungan sosial, produktivitas, dan pembangunan karakter.
Dalam pembangunan karakter ini salah satu yang dilakukan adalah terkait gerakan revolusi mental. Disampaikan Tri Haryanto inti dari Gerakan Revolusi Mental adalah merubah cara pikir, cara bekerja, cara hidup masyarakat Indonesia.
“Sehingga kita kembali ke nilai luhur budaya kita melalui tiga nilai yakni integritas, etos kerja, dan gotong royong,” terang Tri.
Salah satu hal yang menjadi keprihatinan adalah bahwa data indeks keberadaban Indonesia yang paling rendah se-Asia Tenggara yakni pada peringkat 29 dari 32 negara. Oleh karena itu menurutnya literasi tertib bermedia sosial diperlukan dan perlu upaya bersama untuk mengatasi hal tersebut, dan memperbaiki peringkat keadaban digital Indonesia.