Meski termasuk dalam dosa besar, LGBTQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer) tidak bisa diatasi dengan dakwah yang menghakimi. Pendekatan kultural dengan hikmah dan kesabaran perlu menjadi pedoman dakwah kepada kelompok tersebut.
Di sisi lain, pembangunan dan penyiapan sarana-prasarana terkait amatlah diperlukan agar penyelesaian masalah tidak melulu terjadi di tingkat hilir, yaitu oleh para dokter atau psikiater.
Mirisnya, kasus LGBTQ ternyata juga banyak tumbuh di kalangan anak-anak secara tidak sadar baik oleh cara pendidikan orangtua maupun lewat lingkungan.
Psikiatris RS Muhammadiyah Lamongan sekaligus dosen UM Surabaya, dr. Era Catur Prasetya, Sp.KJ juga menyebut kasus di lingkungan anak-anak banyak muncul dari latar belakang sekolah berkonsep boarding (asrama/pesantren).
Dalam Seminar dan Lokakarya Nasional terkait Kesehatan Jiwa di UHAMKA, Rabu (3/8), dr. Era Catur pun memberi saran agar langkah-langkah berikut dilakukan sebagai bagian pencegahan.
Antara lain memperbanyak lapangan/playground di pemukiman warga, mendorong anak berinteraksi di tempat umum dan melibatkan ayah agar aktif terlibat dalam pengasuhan anak.
Khusus bagi Muhammadiyah, dr. Catur menyarankan diperbanyaknya komunitas Ibu Menyusui di RS Muhammadiyah/’Aisyiyah, menguatkan pengajaran Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) terutama dalam konteks seksualitas, adab dan aurat, mengevaluasi sistem boarding school, menguatkan kinerja psikiater dan psikolog Muhammadiyah hingga perlunya membangun Pusat Studi Kesehatan Jiwa Muhammadiyah-‘Aisyiyah.
Untuk mencegah LGBTQ, dr. Catur juga menyebut perlunya pendidikan kepada anak bahwa hanya ada dua gender yang normal beserta orientasi seksual yang sah hanyalah yang dilakukan kepada lawan jenis. Pasalnya, aktivis LGBTQ kata dia masuk lewat sisi ini, yaitu soal identitas gender.
Menurut dr. Catur, pengertian gender dijelaskan dalam tiga bentuk, yaitu identitas, ekspresi, dan orientasi. Identitas dipahami lewat bentuk fisik, ekspresi dipahami dengan gesture, suara, perilaku, sedangkan orientasi dipahami lewat aktivitas seksual.
Pada banyak hal, orientasi seksual menyimpang tidak selalu selaras dengan ekspresi gender sebagaimana terjadi pada kasus homoseksual yang mana mereka berpenampilan maskulin tetapi memiliki orientasi seksual berbeda.
Orientasi seksual sendiri menurutnya adalah pangkal dari aktivisme LGBTQ. Nafsu menyalurkan atau membenarkan penyimpangan inilah yang kemudian menjadi identitas bernama LGBTQ.
Meski tidak mudah menyadarkan pelakunya kembali ke jalan yang benar, dr. Catur juga menekankan pentingnya pemahaman semua pihak untuk memakai pendekatan khusus dalam berinteraksi dengan para pelaku tersebut.
Antara lain membangun kepercayaan dahulu dengan mendengarkan si pelaku, tidak menginterupsi, tidak menghakimi, meremehkan, dan tidak terkesan menasihati. Sebaliknya, para pelaku yang telah memiliki niat untuk kembali itu perlu ditemani, diapresiasi, dan terus diberikan dukungan moril dan motivasi sampai kesadaran internalnya tumbuh dan benar-benar sembuh dari penyimpangannya.